Anggota Koalisi
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Aliansi Buruh Menggugat/ABM (KASBI, SBSI 1992, SPOI, SBTPI, FNPBI, PPMI, PPMI 98, SBMSK, FSBMI, FSBI, SBMI, SPMI, FSPEK, SP PAR REF, FKBL Lampung, SSPA NTB, KB FAN Solo, AJI Jakarta, SBJ, FKSBT, FPBC, FBS Surabaya, PC KEP SPSI Karawang, GASPERMINDO, ALBUM Magelang, FKB Andalas), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, IKOHI, KONTRAS, PPR, Somasi-Unas, SPR, Arus Pelangi, GMS, LPM Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Praksis, Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ), FMKJ, Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), FSPI, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Repdem Jakarta, SPN, OPSI, SP LIATA, SPTN Blue Bird Grup
Links
Media
Tuesday, January 30, 2007
Petisi Dari Para Sahabat
(Sebelum Seruan Wartawan Kompas dibuat tanggal 27 Januari lalu, aktivis 36 organisasi sudah terlebih dahulu membuat petisi. Petisi tertanggal 20 Desember 2006 ini dibuat saat sedikitnya 300 orang menggelar aksi di Gedung harian Kompas. Petisi ini belum ditanda-tangani semua elemen. Jumlah penandatangan akan terus bertambah. Ini hanya menunjukkan bahwa persoalan pemberangusan aktivis serikat pekerja Kompas sudah masuk ke ranah publik, dan bukan persoalan internal semata)

PETISI DARI PARA SAHABAT


Kami, para dosen, peneliti dan ilmuwan sahabat dan pembaca Kompas. Selama ini kami menaruh hormat kepada Kompas sebagai suratkabar yang akurat dan terpercaya. Tidak bisa dipungkiri, dari segala keterbatasan ruang gerak yang dihadapi, Kompas selalu mencoba berada di baris terdepan dalam memerjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, hak asasi, dan demokrasi, termasuk pada masa-masa represif di bawah rejim Soeharto

Citra yang dibangun Kompas sebagai surat kabar yang mengemban "amanat hati nurani rakyat", menjadi "kata hati dan mata hati", telah tertanam pada diri kami. Akan tetapi kami tiba-tiba dikejutkan dengan persoalan internal yang tiba-tiba menyeruak menjadi isu publik menyangkut kekerasan dan pemecatan yang menimpa wartawan Kompas, Sdr. P Bambang Wisudo. Dari pembicaraan maupun dari tulisan-tulisan melalui milis, baru kemudian kami menyadari bahwa Kompas tengah menghadapi persoalan serius berkaitan masalah komunikasi, kemampuan untuk menyelesaikan masalah dengan dialog, kebebasan berserikat, toleransi terhadap perbedaan pendapat yang justru melekat sebagai citra yang dibangun Kompas selama ini. Kekerasan sekecil apapun tidak bisa diterima sebagai cara dalam penyelesaian perselisihan pendapat secara beradab.

Oleh karena itu, sebagai pembaca dan sahabat Kompas kami ingin mengemukakan harapan agar kasus ini diselesaikan dengan cara sebaik-baiknya. Perjuangan untuk kemanusiaan, demokrasi, dan hak asasi akan tidak sejalan tanpa usaha menerapkannya pada diri kita sendiri. Kami berharap Kompas tetap setia pada nilai-nilai yang diperjuangkannya dan segera melakukan pembaruan internal agar tetap dapat menjadi contoh bukan hanya sebagai sebuah suratkabar tetapi juga sebuah institusi bisnis yang menjunjung tinggi humanisme.

Jakarta, 20 Desember 20o6
Ttd Terlampir


1. Adriana Elisabeth (P-2P LIPI)

2. Hargyaning Tyas (P-2P LIPI)

3. Tri Ratnawati (P-2P LIPI)

4. Sarah Nuraini Siregar (UI)

5. Afad Lal (Universitas Budi Luhur)

6. Sri Nuryanti (RIDEP)

7. Retno Handini (Budpar)

8. Hamdan Basyar (P2-P LIPI)

9. Syafuan Rozi (Dosen IISIP Jakarta)

10. Djoko K (PMB-LIPI)

11. Heru Cahyono (P2P LIPI)

12. Ikrar Nusa Bhakti (P2P LIPI)

13. Jaleswari Pramodhawardani (PMB-LIPI)

14. Thung Julan (PMB-LIPI)

15. Tri Nuke Pudjiastuti (P2P-LIPI)

16. Johan Azhar (P2P LIPI)

17. Riwanto Tirtosudarmo (PMB LIPI)

18. Anas Saidi (PMB LIPI)

19. Asvi Warman Adam (P2P LIPI)

20. Ary (UMB)

21. Arfan (UMB)

22. Ferdi (Orientasi UMS)

23. R Siti Zuhro (P2P LIPI/The Habibe Center)

24. Ranni (P2P LIPI)

25. A Iriwati (P2P LIPI)

26. Mardyanto Wahyu T (P2P LIPI)

27. Ganwati Wuryandari (P2P LIPI)

28. Dewi Fortuna Anwar ( LIPI)

29. Usmar Ismail (LKN)

30. Tiur (Kabar)

31. BB (Didaktika)

32. Budi (Didaktika)

33. Nadya (LPM Diamma)

34. Sasmito (Transformasi)

35. Irham (Didaktika)

36. Dessi Rosdiana (LPM Diamma)

37. Y Roza (Didaktika)

38. Yohanes R (LPM Diamma)

39. M Yamin (Sekjen Serikat Nelayan Merdeka-Sumut)

40. Syahril (LPM Orientasi UMB)

41. Rachma (LPM Orientasi UMB)

42. Sari (Didaktika)

43. A Fauzan (Orientasi)

44. Realisti (LPM Diamma)

45. Jendra S (Orientasi)

46. Anggri (LPM Diamma)

47. Imah (Diamma)

48. Agnes (LPM Purnama)

49. Mail (Front Perjuangan Pemuda Indonesia/FPPI)

50. Dan Dan N (KSR Garut)

51. Uhyana (STRIP)

52. Dkol (FPPI)

53. Ramly SY (FPPI)

54. Emots (FPPI Garut)

55. Ripan (FPPIGarut)

56. Awing (FPPI arut)

57. Adam (LPKL-G)

58. Agung Purnama (FPPI Garut)

59. Iwan Gunawan (FPPI Garut)

60. S Son (FPPI Garut)

61. Iwan M (FPPI Garut)

62. Bagas Adi (LS Garut)

63. Asep Saepuloh (BR Garut)

64. Iip T Poniman (FPPI Garut)

65. Ferry Shidarta (FPPI Garut)

66. Irmawan (FPPI Grt)

67. Ru Renjay (Perhimpunan Rakyat Pekerja/PRP)

68. Dudung (PRP)

69. Ndaru (PRP)

70. Fajar (FPPI Garut)

71. D Rosada (FPPI Garut)

72. Irwan Dani (FPPI Banten)

73. Marudut S (FPPI Medan)

74. Rahmat Pasau (PN FPPI)

75. Sahat (PN FPPI)

76. Wahyu R (Aji Jakarta)

77. A Bambani (serikat pekerja detk.com)

78. Alfa (PRP)

79. Irianto I Susilo (LBH Apik)

80. Lily (Serikat Buruh Migran)

81. Beno W (KASBI)

82. Aditya Wardhana (AJI Jakarta)

83. Nining E (GSBM KASBI)

84. Sultoni (Serikat Pekerja Madani Indonesia)

85. S Heri Dniyanto (Serikat Pekerja Madani Indonesia)

86. A Irwansyah (Serikat Pekerja Madani Indonesia)

87. Parsudi (Serikat Pekerja Madani Indonesia)

88. Katarina Pujiastuti (FNPBI)

89. U Idris (AJI Jakarta)

90. Hari Nugroho (AJI Jakarta)

91. Pembina Karos (AJI Jakarta)

92. Wahyu Dhyatmika (AJI Jakarta)

93. Edy Haryadi (AJI Jakarta)

94. HM Siringo Ringo (LBH Pers)

95. M Zainuri (Lativi)

96. Sholeh Ali (LBH Pers)

97. Nadya (LBH Pers)

98. Putri Asri (LBH Pers)

99. Hermina (LBH Pers)

100. Agus Randani (LBH Pers)

101. M Halim (LBH Pers)

102. Hendrayana (Direktur LBH Pers)

103. Yanti (LBH Jakarta)

104. Edy H Gurning (LBH Jakarta)

105. Melda Kumalasari (LBH Jakarta)

106. Kiagus Ahmad (LBH Jakarta)

107. Gatot (LBH Jakarta)

108. Uni Illian M (LBH Jakarta)

109. Heru (LBH Jakarta)

110. Virza (LBH Jakarta)

111. Totok Yulianto (LBH Jakarta)

112. Putri Kanesia (LBH Jakarta)

113. Hermawanto (LBH Jakarta)

114. Ori Rahman (Ketua Presidium Kontras)

115. Wilson (Praxis)

116. Mugiyanto (Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang/IKOHI)

117. Mutiara Pasaribu (IKOHI)

118. Simon (IKOHI)

119. Nelly Yarti S (IKOHI)

120. Ibeth (IKOHI Jakarta)

121. Dyan Setyawati (IKOHI Jakarta)

122. Nanung H (IKOHI)

123. Pheo (IKOHI)

124. Indri (Kontras)

125. Usman Hamid (Kordinator Badan Pengurus Kontras)

126. A Patra M Zen (Direktur YLBHI)

127. Astuty Liastianingrum (YLBHI)

128. Tabrani Abby (YLBHI)

129. Taufik Basari (YLBHI)

130. Hendrik Dikson Sirait (ANBTI)

131. Asfinawati (Direktur LBH Jakarta)

132. Sri Nurherwati (LBH Apik-Jakarta)

133. Dian Tri Irawaty (UPC)

134. Romy Leo Rinaldo (YLBHI)

135. Fr Yohana T Wardhani (LBH Apik)

136. Gatot Eko Y (Offstream)

137. Winurantho Adhi (AJI Jakarta)

138. Odie Hudiyanto (Sekretaris Umum Federasi Serikat Pekerja Mandiri/FSPM)

139. Abdullah (Elshinta TV)

140. Abdul Manan (Sekjen AJI Indonesia)

141. Ruhut Ambarita (Kabar)

142. Indri Saptorini (TURC)

143. Anggri Sugiyanto (LPM Diamma)

144. Anastasya A (pelanggan Kompas)

145. Saeful Tavip (Ketua Dewan Penasehat OPSI)

146. Dewi Fitriana (Sekretaris FSPM)

147. Mona B (KHRN)

148. Stefanus Felix Lamuri (AJI Jakarta)

149. Eriek (Teknora Universitas Lampung)

150. Bakhtiar Yusuf (TURC)

151. U. N. Yusron (AJI Indonesia)

152. Hadi Rahman (Internews)

153. Sutarno (AJI Jakarta)

154. Jajang Jamaludin (Ketua AJI Jakarta)

155. Jhonson Andrian (Somasi-Unas)

156. Sella P.G. (LPM Diamma-Universitas Mustopo)

157. Agus Rakasiwi (Ketua AJI Bandung)

158. Nugroho Dewanto (AJI Indonesia)

159. Eko Maryadi (Kord. Divisi Advokasi AJI Indonesia)

160. Kili Pringgodigdo (AJI Indonesia)

161. Mundo (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia/KASBI)

162. Eka Pangulima H (KASBI)

163. Marno (SBSI)

164. Budi Wardoyo (Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia/FNPBI)

165. Ilham Syah (Ketua Umum Serikat Buruh Transportasi Perjuangan Indonesia/SBTPI)

166. Eli Salomo (Aliansi Buruh Menggugat/ABM)

167. Sultoni (Serikat Pekerja Madani Indonesia)

168. Chandra W (Front Perjuangan Serikat Buruh Jabotabek/FPBJ)

169. Aries Sutan K (FPBJ)

170. Eni Sriwahyuni (Federasi Serkat Buruh Membangun Indonesia/FSBMI)

171. Lily Pujiati (Serikat Buruh Migran Indonesia/SBMI)

172. Dudung (AJI Surabaya)

173. J Danang Widoyoko (Indonesia Corruption Watch/ICW)

174. Lody Paat (Koalisi Pendidikan)

175. Ade Irawan (ICW)

176. Naning (KKMSK-Loteng)

177. Siti Rif'anah (Sanksi Borneo)

178. Tres N Situmorang (Bako Sumatera Barat)

179. Febri Hendri AA (ICW)

180. Wildan (Fakta)

181. Affa Burning (Independen)

182. Agus Sugandhi (Garut Goverment Watch/G2W)

183. Agus Sunaryanto (ICW)

184. Muh. Yusran A (JMS-Buton)

185. Askal Sumera (JMS-Buton)

186. Agus R (G2W Garut)

187. Nurfaizah (JMS-Buton)

188. Agus F Hidayat (Fakta Tangerang)

189. Arief Furqan (Sanksi Borneo)

190. Wahyudin B (Perak Institute)

191. Mawardi (Perak-Makassar)

192. Andre Wala (Swapar)

193. Marianti (Swapar)

194. Ety R Baba (Formasi Sumbar)

195. Jack Keremata (Formasi Sumba Barat)

196. Jimmy Paat (Koalisi Pendidikan)

197. Khresna A Mangontan (Forum Ortu Siswa Menteng Besuki)

198. Jumono (komite Sekolah)

199. Zanal Abidin (Fakta Tangerang)

200. Dani Wardani (Auditan)

201. Budhi Hastuti (Auditan)

202. Kemas Ismed (Auditan)

203. Charles S (Bako Sumbar)

204. Magda P (Serikat Guru Tanggerang)

205. Talhah (KKMSK Lombok Tengah)

206. Kamal Fikri (Guru SMKNI Cilegon)

207. Siti Nuratna (Guru Mts Al Amun Cikande)

208. Mas'amah (Mahasiswa Uninus)

209. Marinah (Mahasiswa Uninus)

210. Syafrudin (Guru SMP Daan Mogot Tangerang)

211. Agus Supriadi (Serikat Guru Tangerang)

212. Yaya Sunarya (Fakta Tangerang)

213. Kamal Haris (Guru Mts. Legok)

214. Selamet AP (SHMI Jakarta)

215. Tommy Albert Tobiro (SHMI Jakarta)

216. Tintin (ICW)

217. Lais Abid (ICW)

218. Jane (ICW)

219. Nita (ICW)

220. Abdullah (ICW)

221. Firdaus Ilyas (ICW)

222. Irsyad Ridho (Koalisi Pendidikan)

223. Adnan Topan Husodo (ICW)
posted by KOMPAS @ 1:00 AM   0 comments
Monday, January 29, 2007
Wisudo Hadiri Rapat PKK, Kompas Buat Seruan
Jakarta, Kompas Inside. Untuk kali kedua, Senin (29/1/2007) petang kemarin, Bambang Wisudo kembali menginjak Gedung Harian Kompas.

