Anggota Koalisi
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Aliansi Buruh Menggugat/ABM (KASBI, SBSI 1992, SPOI, SBTPI, FNPBI, PPMI, PPMI 98, SBMSK, FSBMI, FSBI, SBMI, SPMI, FSPEK, SP PAR REF, FKBL Lampung, SSPA NTB, KB FAN Solo, AJI Jakarta, SBJ, FKSBT, FPBC, FBS Surabaya, PC KEP SPSI Karawang, GASPERMINDO, ALBUM Magelang, FKB Andalas), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, IKOHI, KONTRAS, PPR, Somasi-Unas, SPR, Arus Pelangi, GMS, LPM Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Praksis, Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ), FMKJ, Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), FSPI, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Repdem Jakarta, SPN, OPSI, SP LIATA, SPTN Blue Bird Grup
Links
Media
Tuesday, February 27, 2007
FNPBI Kecam 'Seruan Sebagian Wartawan Kompas'
FRONT NASIONAL PERJUANGAN BURUH INDONESIA (FNPBI)
Jl. Tebet Barat Raya IV No. 05 RT. 015 RW. 01,
Kel. Tebet Barat, Jakarta Selatan.
Telp./Fax. (021)-8305819. Email: ppfnpbi@gmail.com
---------------------------------------------------

No : 002/Sta/03/07
Hal: Respon terhadap seruan sebagian wartawan
kompas

Lam: -


Salam perlawanan !!

Berkaitan dengan seruan sebagian wartawan kompas yang secara tegas mendiskriditkan gerakan demokratik dalam upayanya melawan tindakan anti serikat buruh yang di lakukan oleh pihak management kompas, maka kami perlu menyampaikan sikap sebagai berikut :

1.Bahwa tindakan management kompas yang mendemosi kawan Bambang Wisudo sebagai sekretaris serikat pekerja perkumpulan karyawan kompas adalah tindakan anti union yang sudah sepatutnya di berikan ganjaran pidana sesuai dengan UU 13/2003.

2.Bahwa dalam upaya untuk menekan pihak management kompas dan juga pemerintah, kawan-kawan kemudian membangun komite anti pemberangusan serikat dan melakukan serangkaian acara seperti aksi massa, aksi pemasangan spanduk, aksi delegasi, pengiriman statement dan lain sebagainya adalah hal yang wajar dan memang sudah seharusnya di lakukan dan bahkan harus di tingkatkan disaat pemerintah dengan mudah menjadi alat bagi para pengusaha.

3.Bahwa munculnya seruan wartawan kompas yang justru membela posisi management haruslah dicurigai sebagai bagian dari upaya-upaya management untuk memecah-belah kekuatan para pekerja kompas dan juga kekuatan gerakan demokratik secara keseluruhan.

4.Oleh karena itu, PP FNPBI dengan tegas menyatakan mengecam tindakan sebagian wartawan kompas yang dengan mudah mau dimanfaatkan oleh pihak management untuk menyerang perjuangan kawwan-kawan komite anti pemberangusan serikat. Sudah saatnya kaum buruh bersatu dengan kaum buruh, bersatu dengan kaum tertindas lainnya, bukan bersatu dengan kaum yang menjadi penindasnya.

5.PP FNPBI juga menyerukan kepada seluruh gerakan demokratik agar semakin menyolidkan diri dalam perjuangan menegakkan kebebasan berserikat sebagai salah satu syarat bagi penguatan perjuangan rakyat ke depan, dan juga menyolidkan diri dalam perjuangan melawan neoliberalisme dan boneka-bonekanya.


Jakarta, 25 Februari 2007


Pengurus Pusat Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia
(PP-FNPBI)




Ketua

Dominggus Octavianus

Pjs Sekjend
Budi Wardoyo



-------------------------------------------------------------
Badan Hukum berdasarkan SK Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No. Kep. 631/M/BW/2000
Nomor Pendaftaran 190/FSP-FNPBI/DFT/BW/IX/2000
posted by KOMPAS @ 8:57 PM   0 comments
Ditolak Kompas, Massa Demo TB Gramedia Yogya
Yogyakarta, Kompas Inside. Aksi protes pemberangusan aktivis serikat pekerja Kompas, Selasa (27/2/2007), berbuntut panjang. Karena tak diterima baik-baik di Kantor Kompas Biro Yogyakarta, massa memutuskan mendemo Toko Buku Gramedia.

Penolakan Kompas Biro Yogyakarta menerima perwakilan demonstran tidaklah mengherankan. Kabarnya, setiap kantor biro Kompas daerah telah diperintahkan untuk menolak menerima atau berdialog dengan perwakilan demonstran. Instruksi ini diberikan pimpinan Kompas ke semua kepala biro daerah pada saat mereka dikumpulkan di Jakarta belum lama ini.

Sebelum bergerak ke Toko Buku (TB) Gramedia, massa juga sempat menutup jalan di depan Kantor Kompas Biro Yogyakarta. Akibatnya, sempat terjadi kemacetan sepanjang satu kilometer.

Setelah melakukan orasi dan mengecam manajemen Kompas yang secara sistematis memberangus serikat pekerja, massa lalu melakukan long march ke Toko Buku Gramedia yang jaraknya tak sampai 300 meter dari Kantor Kompas Biro Yogyakarta.

Dalam aksi itu, peserta aksi juga mengecam aksi kekerasan dan pemecatan tanpa prosedur terhadap Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas Bambang Wisudo. Massa juga mengecam 'Seruan Wartawan Kompas' karena hal itu merupakan upaya mempermulus pemberangusan serikat pekerja di harian terbesar itu.

Terbesar
TB Gramedia terletak di Jalan Sudirman. TB Gramedia merupakan toko buku terbesar di kota itu. Tak pelak aksi massa tersebut segera mengundang perhatian karyawan toko dan pembeli buku.

Aksi tersebut akhirnya berhasil mendesak pimpinan TB Gramedia Yogyakarta, Cornelius Gunarto turun menemui pengunjuk rasa.

Beberapa anggota delegasi, seperti Ketua AJI Yogyakarta Bambang Mbk, Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Odie Hudiyanto, akhirnya berdialog dengan pimpinan TB Gramedia tersebut.

Dalam dialog itu, Gunarto mengaku secara jujur ke para demonstran bahwa dia merasa terganggu dengan aksi tersebut. Sebab, bukan TB Gramedia yang bermasalah. Ia pun berharap agar pimpinan Kompas dapat menyelesaikan kasus Bambang Wisudo secepatnya.

Seorang anggota delegasi juga menegaskan, persoalan ini akan selesai bila surat pemecatan yang tidak sah itu dibatalkan dan Bambang Wisudo dipekerjakan kembali. Bila tidak, maka aksi massa akan terus mengguncang grup bisnis di bawah Kelompok Kompas Gramedia. Termasuk juga TB Gramedia.

Akhirnya sekitar pukul 15.10 WIB, aksi solidaritas atas pemberangusan serikat pekerja Kompas ini berakhir. Namun massa berjanji, mereka akan terus menggelar demo bila manajemen tetap berkeras melanjutkan aksi pemberangusan dan meneruskan kebijakan pemecatan terhadap Bambang Wisudo. (din/E2)
posted by KOMPAS @ 4:05 AM   0 comments
Monday, February 26, 2007
Kantor Kompas Biro Yogya Didemo Lagi
Yogyakarta, Kompas Inside. Untuk keempat kalinya sejak tiga bulan terakhir, Kantor Kompas Biro Yogyakarta, Selasa (27/2/207) siang ini, kembali didemo.

Massa yang menggelar demo di kantor Kompas Biro Yogya siang ini terdiri dari beberapa elemen. Antara lain, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Aliansi Buruh Yogyakarta, AJI Yogyakarta, dan Forum Pers Mahasiswa Yogyakarta.