Di saat yang sama, manajemen juga memobilisir wartawan senior untuk membuat petisi wartawan Kompas untuk mengecam aksi solidaritas terhadap Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) ini.

Wisudo hadir di Gedung Kompas setelah menerima undangan rapat PKK. Sebab, walau sudah menerima surat pemecatan secara sepihak dari Pemred Kompas Suryopratomo, Bambang Wisudo masih tercatat sebagai Sekretaris PKK. Sebuah organisasi serikat pekerja yang telah terdaftar secara resmi di Depnakertrans.

Dalam rapat itu, Bambang Wisudo datang dengan ditemani tiga orang tim litigasi Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS). Mereka adalah Jhonson Panjaitan, SH (PBHI), Sholeh Ali dan Nadya (LBH Pers).

"Saat kami masuk tidak ada yang menghalang-halangi," kata Ali saat dimintai keterangan.

Rapat sendiri berjalan aman. Rapat dimulai di ruang PKK pada pukul 16.00 dan berakhir pukul 18.30 WIB.

Seruan Wartawan Kompas
Sementara itu, manajemen Kompas kabarnya juga membuat manuver baru.

Setelah gagal memaksa pengurus serikat pekerja PKK membuat pernyataan tidak ada pemberangusan serikat pekerja di harian Kompas, kini manajemen melakukan manuver baru.

Salah satunya dengan menyatakan ke wartawan dan karyawan Kompas bahwa aksi-aksi yang dilakukan 36 organisasi yang tergabung dalam Komite bertujuan menyerang dan menghancurkan Kompas sebagai institusi.

Padahal jelas, dalam aksi-aksi yang digelar selama ini, Komite hanya mengecam sekelompok petinggi Kompas yang telah berlaku semena-mena. Namun dengan trik retorika ini, manajemen kemudian berhasil membakar beberapa wartawan senior.

Beberapa wartawan senior lalu membuat petisi berjudul "Seruan Wartawan Kompas." Lalu mereka meminta wartawan Kompas beramai-ramai menandatangani petisi tersebut.

Ironisnya, dalam surat seruan ini tercatat nama-nama seperti Maria Hartiningsih, Bre Redana, dan semacamnya.

Petisi ini menyatakan, bahwa pemecatan Bambang Wisudo merupakan masalah pribadi yang dibesar-besarkan. Bambang Wisudo juga dituduh mengklaim menjadi perwakilan karyawan dan wartawan Kompas.

Langkah ini menurut Ketua Tim Litigasi Komite, Sholeh Ali, SH, harus disesalkan. Sebab solidaritas wartawan ini membabi-buta. Dan jelas digagas oleh manajemen Kompas untuk mengkonter solidaritas dari luar.

"Sudah jelas Bambang Wisudo diangkat sebagai Sekretaris melalui surat keputusan yang ditanda-tangani Ketua PKK," kata Ali.

Menurut Ali, jelas pemecatan Bambang Wisudo terkait dengan aktivitasnya selaku aktivis Serikat Pekerja. Dalam konteks itulah ia menjadi korban kekerasan dan penyanderaan satpam sebelum menerima pemecatan tanpa prosedur dari Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo tanggal 8 Desember 2006.

"Jelas, 36 organisasi yang tergabung dalam Komite tidak bodoh. Kami tidak akan membela korban bila masalahnya cuma masalah pribadi," tegasnya.

Karena itu Sholeh menilai petisi itu hanya sebuah manuver baru dari manajemen. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk mengalihkan isu. Dari isu pemberangusan aktivis serikat pekerja menjadi masalah pribadi. Trik 'kebulatan tekad' ini memang kerap dilakukan di pabrik-pabrik. (nay/E2)
posted by KOMPAS @ 8:03 PM   0 comments
Friday, January 26, 2007
KOMPAS Berencana Temui Pimpinan Umum Kompas
Jumat, 26 Januari 2007, 07:40:05 WIB
Laporan: Herawatmo


Jakarta, Rakyat Merdeka. Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) hari ini Jumat (26/1) berencana mengunjungi kediaman Pimpinan Umum harian Kompas Jakob Oetama, di Jalan Sriwijaya Raya, Jakarta Selatan.

Koordinator KOMPAS, Edy Haryadi kepada Situs Berita Rakyat Merdeka mengatakan kedatangan mereka kali ini, tidak untuk melakukan aksi demonstrasi, tapi bersilahturahmi dengan orang nomor satu di petinggi media Gramedia group itu.

"Ya, kami ingin bertamu, seperti tamu-tamu pak Jakob lainnya," kata Edy.

Sementara itu, dalam aksi spanduk yang digelar di depan harian Kompas, kemarin (Kamis, 25/1), satuan pengaman (satpam) harian Kompas mulai unjuk gigi. Menurut Edy, Wakil Kepala Satpam Kiraman Sinambela dan bawahannya memprovokasi peserta aksi.

Edy mencontohkan, salah satu provokasi terjadi saat Kiraman Sinambela, salah satu satpam yang terlibat dalam penyanderaan Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas Bambang Wisudo, duduk tak jauh dari peserta aksi di dekat ATM BCA. Jarak duduknya tak sampai 20 cm.

Tak cukup di situ, satpam lain di bawah komando Kiraman yang mengenakan safari biru, juga terlihat mengepung. Tapi, selain Kiraman, tak ada seorang pun yang mengenakan identitas diri di baju safari biru gelap mereka. Tapi provokasi dan intimidasi satpam ini, tak berhasil memancing emosi peserta aksi. Aksi tetap berjalan mulus tanpa insiden berarti.

"Menjelang akhir aksi, peserta aksi juga dikepung oleh sedikitnya belasan satpam," tambah Edy.

Pada saat yang sama, lanjut Edy, mediasi pertama antara manajemen Kompas dan tim litigasi Komite gagal mencapai titik temu. Tim litigasi komite yang terdiri dari Sholeh Ali dari LBH Pers, Ori Rahman dari Kontras, dan Tasya dari LBH Jakarta, serta Odie Hudianto dari Federasi Serikat Pekerja Mandiri merasa, pertemuan bipartit itu sengaja dibuat buntu. atm
posted by KOMPAS @ 2:29 AM   0 comments
Thursday, January 25, 2007
Komisi I Tunda Audiensi
Jakarta, Kompas Inside. Melalui surat keputusan yang disampaikan Senin (22/1) lalu, Komisi I DPR RI menunda audiensi tim advokasi kasus Bambang Wisudo yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS).

Keputusan penundaan tersebut sebenarnya telah ada sejak 12 Januari lalu, namun baru disampaikan kepada Komite hari Senin kemarin. Itupun setelah Komite menanyakan langsung kepada sekretariat Komisi I.

Penolakan Komisi I DPR tersebut ditandangani oleh Wakil Ketua Komisi I. Alasan penolakan adalah bahwa kasus Bambang Wisudo lebih terkait dengan permasalahan ketenagakerjaan.

"Karena intinya perselisihan ketenagakerjaan antara serikat pekerja dengan pimpinan Harian Kompas, permasalahan ini ditembuskan ke Komisi IX untuk ditindak lanjuti", begitu bunyi jawaban wakil ketua Komisi I yang ditulis tangan.

Alasan Komisi I itu diangap kurang tepat oleh sebagian anggota Komite. Karena di dalam surat permohonan audiensi Tim advokasi telah menyampaikan bahwa titik tekan pengaduan kepada Komisi I ialah mengenai pemblokiran berita oleh pimpinan Harian Kompas dan keputusan Dewan Pers yang dirasa jangal.

Salah seorang anggota Komisi I yang sempat dilobi oleh Tim Advokasi sebenarnya telah menyanggupi untuk menerima pengaduan kasus Bambang Wisudo dan berjanji akan melobi anggota Komisi I lainnya.

Tapi anggota Komisi I yang dikenal sebagai mantan jurnalis itu pun sampai kini tidak terdengar kabar beritanya. Hand phone-nya selalu tidak bisa dihubungi.

Sampai saat ini Tim Advokasi Komite masih mengatur strategi agar tetap bisa membawa kasus Bambang Wisudo ke Komisi I DPR RI. (um/E2)
posted by KOMPAS @ 7:54 AM   0 comments
Satpam Kompas Provokasi Aksi Spanduk
Jakarta, Kompas Inside. Barangkali karena kesal tak bisa menggerakkan Tramtib, polisi dan warga untuk membubarkan aksi, kali ini satuan pengaman (satpam) harian Kompas mulai unjuk gigi.

Dalam aksi spanduk yang digelar di depan harian Kompas, Kamis (25/1), Wakil Kepala Satpam Kiraman Sinambela mengerahkan anak buahnya untuk memprovokasi peserta aksi. Apalagi tujuannya selain memancing emosi peserta aksi sehingga bentrok. Dengan demikian satpam punya alasan menggulung peserta demo.

Contoh provokasi, Kiraman Sinambela, salah satu satpam yang terlibat dalam penyanderaan Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas Bambang Wisudo, duduk tak jauh dari peserta aksi di dekat ATM BCA. Jarak duduknya tak sampai 20 cm.

Tak cukup di situ, anak-anak buahnya yang mengenakan safari biru juga terlihat mengepung. Tapi, selain Kiraman, tak ada seorang pun yang mengenakan identitas diri di baju safari biru gelap mereka. Dua orang satpam malah menyorot peserta aksi lebih dari satu jam secara terus-menerus.

Tapi provokasi dan intimidasi satpam ini tak berhasil memancing emosi peserta aksi. Aksi tetap berjalan mulus tanpa insiden berarti.

Menjelang akhir aksi, peserta aksi juga dikepung oleh sedikitnya belasan satpam.

Seorang peserta aksi yang sudah terbiasa berada dalam situasi provokasi malah menyindir satpam Kompas tadi, "Gagal nih yee," seraya disambut senyum beberapa peserta aksi.

Pada saat yang sama, mediasi pertama antara manajemen Kompas dan tim litigasi Komite gagal mencapai titik temu. Tim litigasi Komite yang terdiri dari Soleh Ali dari LBH Pers, Ori Rahman dari Kontras dan Nadya dari LBH Jakarta, serta Odie Hudianto dari Federasi Serikat Pekerja Mandiri, merasa memang pertemuan bipartit itu memang sengaja dibuat buntu.

Perundingan disengaja tak mencapai jalan temu agar manajemen Kompas bisa meneruskan ke perundingan mediasi tripartit untuk mempermulus permohonan pemecatan Bambang Wisudo.

Sebab, pihak manajemen tetap ngotot bahwa Bambang Wisudo layak dipecat. Sementara tim litigasi Komite berkeras pemecatan terhadap pengurus serikat pekerja dilarang oleh undang-undang. (al/E2)
posted by KOMPAS @ 6:36 AM   0 comments
Wednesday, January 24, 2007
Komisi IX Segera Panggil Manajemen Kompas
sumber: hukumonline.com
[22/1/07)

Komisi IX prihatin atas kasus pemecatan wartawan senior Kompas Bambang Wisudo. Di tengah kesibukannya, Komisi IX akan mengundang manajemen Kompas.

Senin (22/1) Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk membahas pemecatan wartawan senior Kompas Bambang Wisudo. Kali ini Komisi yang menggawangi ketenagakerjaan ini mengundang Bambang beserta Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS).

Entah mengapa, rapat tentang nasib wartawan ini tak riuh diliput oleh para pewarta. Padahal, inilah peristiwa pertama RDPU Komisi IX mengulas masalah hubungan kerja wartawan. Umumnya, komisi ini menampung kasus perburuhan perusahaan-perusahaan di luar pers.

Kubu Bambang yakin, pemecatan atas dirinya karena kegiatannya sebagai Sekteraris Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) – serikat pekerja Harian Kompas. Bambang pun berujar bahwa saat ini para pengurus PKK diintimidasi oleh pihak manajemen untuk mengakui, pemecatan atas dirinya tak berkaitan dengan kegiatan serikat pekerja.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Heru Hendratmoko menjelaskan ada tiga isu yang harus diperhatikan oleh para jurnalis. Pertama, kebebasan pers sebagai indikasi kehidupan masyarakat di alam demokrasi. Kedua, profesionalisme wartawan. Dan ketiga, kesejahteraan wartawan. "Wartawan tak akan profesional tanpa didukung oleh kesejahteraan. Dan kesejahteraan bisa diraih dengan kebebasan berserikat. Sangat disayangkan jika Harian Kompas menghalangi aktivitas berserikat," lanjut Heru.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX Max Sopacua menjelaskan perbuatan menghalangi serikat pekerja bisa dijerat Pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU SP/SB). "Saya masih bingung, Harian Kompas adalah surat kabar ternama yang mengusung advokasi HAM. Namun sekarang malah memecat karyawannya. Seperti kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak," ujar Max yang mantan jurnalis TVRI itu.

Namun, Max mengingatkan, Bambang harus mempersiapkan bahan yang cukup supaya bisa membuktikan motif pemecatannya berkaitan dengan kegiatan serikat pekerja. "Pak Bambang dan kawan-kawan, selama ini, apa yang sudah Anda kerjakan? Dan apa perkembangannya?" ujarnya.

Anggota lainnya, Serta Ginting mewanti-wanti kubu Bambang harus mempersiapkan bukti dengan lengkap. "Kita harus menengok dulu Kesepakatan Kerja Bersama (KKB). Akan terlihat jelas mana hak manajemen, mana hak karyawan. Kalau Pak Bambang mengaku mengalami kekerasan dari satpam, mana bukti keterangan dokter –misalnya?"