Menurut laporan Sekretaris FSPM Odie Hudiyanto yang hadir dalam aksi tersebut, sekitar 100 orang massa mulai bergerak menuju kantor Kompas pada pukul 13.10 WIB.

Di antara massa yang bergerak, turut terlihat Bambang Mbk, Ketua AJI Yogyakarta.

"Pada saat ini sebagian massa sudah masuk ke pagar harian Kompas. Tapi sebagian lainnya masih tertahan," ujar Odie melalui saluran telepon pukul 14.00 WIB.

Namun, tak seorang pun wartawan yang bersedia menemui. Massa pun memutuskan untuk terus bertahan dan menggelar aksi.

Peserta aksi membawa berbagai poster berisi kecaman atas pemberangusan serikat pekerja di harian Kompas. Khususnya peristiwa kekerasan dan pemecatan tanpa prosedur yang menimpa Bambang Wisudo, Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas.

Hingga berita ini diturunkan, aksi masih terus berlangsung di halaman kantor Kompas Biro Yogyakarta. (din/E1)
posted by KOMPAS @ 11:13 PM   0 comments
Imbuan ke JO Tentang Nilai-Nilai Kompas
sumber: http://satrioarismunandar6.blogspot.com

Saya mendapat e-mail dari Sri Yanuarti (Yanu), peneliti LIPI, pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia), dan istri dari wartawan Kompas Bambang Wisodo, via milis AIPI. Isinya berkenaan dengan kasus pemecatan Bambang Wisudo oleh manajemen Kompas, Desember 2006, terkait soal serikat pekerja di Kompas.

Yanu adalah rekan saya di AIPI, sedangkan Wisudo adalah juga rekan sesama pendiri AJI (Aliansi Jurnalis Independen), dan dulu juga saya pernah sama-sama kerja di Kompas. Saya sangat terkesan, bahwa menghadapi saat-saat sulit dan penuh tekanan, Yanu, Wisudo dan keluarga tetap tenang dan tabah. Artinya, perjuangan serikat pekerja ini bukan semata-mata urusan Wisudo, tetapi sejak awal sudah disadari dan didukung penuh oleh istri/keluarga. Tentu dengan berbagai risikonya.

Dalam kondisi ekonomi dan politik sekarang, di mana nuansa pragmatisme dan oportunisme, kepentingan mau enak sendiri, masih sangat kuat, saya merasa salut bahwa masih ada orang-orang yang berjuang untuk idealismenya. Kalau Wisudo mau hidup enak dan nyaman di Kompas, perusahaan media yang sudah sangat mapan di Indonesia (koran terbesar dan paling berpengaruh), sebetulnya bisa saja. Kompas adalah salah satu dari sedikit media yang menyediakan pensiun buat karyawannya.

Namun, Wisudo memilih jalan lain, dan kini dia menanggung risiko perjuangannya. Yakni, dipecat oleh manajemen Kompas. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian, dan tidak ingin menduga-duga. Yang jelas, Wisudo dkk akan terus berjuang, di dalam Kompas maupun di luar Kompas. Salah satu alternatifnya tentu lewat jalur hukum (LBH).

Di sini saya menilai, tindakan represif terhadap aspirasi karyawan yang sah, seperti dialami Wisudo, tidak akan menghasilkan dampak yang baik bagi perusahaan. Namun, yang jauh lebih merugikan Kompas sebetulnya adalah masalah reputasi dan image, yang terkait dengan visi dan misi Kompas, yang merupakan akar keberadaan perusahaan yang didirikan PK Oyong (alm) dan Jakob Oetama ini.

Bukankah Kompas adalah perusahaan media yang selama ini (lihat tajuk rencana/editorialnya) sering mengangkat isu-isu demokratisasi, keterbukaan, hak-hak asasi, dan sebagainya? Bukankah Kompas menganut dan meyakini nilai-nilai "humanisme transendental"? Apakah itu sekadar gincu, dan bukan genuine values yang dianut Kompas, mengingat secara internal ternyata nilai-nilai itu masih dipertanyakan, karena tidak terimplementasi?

Jika demikian halnya, bagaimana Kompas sebagai institusi dan bagian utama/tulang punggung KKG (Kelompok Kompas Gramedia) akan melangkah memasuki abad baru dunia informasi dan globalisasi, dengan segala dinamika perubahan, tantangan, ancaman, jika tanpa dukungan akar nilai-nilai mendasar, yang memberi makna pada keberadaannya?

Selama ini, perekat yang mempertahankan keutuhan KKG adalah figur Pak Jakob Oetama (JO), sebagai generasi pendiri yang memiliki wawasan kuat ke depan, nasionalisme, kharisma, wibawa dan intelektualitas. Namun, dengan segala hormat atas kekuatan manajerialnya, JO tidak akan memimpin KKG selama-lamanya.

Lalu bagaimana KKG dan Kompas akan melangkah jika nanti ditinggalkan JO, sementara core values yang menjadi landasan berdirinya dan suksesnya lembaga Kompas, justru mengalami erosi karena langkah-langkah "pragmatis-oportinistis" jangka pendek? Bukan tidak mungkin, langkah-langkah semacam ini akan diteruskan oleh para pimpinan Kompas/KKG pasca JO nanti. Mereka adalah generasi baru, yang mungkin kurang menghayati nilai-nilai awal yang ditanamkan generasi pendiri.

Mempertimbangkan hal itu, saya berharap, Pak Jakob dengan segala kearifannya, sebagai figur yang menjadi panutan dan dihormati di KKG dan Kompas, dapat ikut campur tangan melakukan intervensi. Karena yang dipertaruhkan di sini BUKAN cuma nasib Wisudo, Yanu dan keluarga, tetapi nasib dan survivabilitas dari KKG, Kompas, dan nilai-nilai luhur (core values) yang selama ini dianut, diyakini, dihayati, dan terbukti telah membesarkan Kompas.

Selain itu, yang dipertaruhkan bahkan juga bukan nasib sekian ribu karyawan Kompas dan KKG, tetapi jutaan stakeholders yang berkaitan dengan keberadaan institusi media besar ini, termasuk para pembaca Kompas di seluruh pelosok Indonesia. Peran media sangat penting untuk kemajuan negeri ini. Peran vital media seperti Kompas masih amat dibutuhkan, untuk ikut menggalang dukungan dari jutaan rakyat Indonesia -- yakni, mereka yang masih punya idealisme dan niat baik-- untuk bersama-sama menyelamatkan Indonesia.

Sekali lagi, saya berharap, agar Pak Jakob, yang saya anggap sebagai salah satu guru saya dalam ilmu jurnalistik dan wawasan kewartawanan, bersedia untuk turun tangan langsung, demi kebaikan dan kelangsungan institusi KKG dan Kompas, beserta nilai-nilai luhur yang selama ini memberi makna pada keberadannya.

Wasalam,


Satrio Arismunandar
(mantan jurnalis Kompas, yang dibesarkan di Kompas pada 1988-1995, dan selama itu banyak belajar tentang ilmu jurnalistik dan kearifan dari guru-guru saya di Kompas)


_____oO0_____

(Dari milis AIPI, ditulis oleh Sri Yanuarti, istri Bambang Wisudo:)

Saya ucapkan terimakasih atas dukungan yang diberikan Mas Rio terhadap saya dan keluarga. Perlakuan yang diberikan jajaran manajemen Kompas terhadap suami saya, adalah satu resiko yang sudah kami hitung sejak lama.

Perjuangan suami saya Wis (Bambang Wisudo) tentang pemilikan saham karyawan bukanlah perjuangan yang dilakukan dalam hitungan hari. Delapan tahun sudah, ia dan teman-temannya di Perkumpulan karyawan Kompas melakukan perjuangan untuk menuntut pengembalian saham 20% yang diambil oleh perusahaan tanpa sepengetahuan karyawan.

Selama itu pula, kami sudah terbiasa dengan berbagai kebijakan dari management Kompas untuk melakukan berbagai penjegalan atas apa yang diperjuangkan suami saya dan kawan-kawan. Berkaca dari kasus Albert Kuhon, Mas Rio dan Mas Yudha, saya sadar betul bahwa pemecatan terhadap suami saya bukan tidak mungkin akan terjadi.

Namun perlakuan dan tindakan para jajaran pimpinan kompas yang menggunakan cara-cara kekerasan yang brutal dan primitif adalah jauh dari bayangan kami. Sebagai salah satu pilar demokrasi sekaligus institusi yang menyuarakan serta menggembar-gemborkan persoalan HAM dan Demokrasi, maka tidak sepantasnya Kompas melakukan tindakan brutal dan primitif (dengan melakukan penyeretan dan penyekapan) dalam proses pemutusan hubungan kerja.

Bahkan sejauh yang saya tahu, pemecatan terhadap buruh linting di pabrik rokok pun masih dilakukan dengan cara-cara yang sangat sopan.
Sungguh suatu hal yang sangat ironis bagi Kompas yang bangga dengan logonya "Menyuarakan Amanat Hati Nurani Rakyat", perlakuan dan tindakan terhadap karyawannya justru jauh dari apa yang selama ini ditulis besar-besar di bawah kata KOMPAS.

Jika saya sedih terhadap kasus suami saya, itu bukanlah karena suami saya dipecat dari Kompas tapi justru karena gambaran Kompas sebagai media tempat suami saya berkarya selama ini adalah Kompas telah mengkhianati nilai-nilainya sendiri. Kompas yang diimpikan oleh suami saya, yang pernah menjadi cita-cita suami saya, ternyata tidak lebih dan tidak kurang dibandingkan pabrik sandal jepit.

Saya justru bangga bahwa karena ditengah gemerlapnya fasilitas materi yang bisa dinikmati wartawan Kompas, suami saya masih kukuh untuk menyatakan kebenaran, untuk menggugat hak-hak karyawan yang telah dirampas oleh perusahaan. Dengan itu pula kami dapat tetap melangkah dengan kepala tegak dan hati ringan, saat kami meninggalkan kantor Kompas malam itu, karena Kompas tidak lebih dan tidak kurang dibandingkan pabrik sandal jepit.

Salam
Yanu (Istri Bambang Wisudo)
posted by KOMPAS @ 12:16 AM   0 comments
Sunday, February 25, 2007
Tanggapan FPPI atas 'Seruan Wartawan Kompas'
NO : 07/DJ-Pimnas-FPPI/07
Hal : Pernyataan Sikap


Kepada Yang Mulia
Wartawan-wartawan Harian Umum KOMPAS
yang Menandatangani "Seruan Wartawan Kompas"

di Palmerah Jakarta


Salam Demokrasi Kerakyatan,

Kami, Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) adalah Organisasi Pergerakan Pemuda yang berdiri sejak 1999. FPPI mempunyai komitmen tinggi terhadap perjuangan demi tegaknya nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia dan keadilan sosial dalam semua sendi kehidupan di Indonesia. Demi terwujudnya cita-cita perjuangan tersebut, FPPI menempatkan diri pada posisi independen (non-partisan) dan tidak terkait secara struktural serta tergantung secara finansial dengan organisasi donor/perusahaan/partai politik apapun.

Pernyataan ratusan wartawan Harian Umum Kompas, tertanggal 27 Januari 2006, dengan judul "Seruan Wartawan Kompas" tentang kasus pemecatan sepihak Bambang Wisudo dari Harian Umum Kompas dan aktifitas perjuangan/advokasi oleh Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS). Dalam "Seruan Wartawan Kompas" itu berisi TUDUHAN terhadap organisasi-organisasi yang tergabung di Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) sebagai organisasi-organisasi PETUALANG. "Seruan Wartawan Kompas" juga MENUDUH bahwa aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi dalam komite sebagai kegiatan yang bertujuan untuk MENDESKRIDITKAN, MERONGRONG, MEMUTAR-BALIKKAN NILAI-NILAI KOMPAS. Terkait erat dengan "Seruan Wartawan Kompas" tersebut, Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), sebagai salah satu organisasi yang aktif dan tergabung dalam komite, berpendapat:

1. Aksi demonstrasi adalah kegiatan yang legal, diatur dan dilindungi oleh Undang-undang. Untuk itulah, TUDUHAN ratusan wartawan Harian Umum Kompas bahwa aksi demonstrasi yang dilakukan komite sebagai kegiatan yang anti-demokrasi yang bertujuan untuk mendeskriditkan pihak Harian Umum Kompas dalah TIDAK BERDASAR.

2. Tuduhan PETUALANGAN yang dialamatkan kepada organisasi-organisasi yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) adalah cerminan dari sikap kekanak-kanakan dan anti-kebebasan berpendapat/berserikat. Tuduhan PETUALANGAN juga menunjukkan bahwa wartawan Kompas lebih memihak kepentingan perusahaan (bertindak laiknya corporate warriors). Sangat disayangkan bahwa wartawan Kompas menanggalkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan serta lebih mementingkan kepentingan individu/kelompok di atas segala-galanya.

Atas dasar hal tersebut di atas, Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) menyatakan sikap:

1.MEMINTA KLARIFIKASI ATAS MAKSUD DAN TUJUAN DARI "SERUAN WARTAWAN KOMPAS", TERUTAMA TERKAIT DENGAN TUDUHAN "PETUALANGAN". KLARIFIKASI KAMI TUJUKAN KEPADA SEMUA WARTAWAN HARIAN UMUM KOMPAS YANG MENANDATANGANI "SERUAN WARTAWAN KOMPAS" TERTANGGAL 27 JANUARI 2007.

2.MENGUTUK DAN MENYESALKAN TERBITNYA "SERUAN WARTAWAN KOMPAS" TERTANGGAL 27 JANUARI TERSEBUT.

3.MEMINTA UNTUK DITARIKNYA “SERUAN WARTAWAN KOMPAS” TERTANGGAL 27 JANUARI TERSEBUT.

4.KAMI MEMINTA KEPADA SELURUH WARTAWAN HARIAN UMUM KOMPAS YANG MENANDATANGANI "SERUAN WARTAWAN KOMPAS" UNTUK MENGAJUKAN PERMOHONAN MAAF KEPADA SELURUH ORGANISASI YANG TERGABUNG DALAM KOMITE ANTI-PEMBERANGUSAN SERIKAT PEKERJA (KOMPAS).


Demikian surat pernyataan kami, mohon diperhatikan sebagaimana mustinya.

"Mendidik Rakyat Dengan Pergerakan,
Mendidik Penguasa Dengan Perlawanan"


Jakarta, 22 Februari 2007
Atas Nama Pemuda Indonesia,



Aha Maftuchan
Departemen Jaringan Pimnas FPPI
posted by KOMPAS @ 11:13 PM   0 comments
Surat Kedua FSPM untuk Penggagas 'Seruan'
Jakarta, 24 Februari 2007

Kepada Yth,
Brother Bre Redana atau Don Sabdono
Wartawan Kompas

Di tempat

Perihal : Penegasan Protes dan Mohon Klarifikasi

Tembusan :
-Kapolda Metro Jaya, Bapak Irjen Pol Adang Firman
-Bapak Jacob Utama
-Bapak Asmara Nababan, Pimpinan Demos
-Bro Efix Mulyadi
-Sis Maria Hartiningsih
-Kawan – Kawan AJI
-Seluruh Anggota FSPM
-Arsip


Dengan hormat,

Surat ini adalah penegasan atas permintaan klarifikasi dari Brother Bre Redana yang bernama asli Don Sabdono dan Sister Maria Hartiningsih atas surat dari kami tertanggal 12 Februari 2007.