Max tetap menanggap kasus ini serius. "Kalau perlu, kita datangkan manajemen Kompas atau bahkan Ketua PWI Tarman Azam untuk menjelaskan kondisi kerja wartawan yang sebenarnya," ujarnya berapi-api. Max berjanji pada bulan Januari ini bisa mendatangkan Jakob Oetama selaku pihak manajemen Kompas.

Ketua Komisi IX Ribka Ciptaning mengaku menerima telepon dari Jakob Oetama pada pagi hari sebelum RDPU ini digelar. Menurut Ribka, Jakob menjelaskan bahwa PHK ini hanya merupakan kasus kekaryawanan semata.

Sementara, anggota Komisi IX Nurul Falah mendesak adanya public hearing antara manajemen Kompas dan PKK. "Kita konfrontir saja kedua pihak di sini. Sama halnya dengan kasus perburuhan lainnya kan?" ujarnya.

Anggota yang lain, Tuti Lukman Sutrisno menilai bahwa kasus yang dialami Bambang bisa juga dialami oleh wartawan lainnya. "Perjuangan kita tak hanya demi Pak Bambang, tapi untuk semua wartawan."

Tak selesai
Hanya saja, Ketua Sidang RDPU Asiah Salekan mengakui selama ini Komisi IX belum pernah menyelesaikan kasus perburuhan. "Kapasitas RDPU sendiri tak menghasilkan keputusan. Namun ini sebagai masukan untuk tahap selanjutnya. Selama ini, pihak manajemen yang kami undang keberatan kami pertemukan dengan pihak buruh di forum seperti ini. Misalnya saja kasus Hotel Indonesia. Pihak manajemen enggan menemui kami," seloroh Asiah.

Di tengah padatnya agenda, Asiah tetap ngotot memanggil manajemen Kompas. "Banyak sekali jadwal kami. Misalnya menyelesaikan RUU Kesehatan Pekerja dan Amandemen UU Kependudukan. Namun kami tetap serius menyelesaikan kasus Kompas hingga Januari ini," ujarnya.

Sementara itu, dihubungi terpisah, pihak Kompas belum bisa memberikan keterangan lengkap. "Masih sedang kami rapatkan," ujar kuasa hukum Kompas Untung Herminanto melalui sambungan telepon.

Ketika keputusan eksekutif melalui Disnakertrans dianggap masih mengecewakan, pihak legislatif diharapkan dapat menyelesaikan masalah. Semoga anggota dewan yang terhormat tak hanya mencari popularitas. (CRY)
posted by KOMPAS @ 7:21 PM   0 comments
Aki Warnai Aksi Spanduk
Jakarta, Kompas Inside. Aksi spanduk Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) Rabu (24/12) kemarin kembali diwarnai aksi intimidasi.

Kali ini bukan aparat Tramtib yang turun-tangan, melainkan orang suruhan manajemen Kompas dengan cara menyiram air aki keras ke spanduk yang digelar.

Aksi sabotase dan intimidasi itu baru terdeteksi saat anggota Komite membongkar spanduk pada pukul 17.00 WIB. Pada saat spanduk digulung, kain spanduk sepanjang 120 meter berisi protes itu terasa basah. Padahal tidak turun hujan petang itu.

Amran, anggota Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), baru sadar bahwa itu cairan itu air aki keras setelah tak lama kemudian tangannya mendadak gatal.

Terlebih, tak lama kemudian ditemukan sebuah botol aki berwarna merah tak jauh dari spanduk itu. Maka, dapat disimpulkan ada orang suruhan yang menyiram spanduk tersebut dengan aki keras dengan maksud sabotase.

Warga 'Dikompori'
Aksi spanduk kemarin memang berbeda dengan aksi sebelumnya. Soalnya, kini Komite menggunakan pengeras suara yang diarahkan ke Gedung Harian Kompas di Jalan Palmerah Selatan No 26, Jakarta Pusat.

Belasan aktivis dari FPPI, AJI, TURC, FSPM, YLBHI, yang mendapat giliran berjaga kemudian menyetel kaset berisi pertemuan Komite dengan Komisi IX hari Senin (22/1) sebelumnya.

Aksi lewat pengeras suara ini mengundang perhatian warga. Beberapa orang warga merasa tertarik sehingga mereka terlihat menyimak dialog antara Komite dengan Komisi IX.

Lalu, seorang warga Palmerah memberi informasi pada anggota Komite bahwa ada orang suruhan manajemen datang untuk memanas-manasi penduduk setempat untuk menyerang aksi yang diadakan Komite.

"Orang ini bilang, kok kami membiarkan saung pengemudi ojek digunakan buat aksi," tutur seorang warga yang kebetulan bekerja sebagai pengojek.

"Saya bilang sama dia, saya juga korban PHK. Saya juga tidak bodoh kalau orang ini punya rencana mengadu domba warga dengan pengunjuk rasa," ujarnya. Tapi dia sendiri menjamin, warga akan bersikap netral dan tidak berpihak pada siapapun.

Hari ini, Kamis (25/1/2007), aksi Komite akan terus berjalan.

"Kita sadar intimidasi yang dilakukan oleh mereka yang tak senang dengan aksi yang digelar Komite akan lebih keras," kata Odie Hudianto dari Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM).

"Tapi kami tidak akan mundur," tegasnya. (cep/E6)
posted by KOMPAS @ 6:19 PM   0 comments
Monday, January 22, 2007
JO Telepon Ketua Komisi IX DPR RI
Jakarta, Kompas Inside. Puluhan peserta rapat Komisi IX DPR RI, Senin (22/1/2007) petang, mendadak hening. Hal itu terjadi saat Ketua Komisi IX dr Ribka Ciptaning mengutarakan secara blak-blakan bahwa dirinya pribadi sudah ditelepon Jakob Oetama alias JO, Pimpinan Umum Harian Kompas.

"Sebelum pertemuan ini digelar, saya ditelepon oleh Jakob Oetama," kata dr Ribka Ciptaning ke pengunjung sidang terang-terangan.

"Saya ditanya benarkah teman-teman Komite mau diterima Komisi IX," ujar Mbak Ning, begitu biasa dia dipanggil.

Menurut Mbak Ning, dalam keterangannya Jakob Oetama alias JO mengatakan PHK Wisudo belum final. Masih dalam proses. Tapi keterangan ini tak membuat Mbak Ning mengurungkan undangannya ke Komite.

Dr Ribka Ciptaning sendiri mengungkapkan, pemaparannya ke puluhan anggota Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (Kompas) tentang telepon JO itu, untuk menunjukkan, tidak semua anggota DPR bisa 'dibeli' seperti yang diwartakan media massa selama ini. Karena itu dia dan anggota Komisi IX lainnya meminta data-data tambahan agar Komisi IX bisa bertindak tegas.

Pengaduan Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) ke Komisi IX ini sendiri dibuka oleh Astuti Listyaningrum, SH dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Lalu, secara bergantian, Surya Tjandra dari TURC, Heru Hendratmoko mewakili AJI, Ori Rahman dari Kontras, Sholeh Ali dari LBH Pers memaparkan pemberangusan serikat pekerja di Kompas. Bambang Wisudo sendiri turut memberi testimoni.

Dalam pemaparan tersebut, dituturkan peristiwa kekerasan yang menimpa Bambang Wisudo. Juga disinggung-singgung motif penyingkiran tokoh-tokoh vokal di Perkumpulan Karyawan Kompas melalui pola mutasi karena mempersoalkan saham kolektif 20 persen milik karyawan.

"Terakhir, kami juga mendengar para pengurus Perkumpulan Karyawan Kompas didesak untuk menyatakan tidak ada pemberangusan serikat pekerja di Harian Kompas. Desakan itu dilakukan sebelum pertemuan ini digelar," kata salah satu anggota Komite.

Belasan anggota Komisi IX yang mendengar pemaparan Komite umumnya mengaku terkejut. "Saya rasa sudah ada indikasi kuat pemberangusan serikat pekerja di Kompas. Karena itu, saya mengusulkan ke pimpinan Komisi IX untuk memanggil Jakob Oetama ke sini untuk dimintai keterangan. Lalu kita konfrontir dengan teman-teman yang hadir di sini sekarang," kata Nurul Falakh, anggota Komisi IX DPR RI.

Nuriam, anggota Komisi IX lainnya berkata, "Saya tidak membayangkan bahwa Kompas yang saya baca selama ini ternyata jelek sekali di belakangnya. Karena itu saya berpikir apa saya berhenti langganan Kompas."

Nuriam juga bertanya, mengapa kasus ini tak diberitakan oleh media massa. Karena itu ia menekankan pentingnya Komisi IX memperjuangkan 20 % saham kolektif milik karyawan. Karena inilah kunci utama kasus Bambang Wisudo.

Anggota Komisi IX lainnya, Tuti Lukman Sutrisno, istri almarhum Lukman Sutrisno, juga mengaku shok membaca laporan Komite. "Kalau di Kompas yang sebesar itu terjadi peristiwa ini, bagaimana dengan koran-koran kecil lainnya," ujarnya.

Anggota Komisi IX lainnya berkata, "Saya tidak menyangka bahwa Kompas yang selama ini mengembar-gemborkan demokrasi dan HAM, ternyata bisa melakukan tindakan seperti yang dialami saudara Wisudo."

Komisi IX sendiri sepakat untuk menindaklanjuti pengaduan Komite secepatnya. "Kami akan memanggil Jakob Oetama untuk menjelaskan apa yang terjadi," kata seorang anggota Komisi IX.

"Apalagi permintaan saudara Bambang Wisudo tidak macam-macam. Dia hanya minta dipekerjakan kembali," timpal anggota Komisi IX lainnya.

Komisi IX juga berjanji akan mendesak pimpinan Kompas agar Bambang Wisudo dipekerjakan kembali. Apalagi, hampir seluruh anggota Komisi IX sepakat bahwa apa yang terjadi pada Bambang Wisudo merupakan upaya pemberangusan serikat pekerja di harian Kompas. (ib/E4)

Labels: , , ,

posted by KOMPAS @ 4:09 AM   0 comments
Thursday, January 18, 2007
Surat Terbuka Bambang Wisudo Kepada Kawan
Dear Friends,

Sudah lebih dari 40 hari saya tidak bisa menjalankan tugas jurnalistik saya setelah mengalami pemecatan sepihak yang dilakukan oleh Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo. Saya kira penyelesaian kasus ini masih panjang setelah saya menutup pintu bagi tawaran "golden shakehand" dengan pesangon yang besar. Saya tidak ingin Kompas mengeluarkan uang besar untuk menyelesaikan kasus yang saya hadapi. Cukup pekerjakan kembali ke posisi semula, saya dijamin untuk berkarir secara wajar, serta hak suara dan berserikat saya dihormati. Namun sampai saat ini manajemen Kompas masih enggan memenuhi tuntutan tersebut dan tampaknya bersedia menanggung biaya yang sangat mahal untuk sikap tersebut.

Sejauh ini yang saya dengar Pak Jakob memiliki niat baik untuk mengoreksi kesalahan yang dilakukan oleh Suryopratomo. Akan tetapi Pak Jakob saat ini bimbang ketika Suryopratomo dan kelompoknya mengancam mengundurkan diri beramai-ramai bila saya dipekerjakan kembali. Bagi saya, tidak ada urusan apakah Suryopratomo menjadi pemimpin redaksi atau tidak. Yang penting saya bisa bekerja kembali di Kompas. Saya juga heran mengapa Pak Jakob begitu khawatir Suryopratomo dan kawan-kawannya akan mengundurkan diri bila saya dipekerjakan kembali. Saya tidak yakin mereka benar-benar akan "bedhol deso" bila saya balik ke Kompas. Bagi saya pribadi, kesalahan diakui dan dikoreksi, itu sudah cukup. Tidak perlu mengundurkan diri segala.

Saya berterima kasih atas dukungan yang teman-teman berikan selama ini. Sudah 40 hari kita bergerak dan dukungan kawan-kawan, khususnya AJI dan kawan-kawan lain yang bergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja, masih mantap. Sejauh ini saya masih punya semangat dan energi untuk melawan kesewang-wenangan yang dilakukan manajemen Kompas terhadap diri saya. Kalau mereka tidak mau mengoreksi kesalahannya, tidak mau menghormati Undang Undang yang berlaku di negeri ini, saya akan terus melawan dan terus membongkar kebusukan-kebusukan, yang selama ini ditutup-tutupi, sampai akhir hidup saya. Saya harap kawan-kawan tidak lelah dan tidak bosan menemani saya.


Thanks

Bambang Wisudo
posted by KOMPAS @ 7:10 PM   2 comments
Komisi IX Hearing Kasus PHK Kompas
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Jalan Jenderal Gatot Subroto - Jakarta 10270
----------------------------------------------

Nomor : PW.oo1/0383/DPR RI/2007 Jakarta, 16 Januari 2007
Sifat : Penting
Derajat : Segera
Lampiran : -
Perihal : Undangan Rapat

KEPADA YTH.
KOMITE ANTI PEMBERANGUSAN SERIKAT
PEKERJA (KOMPAS)
JL. PROF DR SOEPOMO NO 1A,
KOMPLEK BIER MENTENG DALAM

J A K A R T A
-------------

Sesuai dengan Acara Rapat-rapat DPR RI Masa Persidangan III Tahun Sidang 2006-2007 yang telah diputuskan dalam Rapat Badan Musyawarah DPR RI tanggal 5 Desember 2006, dan sesuai Keputusan Rapat Intern Komisi IX DPR RI tanggal 15 Januari 2007, bersama ini kami beritahukan dengan hormat bahwa Komisi IX DPR RI akan mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komite Anti Pemberangusan Serikat pekerja (KOMPAS), yang akan diselenggarakan pada:

Hari/Tanggal : Senin, 22 Januari 2007
Waktu : Pukul 14.00 - 16.00 WIB
Tempat : Ruang Rapat Komisi IX DPR RI
Jl. Jend. Gatot Subroto Jakarta
Acara : Membicarakan masalah PHK wartawan Kompas


Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kami mengharapkan kehadiran Saudara pada acara dimaksud.

Atas perhatian dan kehadirannya kami ucapkan terima kasih.