Sangat disayangkan bahwa Brother Don Sabdono yang sebelumnya kami anggap sosok pria jantan ternyata tidak bisa memberikan klarifikasi.

Dengan tidak dijawabnya surat kami tersebut, dengan sangat terpaksa kami akan "memeriahkan" Kantor Kompas dan semua unit usaha yang masih dalam Group Kompas.

Dengan demikian, mulai Senin, 26 Februari 2007, kami akan "Manggung" dihadapan Kompas.

Terima kasih Brother Don Sabdono, semoga keyakinan anda bahwa 'Seruan Wartawan Kompas' yang anda gagas itu mampu untuk membungkam nilai–nilai hakiki kebenaran dan kejujuran yang masih dimiliki oleh sedikit manusia yang berhati bersih.

In Solidarity

Odie Hudiyanto
Sekretaris Umum Federasi Serikat Pekerja Mandiri


NB : Untuk mengingatkan, kami lampirkan surat kami yang pertama

Jakarta, 12 Februari 2007

Kepada Yth,
Brother Bre Redana atau Don Sabdono
Wartawan Kompas

Di tempat

Perihal : Protes dan Mohon Klarifikasi

Tembusan :
-Kapolda Metro Jaya, Bapak Irjen Pol Adang Firman
- Bapak Jacob Utama
- Bapak Asmara Nababan, Pimpinan Demos
- Bro Efix Mulyadi
- Sis Maria Hartiningsih
- Kawan-kawan AJI
- Seluruh Anggota FSPM
- Arsip


Dengan hormat,

Inilah kali pertama dalam sejarah Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) sejak berdiri pada tahun 2000 menerima julukan PETUALANG ketika memberikan dukungan solidaritas kepada sesama buruh.

FSPM kami rintis dengan keringat dan darah!!!.

Diantara Serikat buruh tingkat nasional mungkin kami adalah satu-satunya Serikat buruh yang tidak seperakpun menerima kucuran dana dari lembaga-lembaga funding di tingkat nasional atau international. Tidak dari pemerintah, Jamsostek, partai politik apalagi dari pengusaha. TERMASUK DARI MAS BAMBANG WISUDO!

Kami tetap dapat hidup, berkembang dan melayani anggota-anggota kami secara baik hanya melalui uang iuran anggota.

16.753 anggota kami yang tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali sangat marah dan kecewa atas tindakan anda melakukan sebuah gerakan yang berjudul Seruan Wartawan Kompas dengan menyebut FSPM adalah petualang yang mendiskreditkan, merongrong dan memutar-balikan nilai-nilai yang diemban kompas.

Ini adalah sebuah hinaan terhadap FSPM.

Anggota-anggota FSPM yang merupakan Pekerja sektor Hotel, Restaurant, Catering, Plaza, Retail dan Pariwisata telah menyatakan sikapnya untuk melakukan tindakan balasan atas seruan yang anda gagas itu.

Wartawan tidak beda dengan Pekerja pariwisata. Tidak lebih dan tidak kurang!

Kalau anda mengaku Pekerja kerah putih, kamipun demikian. Namun kami tidak pernah menjilat dan menjual harga diri kami sebagai manusia.

Wartawan dan Pekerja pariwisata adalah sama-sama buruh yang mengharapkan upah bulanan dan perbaikan kesejahteraan.

Ketika ada Pekerja pariwisata ditindas semena-mena, kami bergerak membelanya.

Ketika Pekerja Hotel Nikko yang dahulu bernama Hotel Presiden di PHK sepihak, kami melakukan aksi unjuk rasa menentang pemecatan tersebut.

Lalu ketika Hotel Sheraton Mustika Yogyakarta hancur akibat gempa, dan buruhnya mau dirumahkan tanpa upah, kamipun membelanya dan sampai hari ini para Pekerja tetap mendapatkan upah.

Atau ketika tahun 2001 Hotel Regent Jakarta (sekarang bernama Four Seasons) tutup 18 bulan akibat banjir, kami juga dapat memastikan tidak ada yang di PHK dan tetap menerima upah dan uang jasa layanan.

Terlalu banyak jika mau disebutkan, aksi solidaritas yang kami lakukan. Apakah aksi tersebut membuat Pekerja yang tidak terkena masalah melakukan aksi protes bahkan melakukan kebulatan tekad dengan membuat seruan? Jawabannya tidak sama sekali!!!

Brother Bre, kami meminta klarifikasi dan penjelasan dari anda maksud PETUALANG!

Sound system murahan yang "bernyanyi" di Gedung Kompas itu adalah hibah dari kawan-kawan buruh Hotel Shangri-La yang pernah berjuang 2,5 tahun di trotoar depan Hotel Shangri-La menuntut keadilan dan kebenaran. Demikian juga spanduk yang terbentang itu adalah hasil 'urunan' kawan–kawan Pekerja pariwisata.

Sejak berdiri tahun 2000, tidak ada seorangpun dari 16.753 anggota FSPM yang berani melacurkan idealismenya hanya untuk kepentingan pribadi semata.

Oleh karenanya, kami menunggu jawaban anda secara resmi paling lambat 3 hari sejak surat ini kami kirimkan.

Surat ini juga kami persembahkan untuk Sister Maria Hartingsih, peraih Yap Thian Hin Award 2006 (tahun 2003, red). kami juga menunggu jawaban anda. Alangkah Naifnya jika tokoh perubahan yang mengaku pejuang kesetaraan perempuan juga tidak bisa memberikan opininya secara Jernih atas permasalahan Mas Bambang Wisudo.

Demikianlah surat dari kami, terima kasih kami haturkan


Odie Hudiyanto
Sekretaris Umum
posted by KOMPAS @ 10:47 PM   0 comments
Friday, February 23, 2007
Kompas Tak Hadiri Bipartit Mutasi
Jakarta, Kompas Inside. Manajemen Kompas beserta kuasa hukumnya, hari ini tidak hadir dalam undangan bipartit klarifikasi mengenai surat mutasi Bambang Wisudo. Padahal, sudah dua kali kuasa hukum Kompas diundang untuk dimintai klarifikasi.

Ketidakhadiran itu disampaikan oleh Sholeh Ali, Kordinator Tim Litigasi Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS), Jumat (23/2/2007).

"Sebagai itikad baik, kami sudah dua kali mengundang manajemen Kompas untuk meminta klarifikasi atas surat mutasi yang diterima Bambang Wisudo. Sebab, persoalan pokok klien kami bukan PHK, tetapi berawal dari surat mutasi," ujar Ali.

Menurut Ali, undangan pertama sudah dilayangkan tanggal 4 Februari lalu untuk bertemu tanggal 16 Februari 2006. Tapi saat itu kuasa hukum Kompas menjawab tidak perlu lagi ada pertemuan bipartit mengenai mutasi. Alasannya, mutasi merupakan persoalan biasa.

Lalu dilayangkan surat undangan kedua untuk bertemu di kantor LBH Pers, hari ini pukul 14.00 WIB. Namun setelah ditunggu satu jam lebih, tidak ada seorang kuasa hukum yang datang.

“Ketidakhadiran ini menunjukkan, tidak ada itikad baik dari manajemen Kompas untuk menjelaskan maksud mutasi yang kami tanyakan. Dan tidak menjelaskan, apakah mutasi ini ada kaitannya dengan kegiatan Bambang Wisudo sebagai Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas,” lanjut Ali.

Menurut Ali, tim litigasi Komite berpendapat bahwa persoalan pokok pemberangusan serikat pekerja di harian Kompas berawal dari mutasi. Sebab, Surat Keputusan (SK) No 269/Penpen/SK/XI/2006 ini mengandung beberapa kejanggalan.

Kejanggalan pertama, mutasi keluar tak sampai dua bulan setelah perundingan tentang saham antara pengurus serikat pekerja dan manajemen Kompas yang penuh intrik dan intimidasi, berakhir.

Dalam SK mutasi itu dua pengurus inti Perkumpulan Karyawan Kompas, Syahnan Rangkuti sebagai Ketua dan Bambang Wisudo sebagai Sekretaris dibuang ke daerah. Satu ke Padang dan satu lagi ke Ambon.

Kejanggalan kedua, surat mutasi itu menegaskan mutasi berlaku sejak 1 Desember 2006. Padahal masa kepengurusan serikat pekerja Perkumpulan Karyawan Kompas berakhir bulan Februari 2007, sebelum belakangan diperpanjang hingga bulan Agustus 2007.

Ketika Bambang Wisudo menyatakan menolak mutasi dan mewartakan sikapnya dengan cara membagikan surat pribadinya ke Jakob Oetama pada karyawan Kompas, dia pun dibekuk, diseret paksa, dan disandera selama dua jam oleh satuan pengaman yang mengaku mendapat perintah pimpinan Kompas. Setelah disandera, ia menerima surat pemecatan dari Pemimpin Redaksi Suryopratomo.

“Maka, jelas persoalan Bambang Wisudo berawal dari mutasi. Inilah yang kami ingin klarifikasi,” ujarnya.

Ketidakhadiran manajemen Kompas hari ini, ujar Ali, menunjukkan bahwa indikasi pemberangusan serikat pekerja Kompas memang semakin kuat.

Pasalnya, dalam UU No 21/2000 sudah ditegaskan, seorang pengurus serikat pekerja dilarang untuk dihalang-halangi aktivitasnya. Apalagi sampai dibekuk, diseret paksa sebelum disandera oleh satpam karena melakukan aktivitasnya sebagai pengurus serikat pekerja.

UU No 21/2000 juga menyatakan, aktivis pekerja juga tidak boleh dimutasi. Apalagi bila mutasi itu dilakukan saat masa kepengurusannya belum selesai.

UU 21/2000 juga melarang seorang aktivis pekerja dipecat. Sedangkan sejak tangga 8 Desember 2006, praktis Bambang Wisudo dipecat. Namanya dihapus dari boks redaksi, aksesnya ke milis karyawan juga dicabut.

"Dengan ketiga indikasi ini, maka kami yakin telah terjadi pemberangusan serikat pekerja di harian Kompas," tegas Ali. (umr/E5)
posted by KOMPAS @ 12:33 AM   0 comments
Thursday, February 22, 2007
Sikap AJI atas Kasus Bambang Wisudo
Aliansi Jurnalis Independen
The Alliance of Independent Journalists

No : 036/AJI-SEK/Sikap/II/2007

Sikap AJI atas Kasus Bambang Wisudo

Perkembangan kasus pemutusan hubungan kerja terhadap wartawan Harian Kompas, Bambang Wisudo, saat ini dalam proses perundingan untuk mencapai win win solution. Kasus ini sempat masuk ke Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta, namun prosesnya dikembalikan kepada penyelesaian bipartit. Saat ini, perundingan-perundingan masih dilakukan untuk mencapai titik temu atas kasus tersebut.

Pada saat proses perundingan berjalan, terjadi sejumlah aksi protes yang mendorong penyelesaian kasus secara bijaksana. Di dalam Harian Kompas juga terjadi dinamika serupa. Ada yang mendukung perjuangan Wisudo meski dengan diam, tapi ada juga yang terang-terangan menentangnya. Lalu, lahirlah "Seruan Wartawan Kompas" , yang salah satu isinya menyebut ada pihak yang menjadi petualang dalam kasus ini.

Adanya pernyataan sikap seperti tertuang dalam seruan itu merupakan reaksi biasa dalam suasana sengketa. AJI menilainya sebagai ekspresi dari sikap seseorang atau sekelompok orang atas kasus ini. Sebagai organisasi profesi yang punya kepedulian pada masalah kesejahteraan pekerja pers, AJI memiliki pandangan yang berpijak pada sejarah dan semangat Deklarasi Sirnagalih, 7 Agustus 1994. AJI mempunyai sejarah perlawanan panjang terhadap berbagai bentuk kesewenang-wenangan terhadap pers.

Dalam kasus Bambang Wisudo, AJI menilai ini tidak semata soal PHK. Ada sikap anti serikat pekerja dalam kasus tersebut. Jika kita runut kasusnya, maka kita bisa melihat bahwa awal dari kasus ini adalah perjuangan Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) untuk memperjuangkan kepemilikan saham 20 persen.

Perjuangan panjang itu akhirnya memang selesai setelah melalui perdebatan dan ketegangan cukup lama. Kesepakatannya, akan ada profit sharing. Mengingat ketegangan yang terjadi selama proses negosiasi, dalam kesepakatan yang ditandatangani PKK dan manajemen Kompas itu juga ada klausul untuk sama-sama menciptakan iklim yang kondusif.

Tapi yang terjadi kemudian adalah mutasi terhadap sejumlah karyawan, termasuk dua pengurus Serikat Pekerja, yaitu Ketua PKK Sahnan Rangkuti ke Padang, Sumatera Barat. Sedangkan Sekretaris PKK Bambang Wisudo ke Ambon, Maluku. Wisudo menyampaikan keberatannya atas kasus tersebut dengan menempelkan poster di kantor. Inilah yang berujung pada penyekapan dan PHK terhadap Wisudo, 8 Desember 2006.

Undang Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja jelas memberikan perlindungan terhadap pengurusnya dalam menjalankan aktifitas di tempatnya bekerja. Termasuk dari kemungkinan mutasi. Seorang pengurus serikat pekerja tidak bisa dimutasi apalagi di PHK dengan alasan kedudukannya di Serikat Pekerja, kecuali yang bersangkutan melakukan tindak pidana. Dalam kasus ini, AJI tidak melihat Bambang Wisudo melakukan tindakan pidana apapun.

Selain itu, proses PHK terhadap Bambang Wisudo juga tidak lazim. Penandatangan PHK adalah Pemimpin Redaksi Kompas. Proses PHK-nya juga tidak melalui prosedur seperti diatur Undang Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu tanpa adanya surat peringatan pertama hingga ketiga.

Atas dasar uraian di atas, AJI berpendirian, kasus pemutusan hubungan kerja sepihak oleh Pemimpin Redaksi Harian Kompas Suryopratomo terhadap Bambang Wisudo bukan semata masalah PHK. Melainkan juga soal sikap anti serikat pekerja. Oleh karena itu, AJI berkewajiban memberikan pembelaan terhadap Bambang Wisudo sebagaimana AJI mendukung berdirinya Serikat Pekerja yang sehat dan bermartabat di tiap kantor media.


Jakarta, 21 Februari 2007

Hormat kami,



Abdul Manan
Sekretaris Jenderal AJI
posted by KOMPAS @ 4:01 AM   0 comments
Disnaker Mulai Usut 'Union Busting' di Kompas
Jakarta, Kompas Inside. Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) DKI menyatakan sudah mulai menyelidiki pemberangusan serikat pekerja di harian Kompas. Malah pagi tadi, manajemen Kompas sudah dipanggil ke Disnaker untuk dimintai keterangan.

Demikian keterangan Wakil Kepala Disnaker DKI Soemanto saat menerima puluhan anggota Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS), Kamis (22/2/2007) siang ini.