A.n. PIMPINAN
SEKRETARIS JENDERAL
u.b.
KEPALA BIRO PERSIDANGAN



ACHMAD JUNED, SH., MH.
NIP 210001064


Tembusan :
1. Yth Wakil Ketua DPR RI/KORKESRA
2. Yth. Sekjen DPR RI;
3. Yth. Deputi Bidang Persidangan dan KSAP Setjen DPR RI; 4. Yth. Deputi Mensesneg Bidang
Hubungan Kelembagaan
----------------------------------------------------
posted by KOMPAS @ 4:31 AM   0 comments
Lurah Ganggu Demo Kompas, Aktivis Makin Ngotot
Kamis, 18 Januari 2007, 16:10:14 WIB
Laporan: Herawatmo


Jakarta, Rakyat Merdeka. Aksi protes yang digelar Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS), atas PHK sepihak Kompas terhadap wartawan sekaligus aktivis Serikat Pekerja kompas Bambang Wisudo, terus berlanjut.

Hari ini (18/1) para aktivis serikat pekerja itu kembali berunjuk rasa. Namun aksi protes yang digelar dengan membentangkan spanduk 120 meter, di depan gedung kompas jalan Palmerah, Jakarta, diusik lurah dan aparat ketentraman dan ketertertiban (tramtib) Kelurahan Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Koordinator Non Litigasi KOMPAS, Winuranto Adhi mengatakan, spanduk yang mereka bentangkan dirampas aparat tramtib kelurahan gelora, kec. Tanah Abang, sekitar pukul 14.00 WIB. Namun perampasan itu gagal, setelah para aktivis yang berunjukrasa itu mempertahankan spanduk itu sekuat tenaga.

Semula, satu regu aparat tramtib yang mendatangi aktivis KOMPAS dengan menaiki mobil kijang, mempertanyakan surat izin aksi unjuk rasa. Usai bertanya, mereka beraksi untuk merebut spanduk pemecah rekor MURI yang dipampang aktivis komite itu.

Lurah maupun aparat tramtib beralasan, pemasangan spanduk itu mengganggu keindahan lingkungan di wilayah kelurahan Gelora. Selain itu, lanjut Winuranto Adhi, aparat kelurahan itu juga diminta pimpinan kompas untuk membubarkan aksi Komite ini.

Winuranto menambahkan, upaya pembubaran dan perebutan spanduk hari ini, merupakan tindakan tidak bersahabat kelurahan Gelora untuk yang kedua kalinya.

"Kemarin, Lurah dan Tramtib datang dua kali untuk membubarkan dan merampas spanduk kami," kata Winuranto yang juga menjabat Wakil Ketua Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta.

Winuranto mengungkapkan, untuk mengatasi kejadian itu terulang kembali, puluhan aktivis komite dan serikat pekerja yang lain, akan menunggu dan mempertahankan spanduk protes PHK dan anti pemberangusan serikat pekerja itu. Komite, lanjut Winuranto, sangat mempertanyakan ulah aparat kelurahan yang berusaha merampas spanduk unjuk rasa itu.

"Aparat tramtib tidak berwenang membubarkan aksi, maupun merampas spanduk kami. Apalagi spanduk itu kan perangkat demo, dan kami sudah memberikan surat pembertahuan kepada Kapolri Jend.Pol. Sutanto," kata jurnalis muda ini menjelaskan.

Winuranto menegaskan, para aktivis tidak akan mundur, bahkan akan lebih gigih berjuang dan mempertahankan spanduk maupun aksi protes ini. atm
posted by KOMPAS @ 4:03 AM   0 comments
Wednesday, January 17, 2007
Pimpinan Kompas Suruh Tramtib Lindas Aksi Spanduk
Jakarta, Kompas Inside. Aksi gelar spanduk 120 meter yang mengecam pemecatan sepihak Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas Bambang Wisudo, lagi-lagi diganggu aparat Tramtib DKI. Pimpinan Tramtib mengaku mereka mendapat perintah untuk melindas aksi tersebut dari pimpinan harian Kompas.

Aksi itu semula berjalan mulus sejak pukul 10.20 WIB, Rabu (17/1/2007). Spanduk tersebut dipasang di Jalan Gelora, seberang Gedung Harian Kompas di Jalan Palmerah Selatan No 22, Jakarta Pusat. Beberapa delegasi dari Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS), terlihat bergantian berjaga di halte Kompas.

Delegasi Komite yang hadir antara lain datang dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Pendidikan, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Tapi sekitar pukul 13.30 WIB, dari arah belakang DPR RI, turun puluhan petugas Tramtib Kecamatan Tanah Abang. Beberapa di antara mereka sudah berbekal pisau. Agaknya mereka tengah bersiap merobek-robek spanduk Komite yang bertujuan untuk memecahkan rekor Musium Rekor Indonesia (Muri) sebagai spanduk anti pemberangusan serikat pekerja terpanjang dan terlama yang pernah dipasang.

Untunglah beberapa aktivis yang bertugas berjaga di Halte Kompas awas. Mereka pun segera menghentikan tindakan brutal Tramtib tersebut. Saat ditegur aktivis Komite, komandan lapangan dengan inisial E. Iskandar di dada kanan, mengatakan ia mendapat perintah untuk menurunkan spanduk Komite.

"Kami mendapat perintah dari Camat Tanah Abang," ujarnya seraya menyebut nama pimpinannya Camat Idris Priyatna. Tapi setelah berdebat dengan anggota Komite serta pengacara LBH Pendidikan, Laksono, bahwa kewenangan untuk membubarkan aksi spanduk ada di polisi, dan Tramtib tak punya kewenangan, akhirnya E. Iskandar menelepon Camat Tanah Abang, Idris Priyatna.

Ia pun akhirnya menarik pulang anak buahnya setelah melihat surat pemberitahuan Komite ke Polda Metro Jaya atas aksi spanduk tersebut. Anak buahnya yang sudah siap-siap memotong spanduk anti pemberangusan serikat pekerja terpanjang itu, akhirnya memasukkan kembali pisau komando mereka.

Setelah Tramtib Kecamatan Tanah Abang mundur, anggota Komite kembali ke Halte Kompas. Tapi ketenangan itu rupanya tak berlangsung lama.Menjelang penurunan spanduk oleh Komite pada pukul 17.00 WIB terjadi lagi insiden baru.

Pada pukul 16.40 WIB, sekitar 40 anggota Tramtib kembali datang. Mereka datang bersama pimpinannya Sonar Sinurat dan Sofyan Hasan. Sofyan Hasan mendesak Komite untuk menurunkan spanduk itu segera atau mengancam akan segera dibongkar oleh aparat.

Namun, anggota komite dari ANBTI Hendrik Dikson Sirait membantah. "Ini bukan wilayah Pemprov dan kami tidak beurusan dengan Peraturan Daerah. Tapi aksi ini wewenang kepolisian," ujarnya.

Tapi Sofyan Hasan berkeras. Sementara Sonar Sinurat mengatakan ia hanya menjalankan perintah pimpinan, yakni Kepala Sudin Tramtib DKI Subandi. Maka, Kordinator Komite Edy Haryadi, menghubungi Subandi di nomer telepon genggamnya.

Sempat terjadi adu argumen apakah ini wilayah Pemprov DKI atau Kepolisian. Menurut pengakuan Subandi, ia mendapat permintaan dari pimpinan Kompas agar Tramtib menertibkan aksi spanduk tersebut. Alasannya pimpinan Kompas keberatan dengan aksi spanduk itu.

"Lho, kalau keberatan, bukankah pimpinan Kompas seharusnya melapor ke polisi sehingga polisi yang menertibkan kami, dan bukannya malah meminta ke Tramtib," tanya Edy.

Mendengar hal itu, Subandi lalu berkata, "Kami juga sudah bilang seperti itu pada Kompas," ujarnya.

Subandi pun mengendur. Apalagi setelah diyakinkan bahwa memang Komite berencana akan menurunkan pada jam 17.00 WIB.

Akhirnya, puluhan Tramtib dan pimpinannya bersedia kembali ke kendaraaan di seberang rel. Setelah memastikan mereka pergi, anggota Komite masih menunggu 10 menit sampai jarum jam menunjuk pukul 17.00 WIB, sebelum menggulung spanduk sesuai rencana.

Meski demikian Hendrik Dikson Sirait menegaskan aksi spanduk itu akan berjalan lagi Kamis (18/1/2007) besok. "Ini hak kami sebagai warga negara untuk menggelar unjuk rasa. Kalau Kompas keberatan silahkan lapor ke polisi. Bukan dengan cara menggerakkan Tramtib untuk melindas aksi kami," tegasnya.

Apalagi belakangan setelah dicek, Subandi bukan Kepala Sudin Pemrov DKI. Tetapi dia adalah Kepala Suku Dinas Tramtib dan Linmas Walikota Jakarta Pusat. Walikota Jakarta Pusat sendiri sekarang dijabat Muhayat yang dulu menjabat sebagai Kepala Humas Pemprov DKI. (ud/E5)

Labels: ,

posted by KOMPAS @ 4:37 AM   0 comments
Monday, January 15, 2007
Komisi IX Siap Gelar Kasus Wisudo
Senin, 15 Januari 2007, 14:58:30 WIB
Laporan: Sholahudin Achmad

Jakarta, Rakyat Merdeka. Ketua Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning menerima kedatangan wartawan Kompas Bambang Wisudo, Senin siang (15/1). Namun kali ini, pertemuan tersebut bukan untuk kepentingan wawancara jurnalisme.

"Pertemuan ini terkait PHK sepihak yang dilakukan pihak Kompas terhadap Wisudo. Kami melaporkan persoalan ketenagakerjaan ini kepada Komisi IX," ujar Winuranto Adhi, anggota Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja, yang ikut dalam pertemuan tersebut.

Aktivis AJI Jakarta tersebut mengatakan, atas laporan masalah perburuhan tersebut, Komisi IX akan menggelar forum resmi di DPR, Senin mendatang. Komisi IX ingin mendengar penjelasan resmi soal pemecatan yang dialami Wisudo.

Selain itu, Komisi IX juga akan mendengar laporan masalah perburuhan yang dialami oleh para wartawan dan pekerja media massa. Selama ini, Komisi IX yang mengurusi masalah ketenagakerjaan, belum pernah mendapat laporan resmi mengenai masalah perburuhan dalam bidang pers.

Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja meminta agar Komisi IX segera memanggil pihak manajemen Kompas yang mengeluarkan keputusan sepihak memecat Wisudo.

"Kami juga minta agar Komisi IX memonitor kasus PHK Wisudo," ujar Winuranto. adi
posted by KOMPAS @ 2:24 AM   0 comments
Demo KOMPAS Bergerak ke DPR
Senin, 15 Januari 2007, 11:55:31 WIB
Laporan: Herawatmo


Jakarta, Rakyat Merdeka. Lebih dari 30 aktivis Serikat Pekerja yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS), Senin siang ini (15/1) menggelar spanduk sepanjang 120 meter di depan kantor Kompas.

Aksi hari ini merupakan aksi lanjutan, setelah spanduk terpanjang yang memecahkan rekor MURI ini terpajang selama lima hari di depan Hotel Indonesia. Tidak ada reaksi dari manajemen Kompas, atas pemasangan spanduk itu.

"Aksi ini dihadiri lebih dari 30 anggota Komite, pemasangan spanduk hari ini lancar," kata Koordinator Non Litigasi KOMPAS Winuranto Adhi, kepada Situs Berita Rakyat Merdeka di sela-sela pemasangan spanduk.

Winuranto menambahkan, aksi pemasangan spanduk kali ini Berbeda dengan aksi sebelumnya, spanduk protes PHK wartawan sekaligus aktivis Serikat Pekerja Kompas, Bambang Wisudo, hanya akan terpasang hingga tengah hari ini.

Para aktivis itu akan memindahkan spanduk protes terpanjang itu ke gedung DPR, dan akan digelar selama proses dialog aktivis KOMPAS dengan Komisi IX DPR berlangsung.

"Kami akan meminta Komisi IX memanggil manajemen Kompas, karena telah bersikap dan bertindak anti serikat pekerja. Selain itu, kami juga minta DPR memantau proses hukum kasus Kompas di kepolisian," jelas Winuranto.

Rencananya, pukul 12.45 para aktivis KOMPAS ini akan beranjak dari kantor Kompas menuju DPR. Aksi di kantor Kompas ini mendapat pengawalan aparat kepolisian Tanah Abang. atm
posted by KOMPAS @ 2:21 AM   0 comments
Aksi Spanduk Anti-Kompas Pindah Tempat
Minggu, 14 Januari 2007, 15:54:04 WIB
Laporan: Sholahudin Achmad


Jakarta, Rakyat Merdeka. Bagi Anda yang belum sempat menonton aksi spanduk terpanjang yang memecahkan rekor MURI, jangan khawatir. Senin besok (15/1), spanduk yang semula dipasang di depan Hotel Indonesia itu akan dipasang kembali.

Tapi, lokasinya berpindah, yakni, ke depan kantor Kompas-Gramedia, Pal Merah, Jakarta Pusat. Tepatnya, di jalan arteri dimana ada jalur rel kereta api di tengahnya. Spanduk dengan panjang 120 meter lebih tersebut, akan dipasang di sekitar halte Kompas.

Edy Haryadi Koordinator Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (Kompas) yang menggelar aksi spanduk tersebut mengatakan, dalam aksi lanjutan besok, tetap tidak ada pengerahan massa.

"Kami cuma memasang spanduk pagi-pagi, lalu siangnya datang ke Komisi IX DPR untuk mengadukan masalah pemberangusan serikat pekerja Kompas," kata Edy saat dihubungi Situs Berita Rakyat Merdeka, beberapa menit lalu.

Spanduk yang dipasang itu bertuliskan pesan-pesan perlawanan terhadap keputusan pemecatan wartawan Kompas, Bambang Wisudo.

Wisudo dipecat November lalu, namun pemecatan tersebut ditolaknya karena cacat hukum. Selain itu, PHK sepihak yang dilakukan oleh Pimpinan Redaksi Kompas itu dinilai sebagai upaya untuk memberangus Perkumpulan Karyawan Kompas, dimana Wisudo menjabat sebagai sekretaris.

Sementara Pimred Kompas Suryopratomo, dalam keterangan resminya mengatakan PHK itu dikarenakan Wisudo menolak dimutasi. Selain itu, kata Suryopratomo, Wisudo juga menimbulkan keresahan di kalangan karyawan perusahaan media tersebut.

Keduanya dalam waktu dekat akan bertemu di pengadilan, setelah polisi selesai membuat BAP atas laporan perbuatan tidak menyenangkan dan perampasan kemerdekaan yang dilaporkan Wisudo. adi
posted by KOMPAS @ 1:46 AM   0 comments
Sunday, January 14, 2007
Spanduk Tolak PHK Wisudo Terpampang di Kompas
Jakarta, Kompas Inside. Perlawanan terhadap pemberangusan serikat pekerja dan pemecatan sepihak manajemen Kompas kepada Bambang Wisudo akan terus dilakukan, hingga PHK tersebut dibatalkan.

"Senin hingga Jumat (8-12 Januari) lalu kita memasang spanduk sepanjang 120 meter di Bundaran HI. Dalam satu minggu ini, spanduk terpanjang ini akan terpampang di depan Kantor Kompas, Jl Palmerah No. 26-28, Jakarta," kata koordinator Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS), Edy Haryadi.

Aksi pemasangan spanduk itu, akan dimulai Senin besok (15/1), dan halte Gramedia-Kompas yang terletak di Jalan Palmerah, menjadi pooling (titik kumpul) aksi yang akan diadakan pada pukul pukul 09.30. Aksi pemasangan spanduk akan dilanjutkan pada Selasa hingga Jum'at (16-19/1).

"Aksi akan dimulai pukul 10.00 hingga 12.00, dan akan dilanjutkan audiensi dengan Komisi IX DPR RI pada pukul 13.00. Kepada komisi yang membawahi masalah ketenagakerjaan inilah kita akan melaporkan kasus PHK sepihak terhadap Bambang Wisudo," tambah Edy menjelaskan.

Menurut Edy, pemasangan spanduk ini akan dihadiri anggota Komite, yang terdiri dari berbagai elemen pergerakan dan serikat pekerja. (mo/E4)
posted by KOMPAS @ 5:13 AM   0 comments
Friday, January 12, 2007
Aksi Spanduk Terpanjang di HI Berakhir Mulus
Jakarta, Kompas Inside. Meski di bawah bayang-bayang teror dan intimidasi, aksi spanduk anti pemberangusan serikat pekerja Kompas sepanjang 120 meter di bunderan Hotel Indonesia (HI), hari Jumat (12/1/2007) petang, berakhir mulus.

Aksi spanduk bertema pemberangusan serikat pekerja terpanjang yang pernah digelar di kawasan HI ini sudah berjalan lima hari terhitung sejak hari Senin (8/1/2007). Aksi ini dgelar sejak pukul 10.00 WIB sampai 17.00 WIB tiap harinya.

Menurut kesaksian beberapa petugas polisi di HI yang memonitor aksi, spanduk yang dipasang Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) ini merupakan spanduk terpanjang yang pernah dipasang di kawasan HI alias wilayah Thamrin 1. Juga merupakan aksi spanduk terlama, karena dilakukan selama lima hari berturut-turut.

"Sepengetahuan saya, belum pernah ada spanduk sepanjang ini dan terlama di pasang di HI. Paling-paling orang demo seharian di HI, lalu pulang," ujar seorang petugas reserse yang berbicara pada salah satu panitia aksi.

Pengakuan serupa juga datang dari Papi (60), seorang karyawan di Plaza Indonesia. "Spanduknya panjang sekali. Rasanya belum pernah ada spanduk sepanjang ini digelar di HI," kata petugas yang sudah terbiasa melihat demo di dekat kantornya tersebut.

Pada hari Rabu (10/1/2007) lalu, seorang pengendara mobil yang mengaku kenal dekat dengan Jakob Oetama malah sempat memarkir mobilnya di Plaza Indonesia sebelum datang jalan kaki ke lokasi aksi. Lelaki setengah baya ini mengaku sudah dua hari lewat HI dan merasa penasaran membaca isi spanduk tersebut.

"Wah, kalian berani melawan Kompas ya?," tanya bapak setengah baya ini heran saat pertama datang ke panitia aksi. Tapi setelah membaca isi selebaran dan mendapat keterangan, bapak ini segera mafhum.

Ia justru menyesalkan mengapa tindak kekerasan dan pemecatan Bambang Wisudo bisa terjadi di Harian Kompas. "Saya ini teman baik JO. Saya akan telepon dia untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi," ujarnya pada salah satu panitia aksi sebelum pergi.

Tapi pada hari Rabu pula, petugas Tramtib dari Kecamatan dan Pemrov DKI beberapa kali mengintimidasi panitia aksi untuk membubarkan diri dan menggulung spanduk. Alasannya, panitia aksi belum meminta ijin ke Dinas Pendapatan Daerah seperti lazimnya iklan spanduk. Tapi upaya intimidasi yang lucu itu tak membuat panitia aksi goyah.

Menurut kordinator lapangan aksi Odie Hudiyanto, aksi spanduk ini adalah bentuk solidaritas terhadap kekerasan dan pemecatan tanpa prosedur yang menimpa Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas, Bambang Wisudo.

Menurut Odie, aksi spanduk ini akan terus berjalan sampai pemecatan Bambang Wisudo dibatalkan. Sebab, kata Odie, pemecatan Bambang Wisudo cacat hukum dan di luar prosedur PHK yang dijamin oleh undang-undang.

"Pemecatan Bambang Wisudo juga melawan hukum, khususnya UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja," ujar Sekretaris Umum Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) ini. Sebab dalam UU No 21/2000 sudah ditegaskan setiap aktivis serikat pekerja dilarang dimutasi, apalagi dipecat. Tapi ini yang terjadi pada wartawan senior Kompas Bambang Wisudo.

Menurut Odie, aksi spanduk sepanjang 120 meter itu, juga merupakan upaya pemberitahuan ke publik tentang skandal pemberangusan aktivis serikat pekerja Kompas karena mempersoalkan saham kolektif milik karyawan.

Terlebih Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo yang menandatangani surat pemecatan terhadap Bambang Wisudo, ia dengar melakukan upaya serius melobi sejumlah pimpinan media massa untuk memblokade berita tentang skandal pemberangusan aktivis serikat pekerja itu.

"Aksi ini menunjukkan, ada atau tidak ada pemberitaan, kita akan terus melakukan aksi untuk mewartakan kesewenangan pimpinan Kompas terhadap buruhnya," tandas Odie. (ud/E4)
posted by KOMPAS @ 7:48 AM   0 comments
Thursday, January 11, 2007
Kompas Inside Tolak Perang Kotor ke Wisudo
Jakarta, Kompas Inside. Redaksi Kompas Inside mulai hari ini, Jumat (12/1), secara resmi menyatakan kolom komentar pembaca (tag board) dihapus untuk selamanya.

Alasannya, kolom komentar pembaca kini sudah seperti milist-milist yang ada. Yakni telah menjadi ajang untuk melancarkan perang kotor dan propaganda hitam yang dilakukan secara sistematis terhadap Bambang Wisudo, korban pemberangusan serikat pekerja di harian Kompas.

Apalagi setelah dilacak, berdasar alamat Internet Protocol (IP) Address, komputer yang mem-posting serangan kotor dan kampanye hitam kepada Bambang Wisudo berasal kawasan grup bisnis yang berada di bawah naungan lembaga yang melakukan kekerasan dan pemberangusan terhadap Bambang Wisudo sebagai aktivis serikat pekerja Perkumpulan Karyawan Kompas. Semua serangan ke Bambang Wisudo berasal dari IP Address yang sama.

Contoh salah satu posting yang merupakan bagian dari perang kotor itu adalah membuka berapa jumlah upah Bambang Wisudo. Keterangan yang begitu detil dan rinci, jelas bukan tanpa sebab. Hanya petinggi dan manajemen harian Kompas yang bisa mengerti berapa hak yang seharusnya diterima Bambang Wisudo. Bambang Wisudo sendiri mengaku tidak pernah tahu begitu rinci berapa upah yang dia terima.

Karena itu dengan surat ini, Kompas Inside menyatakan akan kembali ke tujuan semula. Tujuan utama pendirian Kompas Inside adalah untuk mendokumentasikan sekaligus mendobrak blokade pemberitaan tentang pemberangusan Serikat Pekerja Kompas yang dilakukan oleh pimpinan Harian Kompas.

Bagi yang berkepentingan untuk melanjutkan perang kotor dan propaganda hitam ke Bambang Wisudo, silahkan meneruskan ke milist-milist terbuka.

Namun demikian redaksi Kompas Inside tak menolak kritik. Bagi pembaca yang memiliki berita, informasi, opini tentang perkembangan kasus Bambang Wisudo dipersilahkan mengirim ke alamat email redaksi di lawan.kompas@gmail.com
posted by KOMPAS @ 8:39 PM   0 comments
Polisi Periksa Penyanderaan Wisudo
Jakarta, Kompas Inside. Tindak pidana perampasan kemerdekaan oleh satpam harian Kompas, Kamis (11/1/2007), mulai ditindaklanjuti polisi.

Dengan didampingi Hendrayana, SH dan Agus, SH dari tim litigasi Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja Kompas (KOMPAS), Bambang Wisudo pagi ini hadir sebagai saksi pelapor tindak perampasan kemerdekaan yang dilakukan satpam yang mengaku mendapat perintah dari pimpinan Kompas.

Atas laporan ini, satpam dan pimpinan Kompas yang menyuruh satpam terancam hukuman 8 tahun penjara sesuai pasal 335 KUHP.

Bambang Wisudo diperiksa oleh Komisaris Polisi Watono SH dan Ajun Komisaris Polisi Herman Sukandi. Dasarnya adalah pengaduan Bambang Wisudo tanggal 19 Desember 2006 lalu, dengan nomer laporan 4791/K/XII/2006 SPK Unit III.

Total pertanyaan yang harus dijawab Wisudo sebanyak 14 buah. Pemeriksaan yang berlangsung sejak pukul 10.00 WIB baru berakhir pada pukul 16.00. Wisudo juga menyarankan agar polisi memeriksa CCTV milik harian Kompas sekaligus menguji kesahihannya.

Dalam pemeriksaan, Bambang Wisudo menuturkan episode kekerasan yang ia alami bermula pada saat membagikan leaflet yang berisi suratnya ke Jakob Oetama dan sikapnya selaku Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas yang menolak tegas mutasi ke Ambon. Karena hal itu memang dilarang oleh UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja.

Menurut Wisudo, awalnya dia membagi-bagikan leaflet itu ke karyawan di dekat lift dalam situasi relaks pada pukul 15.30, Jumat 8 Desember 2006. Suasana berlangsung santai. Bambang malah sempat tertawa-tawa dengan beberapa rekannya dari redaksi Kompas.

Lalu, datang seorang satpam perempuan meminta leaflet yang ia bagikan. Tak lama kemudian datang Wakil Komandan Satpam, Kiraman Sinambela. Wisudo diminta ke pos. Tapi Wisudo menolak karena itu adalah hak dia sebagai aktivis serikat pekerja. Lalu Kiraman Sinambela langsung membekuk, memiting, sehingga Bambang Wisudo terseret dan terjatuh. Setelah terjatuh, ia digotong paksa oleh paling tidak tiga orang satpam.

Sesampai di dalam Posko Satpam, Wisudo sempat dibiarkan selama setengah jam sendirian. Ia
juga sempat mendengar perintah dari luar, "Sterilkan ruangan ini. Tidak boleh seorang pun masuk."

Di dalam Posko Satpam Wisudo diinterogasi. Tapi karena menolak, ia tetap tak boleh keluar ruangan pemeriksaan. "Mau sehari, seminggu atau setahun kamu di sini terserah," kata Kiraman Sinambela mengancam Wisudo.

Bahkan untuk buang air kecil pun ia dikawal dua orang Satpam. Karena AC ruangan sangat dingin, ia sempat meminta ijin mengambil jaket di redaksi Kompas, tapi tetap tak diijinkan.

Barulah setelah sekitar pukul 19.00 WIB ia dibawa keluar oleh beberapa pengurus Perkumpulan Karyawan Kompas dan General Manager SDM Bambang Sukartiono. Ia lalu dibawa ke ruangan Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo untuk menerima surat pemecatan.

Setelah keluar, Wisudo baru tahu bahwa teman-teman yang sempat ia hubungi saat ia berada ditahan di ruang satpam sudah berada di depan Posko Satpam Kompas sejak pukul 17.15 WIB. Tapi sampai jam 19.00 WIB, mereka tak boleh menjengguk Wisudo.

Malah, seorang satpam menantang teman-temannya, "Silahkan saja lapor ke polisi, kami di sini punya hak memeriksa," kata seorang staf SDMU Kompas, Suharno. Barulah setelah mendengar kawan-kawan Bambang Wisudo serius melaporkan perampasan kemerdekaan itu di Polsek Tanah Abang, Wisudo dibebaskan dari pos Satpam. (hag/E3)
posted by KOMPAS @ 1:50 AM   0 comments
Wednesday, January 10, 2007
Aksi Spanduk Anti-Kompas Dihalau Tramtib
Rabu, 10 Januari 2007, 19:31:07 WIB
Laporan: Sholahudin Achmad

Jakarta, Rakyat Merdeka. Aksi pemasangan spanduk sepanjang lebih dari 120 meter yang dilakukan Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) untuk membela perjuangan wartawan Kompas Bambang Wisudo mendapatkan perlawanan.

Padahal, aksi yang dimulai sejak Senin siang lalu (8/1), yang dibentangkan di depan bundaran Hotel Indonesia itu hingga Selasa kemarin masih aman-aman saja. Namun Rabu ini, aksi yang memecahkan rekor MURI untuk spanduk terpanjang tersebut mendapatkan hadangan dari petugas Tramtib DKI.

Odie Hudiyanto koordinator lapangan aksi tersebut mengatakan, pada hari Senin dan Selasa lalu pihak kepolisian maupun keamanan Hotel Indonesia bisa mengerti tentang aksi spanduk itu, setelah ditunjukkan surat pemberitahuan ke pihak kepolisian.