Dalam pertemuan itu, Kepala Disnaker DKI Rusdi Muhtar juga hadir. Begitu juga beberapa petinggi Disnaker DKI yang membawahi masalah pengawasan dan perselisihan ketenagakerjaan.

"Kami sudah dua kali bertemu manajemen Kompas. Pertama, kami datang ke Kompas tanggal 20 Februari. Sedangkan yang kedua, pimpinan Kompas pagi ini kami panggil ke sini," lapor Soemanto ke Rusdi.

Karena itu, Rusdi Mukhtar meminta Komite bersabar, karena Disnaker DKI tidak akan membekukan pengaduan tersebut.

Sebelumnya, sekitar pukul 13.30 WIB, puluhan anggota Komite menggelar aksi di halaman Disnaker DKI ini. Nampak hadir delegasi dari Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Aliansi Buruh Menggugat (ABM), Kongres Aliasi Buruh Seluruh Indonesia (KASBI), Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), LBH Pers, ANBTI, Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ), dan AJI Jakarta.

Karena terjebak hujan, beberapa anggota Komite ada yang datang terlambat.

Dalam orasinya, Yoyok dari FNPBI mengingatkan, masalah pemberangusan serikat pekerja adalah sebuah skandal yang terus terjadi. Meski Undang-Undang No 21/2000 sudah menegaskan aktivis serikat pekerja dilindungi, tapi satu-persatu aktivis serikat pekerja diberangus.

Tapi tak sampai sejam menggelar aksi, rombongan Komite malah diterima oleh jajaran pejabat Disnaker DKI. Maka, sambil membawa poster dan spanduk, anggota Komite langsung memenuhi ruang rapat pimpinan di lantai II Gedung Disnaker DKI.

Seorang satuan pengaman Kompas yang menyamar sebagai wartawan dan mencoba memata-matai pertemuan itu dengan handy cam, diminta dengan hormat untuk keluar oleh anggota Komite.

Dalam pertemuan itu, Kordinator Non Litigasi Komite Wirunantho Adhi menegaskan, kedatangan Komite punya dua maksud.

Pertama, mempertanyakan sejauh mana tindak lanjut pengaduan anti union yang sudah dilaporkan. Kedua, memberi dukungan moral ke Disnaker DKI agar tidak ragu menegakkan hukum.

Terlebih, sebelumnya sudah ada contoh. Di Jawa Barat ada seorang manajemen sebuah pabrik berhasil dipenjara karena terbukti memberangus serikat pekerja. (udn/E4)
posted by KOMPAS @ 2:43 AM   1 comments
Tuesday, February 20, 2007
Teror Warnai Perpanjangan Serikat Pekerja Kompas
Jakarta, Kompas Inside. Perpanjangan kepengurusan serikat pekerja Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) rupanya mendapat tentangan keras dari manajemen harian Kompas.

Lewat para scab (buruh penghianat), manajemen melakukan aksi teror ke para pengurus PKK guna memuluskan pemberangusan serikat pekerja di harian terbesar Indonesia tersebut.

Menurut sumber Kompas Inside, Rabu (20/2/2007), kertas pengumuman perpanjangan kepengurusan serikat pekerja Kompas yang ditempel di papan pengumuman di dekat meja absen karyawan, segera saja menjadi ajang caci-maki. Aksi corat-coret tersebut berisi kalimat-kalimat kasar dan bernada intimidatif.

Bahkan, beberapa pengurus PKK juga menerima SMS-SMS kotor bernada teror dari beberapa orang 'misterius.'

Aksi Disnaker
Sementara, Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS), besok siang akan menggelar aksi di Kantor Disnaker DKI, Tugu Tani, Jakarta Pusat. Tujuannya untuk mempertanyakan tindak lanjut pengaduan Komite soal anti union manajemen harian Kompas ke Kantor Disnaker DKI beberapa waktu sebelumnya.

"Aksi akan digelar pada pukul 13.00 WIB. Kami akan meminta pertanggungan jawab negara atas pemberangusan serikat pekerja di harian Kompas," kata Wirunantho Adhi, Kordinator Non Litigasi Komite.

Kali ini, kata Wirunantho, aksi yang digelar belum berskala massif. Aksi ini baru diikuti beberapa orang perwakilan dari 38 organisasi yang tergabung dalam Komite.

Seperti pernah diberitakan, serikat pekerja Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) akhirnya memutuskan memperpanjang masa kepengurusan. Keputusan itu diambil secara aklamasi dalam rapat pengurus PKK hari Selasa (6/2/2007) di Gedung harian Kompas. Perpanjangan itu berlaku enam bulan sejak kepengurusan PKK berakhir tanggal 28 Februari 2007. Dengan demikian, kepengurusan PKK masih memakai formatur pengurus lama sampai akhir Agustus 2007.

Sementara, Kepala Dinas Tenagakerja DKI Rusdi Mukhtar, Kamis (1/2/2007) awal bulan ini, menyatakan akan membentuk tim khusus untuk mengusut tindak anti-serikat pekerja (anti union) yang dilakukan manajemen harian Kompas.

Menurut Rusdi, dalam pasal 4 ayat 2 (f), sudah jelas ditegaskan, bahwa salah satu tugas pengurus serikat pekerja adalah: memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan. Maka, pengurus serikat pekerja tidak boleh dijatuhi sanksi. Seperti dimutasi, apalagi dipecat. (umr/E4)
posted by KOMPAS @ 9:40 PM   0 comments
Monday, February 19, 2007
Seruan AJI Jakarta Soal 'Union Busting' di Kompas
Seruan untuk semua anggota AJI Jakarta
Soal Pemberangusan Serikat Pekerja di Harian Kompas



Teman-teman,

Kasus yang dialami Bambang Wisudo bukanlah kasus pribadi. Bukan kasus antara Bambang Wisudo melawan Suryopratomo, ataupun melawan sekelompok jajaran elit (atau yang mengelitkan diri) di Kompas. Betapapun banyaknya alibi yang mengatakan ini bukanlah pemberangusan serikat pekerja, jelas di depan mata kita, tindakan-tindakan yang dilakukan sangat bernuansa anti-serikat pekerja. Ini adalah tindakan union busting. Tindakan kriminal yang (umumnya) dilakukan manajemen untuk menekan kekuatan pekerja.

Teman-teman,

Aktor union busting bukanlah manajemen sendiri. Elemen-elemen serikat pekerja dan individu pekerja sering menjadi aktor yang lebih efektif, menjadi rekan kolaborasi manajemen dalam menekan pekerja. Tak jarang, manajemen sengaja membangun pertentangan horisontal antara pekerja. Mereka memanfaatkan persaingan karir, menjanjikan kesempatan dan fasilitas bagi yang mau berkolaborasi, seraya menekan yang kritis untuk menimbulkan efek trauma bagi mayoritas karyawan.

"Politik belah bambu" -- yang satu diinjak, satunya diangkat-- selalu diterapkan. Elemen-elemen pekerja yang kritis diinjak, elemen-elemen kolaborator diangkat. Maka, terjadilah konflik horisontal sesama pekerja.

Jika ini terjadi, maka manajemen akan tepuk tangan. Karena, kekuatan pekerja sudah tidak solid, sudah bisa dilemahkan. Solidaritas diganti dengan rivalitas. Maka, manajemen tak perlu mengotori tangannya untuk melemahkan serikat pekerja, tapi para pekerja sudah berkelahi sendiri.

Teman-teman,

AJI adalah organisasi profesi yang berwatak serikat pekerja. Visi ini sudah kita sepakati. Visi ini tertulis dalam Anggaran Dasar kita.

Sebagai organisasi yang berkarakter serikat pekerja, maka kita harus membela anggota kita, jika sedang mengalami persoalan ketenagakerjaan. Siapapun itu. Apakah itu seorang individu yang nyeleneh, atau bahkan seorang individu yang bejat sekalipun. Selama ia adalah seorang pekerja, dan hak-hak normatifnya dilanggar, kita harus membelanya.