"Persoalan bukan datang dari polisi," kata Odie kepada Situs Berita Rakyat Merdeka sore ini (10/1).

Dia mengungkapkan, beberapa orang yang diduga sebagai mata-mata dari Kompas datang untuk mengambil gambar lewat foto ponsel maupun handycam pada hari Senin dan Selasa. Lalu, pada Rabu ini, hari ketiga spanduk itu dipasang, aparat Keamanan dan Ketertiban (Tramtib) Kecamatan datang untuk melarang pihaknya melanjutkan aksi spanduk itu.

"Tapi setelah berdebat bahwa yang berhak melarang bukan Tramtib melainkan kepolisian, mereka pamit setelah diberi surat pemberitahuan ke polisi," ujarnya.

Tak lama berselang, giliran Tramtib dari Pemprov DKI Jakarta yang datang. Maka, terjadi lagi adu argumen lagi. Setelah berdebat, mereka meminta agar Komite mengirimkan surat ijin lewat faksimili ke kantor tramtib. Tapi saat nomor yang diberikan difaksimili, ternyata tak bisa menerima.

Menurut Odie, bisa jadi ada pihak yang merasa dirugikan telah mencoba membungkam aksi yang mewartakan ke publik tentang apa yang terjadi di harian Kompas.

"Saya pikir, ini bukan murni datang dari inisiatif Tramtib. Tapi karena ada pihak-pihak yang merasa harus membungkam aksi ini. Lewat polisi, mereka tidak bisa intervensi. Lalu kemudian mencoba menggunakan Tramtib," ujar Sekretaris Umum Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) ini.

Spanduk yang dipasang di muka Hotel Indonesia tersebut, diantaranya bertuliskan, Suryopratomo: Anda Preman atau Pemimpin Redaksi dan Tolak PHK Bambang Wisudo adi
posted by KOMPAS @ 6:37 AM   0 comments
Pimred Kompas Terancam Kurungan 1 Tahun Penjara
Rabu, 10 Januari 2007, 12:30:43 WIB
Laporan: Sholahudin Achmad

Jakarta, Rakyat Merdeka. Sholeh Ali anggota tim kuasa hukum Bambang Wisudo, wartawan Kompas yang dipecat sepihak beberapa waktu lalu, berharap pihak penyidik Polda Metro Jaya segera memanggil Pimpinan Redaksi Kompas Suryopratomo, dan empat orang petugas satpam yang menyekap Wisudo.

"Karena kemarin (Selasa, 9/1) Wisudo sudah dipanggil sebagai saksi pelapor, dan besok akan dipanggil lagi dalam kasus penyekapan terhadap dirinya. Dengan demikian, tim penyidik polisi juga harus segera memanggil para terlapor (pelaku, red) dan saksi-saksi lainnya," ujar Sholeh Ali, saat dihubungi Situs Berita Rakyat Merdeka siang ini (Rabu, 10/1).

Sholeh mengatakan, pihaknya membuat dua laporan untuk dua kasus yang berbeda ke polisi, terkait kasus Bambang Wisudo vs Kompas.

Dalam laporan pertama, Wisudo melaporkan Suryopratomo ke polisi dengan tuduhan melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Sesuai pasal 335 KUHP, ancaman maksimal terhadap Pimpinan Redaksi harian ternama itu adalah hukuman kurungan penjara maksimal 1 tahun.

Laporan itu terkait Surat Pemberitahuan tentang PHK Wisudo yang dibuat Suryopratomo bertanggal 8 Desember 2006, yang menuduh Wisudo telah menimbulkan keresahan kepada karyawan Kompas lainnya.

"Surat itu membuat Wisudo merasa dilecehkan, dianggap sebagai pelaku kriminal, dan telah diganggu haknya untuk berserikat dan berkumpul," ujar Sholeh.

Sementara itu, laporan kedua dari tim kuasa hukum Wisudo, adalah kasus penyekapan Wisudo yang dilakukan oleh empat orang petugas satpam Kompas.

Sholeh mengatakan pelaku diancam dengan pasal berlapis, pasal 333 KUHP mengenai perampasan kemerdekaan, dan pasal 335 KUHP. Kamis besok Wisudo akan diperiksa sebagai saksi pelapor dalam kasus yang bukan merupakan delik aduan itu. Terlapor, dalam hal ini Wakil Kepala Satpam Kompas Kiraman Sinambela dan anggotanya, terancam kurungan penjara selama 8 tahun.

"Kami berharap tim penyidik Polda Metro Jaya segera mempidanakan kasus ini ke pengadilan," kata pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Pers tersebut. adi
posted by KOMPAS @ 6:33 AM   0 comments
Tuesday, January 9, 2007
Intimidasi dan Teror Warnai Aksi Spanduk
Jakarta, Kompas Inside. Aksi spanduk bertema ‘anti pemberangusan serikat pekerja Kompas’ untuk memecahan rekor Musium Rekor Indonesia (MURI) ternyata membuat gerah. Akibatnya intimidasi dan teror datang silih berganti.

Aksi ini sendiri digagas Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) sebagai bentuk solidaritas terhadap Bambang Wisudo. Sekteraris Perkumpulan Karyawan Kompas ini mengalami kekerasan sebelum dipecat karena aktivitasnya mengutak-atik saham kolektif 20 persen milik karyawan harian terbesar di Indonesia tersebut.

Untuk itu, surat pemberitahuan ke polisi melalui Polda Metro Jaya tentang aksi spanduk itu sudah dilayangkan Komite. Aksi spanduk ini sendiri akan berlangsung mulai hari Senin (8/1/2007) hingga Jumat (12/1/2007) sejak pukul 10.00-17.00 WIB, setiap harinya.

Pada hari pertama dan kedua, aksi berjalan lancar. Pihak kepolisian maupun keamanan Hotel Indonesia, bisa mengerti tentang aksi spanduk itu setelah ditunjukkan surat pemberitahuan ke pihak kepolisian. Pada hari pertama dan kedua, beberapa mata-mata yang diduga berasal dari Harian Kompas datang untuk mengambil gambar lewat foto HP maupun handycam.

Namun pada hari ketiga, Rabu (10/1/2007), persoalan datang bukan dari aparat kepolisian. Melainkan justru dari aparat Keamanan dan Ketertiban (Tramtib). Pada pukul 10.00 WIB, beberapa petugas dari Kecamatan sempat melarang untuk melanjutkan aksi.

Tapi setelah berdebat bahwa yang berhak melarang bukan Tramtib melainkan kepolisian, mereka pamit setelah diberi surat pemberitahuan ke polisi.

Tak lama berselang, giliran Tramtib dari Pemprov DKI Jakarta yang datang. Maka, terjadi lagi adu argumen antara Kordinator Lapangan aksi Odie Hudiyanto dengan komandan Tramtib yang mengaku hanya menjalankan perintah atasan. Setelah berdebat, mereka meminta agar Komite memfaks surat ijin ke kantor Tramtib dengan nomer 915638. Tapi saat difaks, nomer tersebut tak bisa menerima.

Menurut Odie, bisa jadi ada pihak yang merasa dirugikan telah mencoba membungkam aksi yang mewartakan ke publik tentang apa yang terjadi di harian Kompas.

"Saya pikir, ini bukan murni datang dari inisiatif Tramtib. Tapi karena ada pihak-pihak yang merasa harus membungkam aksi ini. Lewat polisi, mereka tidak bisa intervensi. Lalu kemudian mencoba menggunakan Tramtib," ujar Odie yang juga menjabat sebagai Sekretaris Umum Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) ini. (bon/E1)
posted by KOMPAS @ 10:45 PM   0 comments
Ketika si Jablay "Nyelonong Masuk" Sidang
[10/1/07]
sumber www.hukumonline.com

‘Kehadiran’ Titi Kamal mencairkan panasnya suasana sidang mediasi kasus pemecatan wartawan senior Harian Kompas Bambang Wisudo.

Senin (8/1) siang di Gedung Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnaketrans) Provinsi DKI Jakarta. Kala itu dihelat sidang mediasi kasus pemecatan wartawan senior Harian Kompas Bambang Wisudo. Sedianya sidang dimulai pada pukul 14:00 WIB. Seakan menjadi budaya jam karet, sidang yang ditunggu-tunggu ini dibuka 30 menit lebih lambat dari jadwal.

Sidang itu digelar di sebuah bilik ruangan yang terletak hampir mentok di pojok lorong. Ruang itu begitu pengap tanpa sirkulasi udara dan hanya berukuran kira-kira 3 x 5 meter –sangat sesak jika diisi dua puluhan orang. Kecilnya volume AC takkan mampu menyurutkan rasa gerah.

Di balik ruang yang tersekat dinding tripleks itu terdengar suara perdebatan tentang hubungan kerja –mungkin juga berlangsung sidang kasus lainnya di ruang sebelah. Kepala Seksi Perselisihan Hubungan Kerja Disnakertrans DKI Jakarta Rindjan Saragih mulai mempersilahkan kubu Bambang memasuki ruangan. Kali ini Rindjan bertindak sebagai mediator. Dia didampingi oleh mediator Disnakertrans DKI Jakarta Lindessa Purba yang bertindak sebagai notulis sidang.

Di dalam ruangan telah menunggu empat orang kuasa hukum PT Kompas Media Nusantara (KMN) –Frans Lakaseru, Untung Herminanto, Agung Yuwono, dan Arya Bagaskoro. Lalu, masuklah Bambang bersama kuasa hukumnya. Rindjan mulai merapalkan kalimat pembuka. "Terima kasih atas kesediaan Bapak dan Ibu sekalian, mendatangi sidang mediasi karyawan Harian Kompas ini…"

Belum tuntas membuka acara, penjelasan Rindjan terpotong Direktur Trade Union Research Center (TURC) Surya Tjandra –salah satu kuasa hukum Bambang. "Mohon maaf, menurut kami belum ada sidang mediasi. Proses bipartit saja belum pernah terjadi…," sergahnya.

Tak mau kehilangan wibawa, Rindjan pun menimpali, "Biarkan saya selesai ngomong…"

Surya tak menggubris. "Sebelumnya mohon diperkenalkan dulu siapa saja yang ada di depan kita ini," ujar Surya sambil menunjuk Frans cs.

Rindjan membalas, "Biarkan saya selesaikan omongan saya dulu. Saya tahu maksud Saudara. Nanti toh akan saya perkenalkan. Satu per satu dulu lah," selorohnya dengan logat Batak kental.

Surya makin menyodok, "Intinya kami menolak sidang mediasi ini. Belum ada forum bipartit. Secara legal pun PHK Bambang ini tidak sah."

Merasa memperoleh momen yang tepat, Bambang pun ikut nyemplung. "Yang menandatangani surat PHK adalah Suryopratomo –seorang pemimpin redaksi. Seharusnya Pak Jakob Oetama –Pemimpin Umum Harian Kompas. Pak Jakob yang mengangkat saya sebagai karyawan. Anda jangan melangkahi Pak Jakob loh. Pak Jakob belum mati," gertak Bambang kepada kuasa hukum KMN dengan nada tinggi.

Rindjan mencoba menengahi. "Sudah. Yang penting kan jalan yang terbaik buat kedua pihak. Oke, mari memperkenalkan diri satu per satu," ujarnya sambil meminta daftar hadir yang dipegang oleh Lindessa.

"Pak Frans, Pak Untung, dan Pak Agung. Dari pihak KMN…" Rindjan membaca daftar absen tersebut dengan suara tegas. Dilanjutkan membaca nama-nama dari kubu Bambang.

Belum kelar Rindjan menarik napas guna melanjutkan percakapan, Bambang menyela, "Pak Untung itu karyawan Gramedia Grup loh. Bukan karyawan KMN. Gimana ini?"

Untung pun tergagap menjelaskan, "Kami sudah ditunjuk sebagai kuasa hukum KMN. Ada surat kuasanya. Enggak usah mempermasalahkan hal yang membuat melenceng," tuturnya dengan suara lirih.

Horas Siringoringo, Ketua Divisi Non Litigasi LBH Pers yang juga menjadi kuasa hukum Bambang, nimbrung juga. "Kami khawatir ada peserta gelap di sidang ini," repetnya sambil menunjuk Arya yang tak disebutkan Rindjan dari daftar absen.

"Sebenarnya saya tadi mau ngisi daftar hadir, tapi keburu diambil Pak Rindjan," ujar Arya sambil menggaruk kepala plontosnya.

Suasana pun tersendat karena kedua pihak makin memanas. Sejurus terdengar sepenggal lirik lagu, "Pergi tamasya ke Binaria…" Rupanya suara itu nada panggil (ringtone) telepon genggam Rindjan. Buru-buru si empunya hape membunuh suara soundtrack film Mendadak Dangdut yang dilakoni Titi Kamal itu.

Hawa tegang pun sejurus melumer menjadi ledak tawa. Sempitnya ruangan seakan runtuh ditingkah cekakakan para peserta sidang. "Suka sama jablay yah Pak?" celetuk salah satu peserta sidang.

Rindjan masih berusaha menjaga muka, "Biasanya sih saya matiin hape kalau sidang. Cuma kali ini saja saya kelupaan," kelitnya memberi alasan. "Kalau begini kan santai. Tak perlu emosi Bapak-bapak," sambungnya.

Acara pun berlanjut. Pintu dibuka dari luar. Rupanya seorang juru kamera sebuah stasiun televisi tergopoh-gopoh terlambat masuk. Rindjan akhirnya mengabulkan permohonan Bambang membatalkan proses mediasi. Kedua pihak diminta segera menggelar pertemuan bipartit –selambat-lambatnya 30 hari setelah sidang ini.

"Saya berharap tak perlu repot-repot ketemu Bapak-bapak lagi. Artinya, cukup selesai di tahap bipartit supaya menguntungkan kedua pihak," pungkas Rindjan yang dalam waktu dekat akan menikmati masa pensiun ini sambil mengulum senyum kecut.

Biar tak ketanggor si Jablay lagi yah Pak? (CRY)
posted by KOMPAS @ 10:43 PM   0 comments
Polisi Mulai Periksa Pengaduan Bambang Wisudo
Jakarta, Kompas Inside. Kepolisian RI mulai memeriksa pengaduan Bambang Wisudo dalam kasus perbuatan tidak menyenangkan Pemimpin Redaksi Kompas, Suropratomo.