Pembelaan AJI terhadap Bambang Wisudo adalah konsekuensi dari visi ini. Bambang Wisudo bukan saja anggota AJI, tapi pendiri AJI. Jika orang sekaliber Bambang Wisudo saja dapat dirampas hak-haknya dengan begitu saja, apalagi wartawan lainnya.

Selama ini, pengurus AJI Jakarta memiliki sikap tegas: harus membela Bambang Wisudo. kalau jurnalis yang bukan anggota AJI kita bela, apalagi Bambang Wisudo.

Teman-teman,

Kita tahu bahwa sebagai jurnalis beban kerja kita luar biasa. Sangatlah sulit untuk meluangkan waktu hadir dalam aksi-aksi pembelaan Bambang Wisudo. Tapi saya percaya, teman-teman semua berada di belakang barisan pembelaan Bambang Wisudo.

Tapi sungguh amat disayangkan, ada satu atau dua anggota AJI Jakarta yang tega menyerang dari belakang barisan. Teman tersebut begitu gencarnya mengalihkan isu serikat pekerja dengan intrik-intrik personal terhadap Bambang Wisudo. Sungguh, sikap seperti ini sangat bertentangan dengan moral solidaritas. Bahkan sikap seperti ini sudah bertentangan dengan visi AJI sebagai organisasi profesi yang berkarakter serikat pekerja.

Untung, sampai detik ini barisan AJI Jakarta tetap solid. Memang, tidak banyak anggota yang punya waktu untuk menyempatkan diri menghadiri aksi-aksi solidaritas. Tapi, saya yakin, jika ada waktu luang, teman-teman tersebut akan menghadiri. Setidak-tidaknya, saya tetap berharap agar teman-teman meluangkan waktu di lain hari.

Teman-teman,

Saya ingatkan, sebagai anggota organisasi yang berkarakter serikat pekerja, kita harus terus menguatkan solidaritas. Saya tahu, teman-teman bukan orang bodoh yang bisa dipengaruhi siapapun. Teman-teman bisa menimbang sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Namun satu hal yang perlu saya sampaikan: sangatlah tidak bermoral, jika ada anggota organisasi yang berkarakter serikat pekerja mengamini perampasan hak-hak sesama pekerja. Lebih-lebih, ia mengamini dengan mengatasnamakan karyawan yang lain, padahal isinya selalu bernuansa intrik personal.

Salam solidaritas,

Margiyono,
Sekretaris AJI Jakarta
posted by KOMPAS @ 9:42 PM   0 comments
Sunday, February 18, 2007
Surat Terbuka Bambang Wisudo Kepada Kawan (II)
Kawan-kawan AJI dan Komite,


Jumat 16 Februari 2007, jam 17.30 saya bertemu dengan Pak Amidhan, subkomisioner bidang mediasi Komnas HAM. Ia memanggil saya untuk mendengar hasil pertemuannya dengan Pemimpin Umum Kompas Bp. Jakob Oetma di Palmerah Selatan, Kamis 15 Februari 2007. Menurut Pak Amidhan, Pak Jakob didampingi oleh Suryopratomo (Pemred), Agung Adiprasetyo (Wakil Pemimpin Umum), dan Bambang Sukartiono (GM Sumber Daya Manusia). Pertemuan itu berlangsung dua jam, antara jam 09.45 sampai 11.45. Pak Amidhan tidak didampingi oleh staf Komnas karena pertemuan tersebut merupakan pertemuan informal.

Dari cerita yang saya tangkap dari Pak Amidhan, saya berkesimpulan bahwa Pak Jakob masih berpihak dan membela sepenuhnya pada tindakan-tindakan yang dilakukan manajemen Kompas, termasuk kekerasan dan penyanderaan yang saya alami.

Menurut pengakuan Pak Jakob, tindakan satpam menggotong-gotong saya merupakan "happening art" dan tidak ada penyanderaan. Mutasi terhadap diri saya tidak terkait dengan balas dendam dalam proses negosiasi penyelesaian saham kolektif karyawan tetapi merupakan mutasi biasa yang dilakukan terhadap 44 karyawan redaksi lainnya. Bahwa saya pernah menolak mutasi/promosi sebagai kepala biro Medan. Bahwa sebenarnya usulan saya untuk ke Garut, Jawa Barat, sebenarnya telah diterima, tetapi saya tiba-tiba mengatakan bahwa setelah disetujui saya minta penugasan itu hanya dalam waktu tiga bulan. Pak Jakob juga mengatakan bahwa union di Kompas berbeda dengan union-union lainnya. Union di Kompas merupakan wadah komunikasi.

Pak Amidhan juga menceritakan pada saya, ia mengajukan empat opsi. Opsi pertama adalah saya dipekerjakan kembali dalam posisi semula sebagai wartawan Kompas. Opsi kedua, saya dipekerjakan kembali dalam posisi semula tetapi ada proses cooling down antara 1 bulan sampai 2 tahun.

Opsi pertama dan kedua ditolak. Kata Pak Jakob, saya sudah membakar rumah, sudah memasang spanduk yang menjelek-jelekkan Suryopratomo. Opsi ketiga, Pak Amidhan mengusulkan agar saya dipindah tetapi jangan jauh-jauh. Opsi itu juga ditolak.

Karena tiga opsi itu ditolak maka muncullah opsi keempat. Saya diberhentikan secara terhormat, diberi pesangon, dan dibantu biaya untuk sekolah S2. Pak Amidhan kemudian mencoba meyakinkan saya untuk menerima opsi keempat.

Kepada Pak Amidhan, saya mengatakan bahwa tidak mungkin saya menerima opsi keempat. Jelas tidak mungkin Kompas memberhentikan saya secara terhormat. Jelas-jelas saya telah diberhentikan secara sepihak dan secara tidak hormat. Bahkan saya telah diperlakukan secara biadab.

Sebelum saya menerima surat pemberhentian yang ditandantangani oleh Suryopratomo sebagai pemimpin redaksi, ketika pemberhentian saya masih desas-desus, 8 Desember 2006 pagi saya sudah tidak bisa membuka akses e-mail saya wis@kompas.com, tidak bisa membuka milis karyawan forumkompas@yahoogroups.com, bahkan tidak bisa membuka akses komputer saya. Semua telah diputus pagi itu juga. Sore hari saya diperlakukan seperti binatang, sebelum menerima surat pemberhentian sepihak. Besok paginya, nama saya sudah dicopot dari boks redaksi. Saya tidak diperbolehkan masuk ke halaman parkir sekalipun, padahal masyarakat umum bisa mengakses sampai ruang tamu di lobi, bahkan di lantai tiga dan empat sekalipun.

Sejak hari itu juga sampai hari ini saya tidak bisa melihat lagi tulisan-tulisan yang pernah saya tulis sendiri. Tindakan-tindakan biadab ini, kata saya pada Pak Amidhan, jelas tidak bisa saya terima. Orang lain yang diperlakukan dengan cara-cara biadab pun, saya berteriak-teriak. Apalagi ini menyangkut diri saya sendiri. Saya mengatakan, ini persoalan prinsipil sehingga saya tidak pernah akan menerima cara penyelesaian dengan uang. Bila saya mengajukan tawaran cooling down dengan bersekolah selama satu bulan sampai dua bulan, saya bukannya tergila-gila untuk bersekolah. Saya tidak perlu bantuan finansial untuk sekolah karena banyak yang akan membantu saya atau saya mampu mengusahakannya sendiri.