Pada hari Selasa (9/1/2007) kemarin, sekitar pukul 09.00 WIB, Bambang Wisudo memenuhi surat panggilan polisi bernomer SPGL/318/2007/Dit Reskrimum Polda Metro Haya dalam kapasitasnya sebagai saksi pelapor. Wisudo datang ditemani beberapa kuasa hukumnya dari Komite Anti Peberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS). Kuasa hukum yang mendampingi antara lain Ori Rahman dari Kontras dan Sholeh Ali dari LBH Pers.

Setelah tiba, Wisudo diperiksa sebagai saksi pelapor oleh penyidik Briptu Aziz Riyanto di ruang 11-1 Lantai 2 Unit IV Sat Renakta Dit Reskrimum, Polda Metro Jaya.

Seperti diketahui, Bambang Wisudo melaporkan Suryopratomo dengan dakwaan Perbuatan Tidak Menyenangkan seperti dimaksud pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Peristiwa yang diadukan adalah pada saat Wisudo menerima surat pemecatan yang ditanda-tangani Suryopratomo.

Dalam pemeriksaan, Bambang melaporkan Suryopratomo selaku Pemimpin Redaksi harian Kompas karena merasa dirugikan, dan diganggu nama baiknya atas surat pemberitahuan No 074/Red/SDM/XII/2006 tertanggal 8 Desember 2006 yang ditanda-tangani Suryopratomo.

Dalam surat yang ditanda-tangani Suropratomo itu Bambang Wisudo dituduh telah, "memutarbalikkan fakta, dan perbuatan tidak menyenangkan kepada Perusahaan yang telah menimbulkan keresahan kepada karyawan lain atas tindakan Sdr Bambang wisudo yang telah menyebarkan selebaran di lingkungan Perusahaan kepada karyawan lain."

Atas dasar itu Bambang Wisudo merasa dia telah dilecehkan dan dianggap pelaku kriminal oleh Suryopratomo. Dia juga merasa telah diganggu haknya untuk berserikat dan berkumpul seperti diatur dalam UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja.

Pemeriksaan terhadap Bambang Wisudo baru berkahir setelah empat jam. Penyelidikan itu sendiri berjalan lancar.

Menurut jadwal, Kamis (11/1/2007) pagi besok Bambang Wisudo akan kembali diperiksa sebagai saksi pelapor dalam laporan perampasan kemerdekaan yang dilakukan oleh Wakil Komandan Satpam K Sinambela yang mengaku diperintah atasan. Untuk laporan perampasan kemerdekaan, satpam dan atasan yang memerintahkan diancam hukuman 8 tahun penjara. (al/E2)
posted by KOMPAS @ 9:08 PM   0 comments
Dari Disnaker: PHK Wisudo Cacat Hukum
Jakarta, Kompas Inside. Tim pengacara dari Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) berhasil mendesak mediator dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi DKI Jakarta untuk membatalkan sidang mediasi antara wartawan Kompas, Bambang Wisudo dan PT Kompas Media Nusantara (KMN), Senin (8/1) siang.

Tim pengacara berargumen, sidang mediasi tripartit untuk mengesahkan pemecatan Bambang Wisudo tersebut cacat hukum. Karena perundingan bipartit sama sekali belum pernah dilakukan. Tanpa ada proses dialog, Suryopratomo, pemimpin redaksi Kompas langsung memecat Bambang Wisudo.

Persidangan yang digelar di sebuah bilik ruangan sempit di lantai satu gedung Disnakertrans itu berlangsung panas kemarin. Rindjan Saragih Kepala Seksi Perselisihan Hubungan Kerja Disnakertrans DKI berulang kali mendapatkan kecaman karena sempat bersikeras menyatakan sidang yang dipimpinnya itu merupakan bagian dari sidang mediasi.

"Kami menolak sidang mediasi ini karena sebelumnya belum pernah terjadi forum bipartit. Jadi PHK terhadap Bambang Wisudo ini tidak sah," kata Direktur Trade Union Research Center (TURC) Surya Tjandra, SH, LLM, salah satu kuasa hukum Wisudo.

Surya pun mengusulkan agar pertemuan bipartit terjadi langsung dengan Jakob Oetama selaku Pimpinan Umum Harian Kompas dan Bambang Wisudo. PT Media Nusantara tidak perlu diwakili orang lain, apalagi Suryopratomo.

Dalam forum tersebut Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) juga sempat mempertanyakan kejelasan status kuasa hukum PT KMN yang diwakili Frans Lakaseru, Untung Herminanto, Agung Yuwono, dan Arya Bagaskoro.

"Pak Untung itu karyawan Gramedia Grup. Bukan karyawan KMN," kata Wisudo yang juga mempertanyakan kewenangan Suryopratomo mengeluarkan surat pemecatan terhadap dirinya

Namun, menurut Untung, dia dan kawan-kawannya secara sah ditunjuk sebagai kuasa hukum oleh Suryopratomo yang disebutnya sebagai direksi Kompas. "Kami sudah ditunjuk sebagai kuasa hukum. Ada surat kuasanya. Jangan mempermasalahkan hal yang bisa membuat melenceng," jawab Untung yang selalu tampil mengawal Kompas-Gramedia jika kelompok ini terlibat perselisihan tenaga kerja dengan karyawannya.

Namun suasana yang memanas di dalam ruangan itu sempat terinterupsi dengan munculnya dering lagu 'Jablai' (Jarang Dibelai) yang dilantunkan Titi Kamal.

Usut punya usut ternyata lagu tersebut keluar dari telepon genggam Rindjan Saragih yang tampak menyembul di balik sarungnya yang dililitkan di pinggang. Semua orang yang hadir di ruangan tersebut kontan jadi terbahak-bahak.

Hari Nugroho dari AJI Jakarta yang merekam persidangan tersebut menghardik Rindjan yang lupa mematikan telepon genggamnya. Dia berusaha tenang menjaga wibawa. "Biasanya saya selalu mematikan handphone kalau sidang. Cuma kali ini lupa," katanya beralasan.

Setelah peristiwa itu Rindjan bersedia mengabulkan permohonan tim pengacara Bambang Wisudo untuk membatalkan proses mediasi. Kedua pihak diminta segera menggelar pertemuan bipartit.

Dalam sidang tersebut, Wisudo mendapatkan dukungan dari puluhan anggota Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja. Ati Nurbaiti, jurnalis senior Jakarta Post yang juga bekas Ketua Umum AJI Indonesia tampak terlihat memberi dukungan moral. (Wn/E2)
posted by KOMPAS @ 3:07 AM   0 comments
Monday, January 8, 2007
Spanduk Anti-Kompas Pecahkan Rekor MURI
Senin, 08 Januari 2007, 11:58:15 WIB
Laporan: Sholahudin Achmad

Jakarta, Rakyat Merdeka. Sebuah spanduk yang dibentangkan oleh Komite Anti-Pemberangusan Serikat Pekerja Wartawan Kompas di depan Hotel Grand Indonesia diklaim telah memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (Muri).

Spanduk berkain putih itu panjangnya mencapai 120 meter yang dipasang di sisi jalan Bundaran HI, Jakarta Pusat pada Senin siang ini (8/1). Sebelumnya, spanduk terpanjang yang masuk rekor Muri adalah 80 meter.

Pemasangan spanduk tersebut merupakan ungkapan protes dan kekecewaan dari seorang wartawan Kompas bernama Bambang Wisudo yang dipecat oleh bos Kelompok Kompas Gramedia Jacob Oetama karena dianggap "mbalelo".

Isi spanduk itu pun juga memuat nada-nada kecaman, seperti "Hai, Suryopratomo (Pemred Harian Umum Kompas), Anda preman atau Pemimpin Redaksi Sih?."

Lalu, ada lagi tulisan besar berwarna hitam, "Kompas: Mata Hati, Kata Hati, Sudah Mati!". Isi spanduk yang lainnya antara lain, "Lawan Pemberangusan Serikat Pekerja Kompas", serta "Tolak PHK Wartawan Kompas Bambang Wisudo."

Pemasangan spanduk terpanjang di Bundaran HI ini diakui Odie Hudianto dari Komite Anti-Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) ini merupakan aksi lanjutan dari bentuk perlawanan atas sikap manajemen Kompas yang telah memecat Bambang Wisudo.

Bahkan, dua pekan lalu, kantor redaksi Kompas di Jalan Palmerah Selatan pun juga di demo ratusan massa gabungan seperti dari AJI Jakarta serta elemen LSM pro-Bambang Wisudo. iga
posted by KOMPAS @ 3:23 AM   0 comments
Aksi Spanduk Tolak Pemecatan Wartawan 'Kompas'
Author : Yulianti
Mon, 08 Jan 2007 13:37:11
sumber: www.vhrmedia.net

Aksi Spanduk Tolak Pemecatan Wartawan 'Kompas'

Jakarta. Komite Anti-Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) menggelar aksi pemasangan spanduk di depan Hotel Indonesia, Jakarta, Senin (8/1) siang. Mereka menolak pemecatan wartawan Bambang Wisudo oleh Pemimpin Redaksi Kompas yang dinilai sewenang-wenang.

Spanduk putih sepanjang 120 meter yang dibentangkan itu berisi berbagai gugatan. Antara lain, "Kompas Mata Hati, Kata Hati Sudah Mati", "Suryapratomo, Anda Pemred atau Preman", "Lawan Pemberangusan Serikat Pekerja Kompas", "Tolak PHK Karyawan Bambang Wisudo".

Juru bicara aksi Komite Anti-Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) Odie Hudiyanto mengatakan, aksi pemasangan spanduk itu tidak dibatasi waktu hingga kasus pemecatan wartawan senior koran Kompas Bambang Wisudo selesai.

Lokasi pemasangan spanduk itu akan menjadi tempat berkumpul wartawan yang bersimpati terhadap Bambang Wisudo. "Sampai Kompas bertemu dengan kami, dan menyelesaikan dengan baik. Paling tidak Bambang Wisudo dapat bekerja kembali di Kompas," ujarnya.

Komite Anti-Pemberangusan Serikat Pekerja menilai Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo memecat Bambang Wisudo secara sepihak. Semestinya bila akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) Kompas meminta izin ke lembaga penyelesaian perburuhan Departemen Tenaga Kerja.

Seperti pernah diberitakan, kasus pemecatan wartawan senior Bambang Wisudo kini ditangani Kepolisian Metro Jakarta Raya. Bambang Wisudo melaporkan Pemimpin Redaksi Kompas Suryo Pratomo atas perbuatan tidak menyenangkan karena telah melakukan aksi kekerasan.

Bambang Wisudo adalah Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas yang berjuang menuntut hak pekerja atas 20% saham PT Kompas Media Nusantara. (Yulianti/E5)
posted by KOMPAS @ 3:15 AM   0 comments
Saturday, January 6, 2007
Wisudo Hadiri Rapat PKK, Kompas Tegang
Wisudo Hadiri Rapat PKK, Kompas Tegang

Jakarta, Kompas Inside. Serikat pekerja Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) lagi-lagi buat kejutan. Setelah membuat surat protes ke manajemen berisi penolakan pemecatan Bambang Wisudo karena kegiatannya sebagai Sekretaris PKK, Jumat (5/1/2007) kemarin, PKK mengundang Bambang Wisudo menghadiri rapat pengurus PKK.

Rapat pengurus PKK itu sendiri kemarin berjalan mulus. Bambang Wisudo bisa hadir dan mengikuti rapat pengurus sampai selesai, sejak pukul 15.00-18.00 WIB. Walau demikian, ketegangan dan kegugupan di kalangan pimpinan dan satpam Kompas atas kehadiran Bambang Wisudo tak bisa ditutup-tutupi.

Maklum, ruang rapat pengurus PKK yang terletak di Lantai II Gedung harian Kompas, jaraknya tak sampai 100 meter dari tempat Bambang mengalami kekerasan. Pada tanggal 8 Desember 2006, Bambang memang sempat dibekuk, dipiting, diseret paksa sebelum disandera satpam Kompas selama dua jam tanggal 8 Desember 2006 lalu. Para satpam mengaku hanya menjalankan perintah atasan.

Apalagi, dalam surat pemecatan Bambang Wisudo yang ditanda-tangani Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo, secara tegas disebutkan bahwa Bambang Wisudo dilarang memasuki areal Gedung Kompas terhitung sejak tanggal 9 Desember 2006.

Undangan Resmi
Cerita kehadiran Bambang Wisudo itu bermula dari undangan rapat resmi pengurus PKK. Undangan rapat itu ditanda-tangani Ketua PKK, Syahnan Rangkuti. Surat undangan resmi itu dikirim melalui faks ke Sekretariat Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS), Kamis (4/1/2007) sekitar pukul 19.30 WIB.

Ketua PKK Syahnan Rangkuti melalui telepon mengatakan pada Bambang Wisudo bahwa kehadirannya di tempat Bambang mengalami kekerasan dan penyanderaan, sudah dijamin. Menurut Syahnan, kehadiran Bambang Wisudo di Gedung Harian Kompas sudah mendapat ijin oleh Bambang Sukartiono (Manager SDMU Harian Kompas).

Apalagi PKK merupakan sebuah serikat pekerja yang sudah terdaftar secara resmi di Depnaker. Dan dalam salah satu pasal UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja, memang secara tegas disebutkan manajemen dilarang menghalang-halangi kegiatan serikat pekerja yang sah.

Komite sendiri menilai, dalam konteks undangan, jelas PKK tak mengakui bahwa Bambang Wisudo sudah resmi dipecat. Karena itu dia berhak hadir sebagai pengurus PKK.

Walau sudah mendapat jaminan PKK, Komite merasa perlu mengutus dua pengacara untuk mendampingi Bambang Wisudo. Tujuannya untuk menghindari terulangnya peritiswa kekerasan dan penyanderaan seperti yang dialami oleh Bambang tanggal 8 Desember lalu.

Pimpinan Kompas dan Satpam Tegang
Maka, pada hari Jumat, 5 Januari 2007, pukul 14.30 WIB, dua anggota tim litigasi Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) Sholeh Ali dan Horas Siringgo-Ringgo bersama Bambang Wisudo, datang ke Gedung Harian Kompas di Jalan Palmerah Selatan No 22, Jakarta Pusat.

Ketika Bambang dan dua anggota Komite datang, enam orang petugas sekuriti Kompas sudah berjaga-jaga di pintu gerbang utama. Karena itu Bambang kemudian memilih menggunakan jalan samping, melewati pos sekuriti di mana Bambang sempat dirampas kemerdekaannya selama dua jam.

Setelah tiba di lobi Gedung harian Kompas bersama dua orang tim litigasi Komite, suasana lobi terlihat lenggang. Hanya terlihat tiga orang sekuriti dengan paras wajah tegang dan terlihat sibuk berkomunikasi. Bambang kemudian masuk ke toilet tamu di ruang lobi. Saat ia keluar, jumlah satpam sudah bertambah menjadi 10 orang.

Setelah keluar dari toilet, Bambang bersama dua kuasa hukumnya duduk di lobi. Saat itu seorang satpam mendekati. Dengan sopan, satpam mengarahkan Bambang dan tim litigasi Komite untuk pindah ke ruang bekas Humas yang berada di Gedung Bentara Budaya Jakarta (BBJ) yang berada di seberang jalan Gedung Utama Harian Kompas.

“Sudah diberi tempat. Di sana makanan dan minuman sudah disediakan dan tempatnya lebih nyaman,” ujar seorang satpam.

PKK Tolak Trik Manajemen
Sadar bahwa itu hanya trik manajemen Kompas untuk mencoba akomodatif tapi sekaligus tetap menjalankan isi surat PHK yang ditanda-tangani Pemred Kompas Suryopratomo bahwa Bambang tidak boleh berada di lingkungan Gedung Kompas, Bambang dan kuasa hukumnya menolak.

Bambang lalu menelepon Syahnan sekaligus mengabarkan bahwa ia sudah ada di lobi. Paras wajah satpam terlihat tegang dan terus-menerus terjadi komunikasi melalui HT.

Petugas sekuriti tak putus asa. Mereka terus membujuk agar Bambang pindah ke gedung seberang dengan alasan ruang pertemuan PKK dipindah. Kata satpam, makanan dan minuman juga telah tersedia. Namun permintaan itu tidak diacuhkan.

Ketegangan baru pecah setelah Syahnan Rangkuti turun menemui Bambang dan tim litigasi Komite di ruang lobi. Syahnan membenarkan bahwa ia mendapat SMS dan telepon dari Redaktur Pelaksana Kompas, Trias Kuncahyono, bahwa ruang untuk pertemuan pengurus PKK dipindah ke ruang eks Humas KKG di Gedung BBJ yang letaknya di seberang Gedung kompas dengan alasan sudah disediakan makanan dan minuman serta ruanganya lebih dingin.

Tapi usul itu ditolak oleh Syahnan dan pengurus PKK. Alasannya, sekretariat PKK sudah nyaman untuk menggelar rapat. Jadi PKK merasa tidak perlu memindah lokasi rapat. Lokasi rapat tetap berada di dalam areal Gedung harian Kompas, tempat Bambang Wisudo menurut Pemred Suryopratomo tak boleh lagi menginjakkan kakinya terhitung sejak tanggal 9 Desember 2006.

Maka, Syahnan beserta Bambang dan dua tim litigasi dari Komite menuju ruang rapat yang terletak di lantai II. Di sana sudah menunggu lima orang pengurus PKK lainnya.

Setelah mengantar Bambang dengan selamat, Sholeh Ali dan Horas Sirionggo-Ringgo pun pamit pulang. Rapat penguus PKK itu sendiri akhirnya berjalan mulus. (KI/E2)
posted by KOMPAS @ 1:02 AM   0 comments
Surat Komite ke MURI
(ctt: surat ini sudah dikirimkan ke muri melalui email ke info@muri.org)

Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja
(Kompas)
Jl. Dr. Soepomo No.1A Komplek BIER Menteng Dalam Jakarta Selatan 12870
Tlp./Faks: 021-83702660,
CP: 081310274674 (Edy Haryadi), 081585160177 (Sholeh Ali),
08155517333 (Winuranto Adhi), 0811932683 (Bambang Wisudo)

--------------------------------------------------------------------------------------------
untuk mengikuti perkembangan kasus ikuti
http://kompasinside.blogspot.com
-------------------------------------------------------------------------------------------
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), LBH Pers, YLBHI, LBH Jakarta, Paguyuban Korban Kelompok Kompas Gramedia, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ikka (ANBTI), PBHI, TURC, Aliansi Buruh Menggugat (ABM), LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), FPPI, Serikat Guru Tanggerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, PPR, IKOHI, KONTRAS, PPR, Somasi-Unas, LMND, Papernas, SPR, Arus Pelangi, SP 68H, GMS, Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Praxis, Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ), FMKJ, Partai Rakyat Pekerja (PRP), Sanggar Ciliwung, FSPI, Repdem Jakarta
------------------------------------------------------------------------------------------------


Kepada Yth:
Musium Rekor Indonesia (MURI)
Di tempat

Hal : Pemberitahuan Pemecahan Rekor
Lampiran : 1 (satu) halaman

Dengan hormat,

Bersama ini surat, kami yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) dengan ini memberitahu Museum Rekor Indonesia (MURI) bahwa kami akan mengadakan aksi gelar spanduk anti pemberangusan serikat pekerja terpanjang dan terlama yang pernah digelar di Indonesia.

Isu yang kami bawa kali ini masih seputar pemecatan sewenang-wenang wartawan Kompas Bambang Wisudo karena keterlibatannya sebagai Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas saat mempersoalkan saham karyawan. Kami sendiri berharap aksi spanduk ini belum pernah dilakukan dan bisa memecahkan rekor Musium Rekor Indonesia (MURI).

Aksi gelar spanduk bertema anti pemberangusan serikat pekerja itu sendiri akan dimulai pada

Hari : Senin, 8 Januari 2007
Jam : 08.00 - 18.00 WIB/setiap hari
Tempat : Bunderan Hotel Indonesia

Kami sendiri sudah memberitahu pihak kepolisian. Dan boleh jadi aksi spanduk terpanjang (120 meter) ini akan dilakukan selama berbulan-bulan.

Demikian pemberitahuan dari kami. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.


Jakarta, 5 Januari 2007

Edy Haryadi
Koordinator
posted by KOMPAS @ 12:54 AM   0 comments
Komite Gelar Aksi Spanduk Terpanjang
Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja
(KOMPAS)
Jl. Dr. Soepomo No.1A Komplek BIER Menteng Dalam Jakarta Selatan 12870
Tlp./Faks: 021-83702660,

CP: 081310274674 (Edy Haryadi), 081585160177 (Sholeh Ali),
08155517333 (Winuranto Adhi), 0811932683 (Bambang Wisudo
)
-------------------------------------------------------------------------------------
untuk mengikuti perkembangan kasus ikuti
http://kompasinside.blogspot.com
---------------------------------------------------------------------------------------
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), LBH Pers, YLBHI, LBH Jakarta, Paguyuban Korban Kelompok Kompas Gramedia, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ikka (ANBTI), PBHI, TURC, Aliansi Buruh Menggugat (ABM), LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), FPPI, Serikat Guru Tanggerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, PPR, IKOHI, KONTRAS, PPR, Somasi-Unas, LMND, Papernas, SPR, Arus Pelangi, SP 68H, GMS, Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Praxis, Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ), FMKJ, Partai Rakyat Pekerja (PRP), Sanggar Ciliwung, FSPI, Repdem Jakarta
=================================================================

AKSI SPANDUK TERPANJANG
PECAHKAN REKOR MURI


Kepada Yth : Teman-teman jurnalis
Hal : Undangan liputan

Pemecatan dan kekerasan terhadap Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas karena menyoal saham kolektif 20 persen milik karyawan, Bambang Wisudo, telah memicu protes secara meluas.

Untuk itu, kami mengundang teman-teman untuk hadir dalam aksi spanduk ‘anti pemberangusan serikat pekerja’ terpanjang yang selama ini pernah digelar. Tujuannya adalah memecahkan rekor Musium Rekor Indonesia (MURI). Untuk itu, MURI sebagai organisasi sudah diberitahu secara resmi.

Karenanya, Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) mengundang teman-teman untuk meliput aksi spanduk terpanjang ini yang akan bermula pada:

Hari : Senin, 8 Januari 2007
Pukul : 10.00 WIB – selesai
Tempat : Bunderan Hotel Indonesia (HI),
Jakarta Pusat

Atas perhatiannya kami sampaikan terima kasih.

Bersatu melawan pemberangusan serikat pekerja!


Jakarta, 5 Januari 2007

Edy Haryadi
Koordinator
posted by KOMPAS @ 12:43 AM   0 comments
Tuesday, January 2, 2007
Komite Protes Dewan Pers
Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja(KOMPAS)
Sekretariat: Jl Prof Dr Soepomo, Komplek BIER No 1A, Menteng Dalam, Jakarta.
Telp. 021-83702660, 021-70758626
CP: 081310274674 (Edy Haryadi), 081585160177 (Sholeh Ali),
08155517333 (Winuranto Adhi), 0811932683 (Bambang Wisudo)
--------------------------------http://kompasinside.blogspot.com-----------------------Aliansi Jurnalis Independen (AJI), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Paguyuban Korban Kelompok Kompas Gramedia, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, Aliansi Buruh Menggugat (ABM), LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), FPPI, Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, PPR, Somasi-Unas, LMND, Papernas, SPR, Arus Pelangi, IKOHI, Kontras, YLBHI, SP 68H, STN, GMS, Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), KASBI, Praxis.
Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ), FMKJ, Partai Rakyat Pekerja (PRP),
Sanggar Ciliwung, FSPI, Repdem Jakarta

-----------------------------------------------------------------------------------------------

Kepada Yth.
Ketua Dewan Pers
Bapak Ichlasul Amal
di Jakarta

Dengan Hormat,

Dengan surat ini kami yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) bermaksud menyatakan keberatan atas penilaian dan rekomendasi Dewan Pers Nomor 19/PPR/PPR-DP/XII/2006 tentang Pengaduan Bambang Wisudo terhadap Kompas Online tertanggal 29 Desember 2006.

Dalam poin pertama Dewan Pers yang baru kami terima hari ini tertulis: "1. Bahwa berita Kompas online berjudul “Satpam tidak Menyandera dan Menganiaya Wartawan” adalah merupakan hak jawab Kompas atas berita-berita sebelumnya yang telah tersebar di berbagai milis tanpa klarifikasi kepada pimpinan Kompas itu sendiri. Dengan demikian, pemberitaan Kompas online tersebut tidak terkait dengan pelanggaran Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik tentang akurasi, keberimbangan dan adanya itikad buruk."

Keberatan itu terutama menyangkut penilaian butir pertama yang menyatakan bahwa berita Kompas Online adalah merupakan hak jawab Kompas atas berita-berita sebelumnya yang telah tersebar di berbagai milis tanpa klarifikasi kepada pimpinan Kompas. Berdasarkan pertimbangan tersebut Dewan Pers menyatakan bahwa pemberitaan itu tidak terkait dengan kode etik jurnalistik tentang akurasi, keberimbangan, dan adanya itikad buruk.

Menurut pendapat kami, pemberitaan Kompas Online tersebut tidak bisa diletakkan sebagai hak jawab Kompas terhadap berita yang tersebar di berbagai milis. Berita yang dibuat sebuah institusi media adalah berita yang berdiri sendiri dan harus dipertanggungjawabkan sendiri oleh institusi tersebut. Oleh karena itu setiap media tetap terikat pada keharusan untuk menulis berita secara utuh dan berimbang (cover both sides).

Berita yang dimuat Kompas Online sebagaimana disebut di atas jelas tidak memenuhi syarat keberimbangan karena itu Sdr. Bambang Wisudo sangat dirugikan atas pemberitaan tersebut. Bila pertimbangan Dewan Pers ini tidak segera dikoreksi, kami khawatir ini akan menjadi preseden buruk bagi media massa di Indonesia. Sebab, media massa yang tidak bertanggungjawab bisa berkilah bahwa mereka tidak perlu memberitakan secara berimbang karena korban atau pihak yang dirugikan telah bersuara di media lain.

Selain itu, keberatan kedua kami atas butir pertama Dewan Pers tersebut, adalah karena argumennya sama persis dengan pernyataan anggota Dewan Pers saudara Sabam Leo Batubara saat kami mendatangi kantor Dewan Pers tanggal 21 Desember 2006. Pada saat itu saudara Sabam Leo Batubara juga berkata serupa, bahwa pemberitaan Kompas Online yang ditulis wartawan Kompas saudara R Adhi Kusumaputera adalah hak jawab dari Kompas terhadap berita-berita sebelumnya.

Sementara Sabam Leo Batubara adalah salah satu Ketua Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Dan Ketua Umum SPS sekarang masih dijabat saudara Jakob Oetama yang sampai sekarang masih duduk sebagai Pemimpin Umum Harian Kompas. Karena itu, kami melihat kemungkinan ada rasa tidak enak dan konflik kepentingan dalam putusan Dewan Pers kali ini. Sebab argumen yang ditanda-tangani Ketua Dewan Pers sama persis dengan argumen saudara S Leo Batubara.

Berdasarkan hal tersebut, kami meminta Dewan Pers untuk kembali bersidang, melakukan penelitian silang dengan mengkonfrontir kedua belah pihak dalam satu forum, sebelum membuat penilaian atau rekomendasi akhir.

Menurut hemat kami, ini perlu ditempuh untuk menjaga kredibilitas Dewan Pers sendiri. Penyelesaian pengaduan etik secara profesional dan obyektif merupakan langkah yang sangat penting untuk mendewasakan pers di tanah air dan mencegah kriminilisasi pers dalam kasus-kasus yang menyangkut pemberitaan.

Tentang pengaduan secara lisan, kami akan segera memberikan saran kepada Saudara Bambang Wisudo untuk menyampaikan keberatan secara tertulis kepada Kompas Online tentang pemberitaan tersebut di atas.

Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, 2 Januari 2007

Edy Haryadi
Kordinator
posted by KOMPAS @ 1:02 AM   0 comments
Previous Post
Archives
Powered by

Hit Counter
Hit Counter

Free Blogger Templates
BLOGGER

http://rpc.technorati.com/rpc/ping <