Saya mengatakan, pemahaman Pak Jakob atau menajemen Kompas tentang union tidak bisa mengalahkan Undang-Undang. Kompas, kata saya pada Pak Amidhan, bukan sebuah lembaga suci yang bebas mengklaim nilai-nilainya lebih tinggi dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Kompas tidak hidup dalam ruang kosong tetapi dalam frame politik dan hukum Indonesia. Hak union, serikat pekerja sebagaimana diatur UU tahun 2001 sangat jelas. Ia tidak hanya jembatan komunikasi tetapi juga punya hak untuk collective bargaining, punya hak untuk mogok, punya hak untuk memperjuangkan saham karyawan. Membagikan selebaran, merupakan sebuah cara yang dilakukan oleh union di mana-mana.

Bukankah Kompas tiap hari juga membagikan 500.000 selebaran setiap hari? Kalau kita marah dengan isi selebaran, apakah kita lantas harus mempermalukan penulis berita dengan melakukan kekerasan dan merampas kemerdekaan mereka? Saya mengatakan bahwa pemimpin Kompas harus menyadari perubahan-perubahan ini dan harus belajar dari kasus ini.

Kepada Pak Amidhan, saya mengatakan bahwa saya lebih cenderung agar Komnas HAM memfokuskan pada fakta yang mengarah pada pelanggaran HAM, termasuk menyelidiki kasus kekerasan dan penyanderaan yang saya alami.

Saya mengatakan, bantahan yang dilakukan para pemimpin Kompas, termasuk Pak Jakob sangat tidak beralasan. Setelah kekerasan itu terjadi, Suryopratomo memanggil semua karyawan. Komandan dan Wakil Komandan satpam diminta menceritakan bantahan telah terjadi kekerasan. Tanpa ada chek and recheck, yang standar dilakukan oleh seorang wartawan, pengakuan versi satpam itu diterima seratus persen dan disebarluaskan sebagai kebenaran. Sekarang sebagian besar wartawan Kompas menceritakan versi sepihak itu.

Karena posisi saya telah jelas, Pak Amidhan menjanjikan akan menindaklanjuti dengan prosedur formal Komnas HAM. Minggu ini Komnas akan menyurati manajemen Kompas, menunggu balasannya, dan kemudian menganalisa atau melakukan penyelidikan. Saya berharap Komnas HAM serius menangani kasus ini supaya kasus ini tidak menjadi preseden buruk bagi aktivis serikat pekerja di Indonesia.

Dari pertemuan saya dengan Pak Amidhan, sudah lebih jelas bagaimana posisi manajemen Kompas sampai saat ini. Setelah lebih dua bulan kasus saya, manajemen Kompas masih belum mau mengakui kekeliruan-kekeliruan yang telah dilakukan.

Manajemen Kompas justru mau menutup-nutupi perbuatan biadab dan tindakan kriminal yang terjadi. Akan tetapi saya yakin, sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, baunya akan menyebar juga. Ada aib-aib yang selama ini ditutup-tutupi, pada gilirannya nanti akan terbongkar satu persatu. Kalau bukan saya yang membongkar, pasti ada yang akan membongkar.

Sejak saya pulang dari Hongkong Selasa (13/2), saya menerima sms-sms bernada terror dari seorang karyawan Kompas yang mengaku sebagai aktivis dari Malang dengan nomor 08136726700.

Beberapa sms, yang biasanya datang pada malam hari, belum saya baca karena langsung dihapus isteri saya. Saya tidak tahu ia suruhan siapa. Tetapi apakah ini yang disebut cara-cara humanisme Kompas?

Andaikata aksi-aksi dukungan terhadap saya, spanduk yang dibuat FSPM disebut kampungan, itu masih dilakukan dalam kerangka legal dan bisa dipertanggungjawabkan. Dulu ketika saya mau dijatuhi sanksi merenung setahun, tanpa boleh menulis berita, karena mendiskusikan kemungkinan mogok, Pak Jakob pernah bercerita bahwa ia didatangi seorang karyawan yang bersedia mati untuk membela Pak Jakob.

Saya perlu pembelaan dan dukungan dari kawan-kawan tanpa ada yang perlu mati untuk saya. Saya perlu dukungan agar saya setia pada prinsip, tidak tergiur dengan iming-iming uang dan kemudahan dalam penyelesaian kasus saya. Ini penting agar Kompas dan kawan-kawan yang ada di Kompas mau belajar dan tidak terjerumus menjadi pembela buta terhadap imajinasi institusinya.

Kita perlu membantu agar pemimpin dan kawan-kawan saya di Kompas benar-benar menjadi humanis, menjadi pembela kemanusiaan, menghayati pekerjaannya sebagai “panggilan” bukan demi piring, dan tidak terjerumus menjadi kaum fundamentalis humanisme-hipokrit.


Pamulang, 19 Februari 2007

P. Bambang Wisudo
posted by KOMPAS @ 10:35 PM   1 comments
Friday, February 16, 2007
Lagi, LBH Jakarta Protes 'Seruan'
No. : /SK/LBH/II/2007

Hal : Klarifikasi atas seruan wartawan Kompas


Kepada Yth.

Seluruh Penandatangan "Seruan Wartawan Kompas"
tertanggal 27 Januari 2007

Di Tempat



Dengan Hormat,


Dilahirkan tahun 1970 dan aktif beroperasi pada tanggal 1 April 1971, LBH Jakarta-organisasi ini merupakan cikal bakal YLBHI-sampai saat ini tetap menempatkan mottonya "Bantuan Hukum Struktural" sebagai dasar pijak gerakan. LBH Jakarta terus memegang teguh maksud dan tujuan pendiriannya memajukan nilai-nilai Negara hukum serta hak asasi manusia. Sebagai lembaga yang terbuka, egaliter, LBH Jakarta menempatkan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi melintasi perbedaan agama, keturunan, suku, keyakinan, aliran politik maupun latar belakang sosial dan budaya. Dengan dasar pijak itulah, LBH Jakarta memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat tertindas baik secara ekonomi maupun yang terenggut hak asasinya.


Sebagai institusi dengan alasan penjadian seperti di atas, maka segenap pekerja bantuan hukum Jakarta merasa perlu harus berusaha demokratis, konsisten, bertanggung jawab, menjunjung tinggi pemuliaan manusia melalui penghormatan terhadap hak asasi manusia. Tidak pernah berhenti mawas diri baik dalam bergerak maupun berhening sejenak untuk berusaha konsisten dengan nilai-nilai perjuangan LBH Jakarta. Demi kesesuaian antara nilai-motto-cakrawala-tindakan perjuangan keluar dengan iklim-budaya-sikap-tindakan di dalam.


Usaha untuk memiliki wajah serupa dalam perjuangan keluar dan dinamika di dalam sangat penting bagi LBH Jakarta karena dari sanalah integritas dan kepercayaan publik didapatkan. Tarik-menarik, tawar-menawar, negosiasi antar nilai-nilai, dalam sejarah LBH Jakarta yang panjang, adalah hal wajar dalam setiap institusi. Ketegangan itu sesungguhnya muncul karena dinamika relasi antar individu didalamnya. Tetapi sebagai sebuah institusi, tidak ada ketegangan dengan dilatari asumsi adanya dua entitas yang berbeda. Perusahaan/organisasi dengan produk perusahaan/organisasi adalah selayaknya pena dengan jenis tinta tulisan yang dihasilkan, yang satu membentuk yang lain. Selama ini ketegangan seperti itu diselesaikan dengan semangat kebersamaan, dengan asumsi adanya pengutamaan niat baik untuk menghormati hak asasi manusia dan hukum itu sendiri. Rahmat Tuhan kami maknai sebagai adanya kesempatan menjalankan peran dalam memuliakan kemanusiaan. Walau demikian tentu kami tidak berani menjadikan-Nya tameng serta justifikasi atas suatu tindakan individu-individu LBH Jakarta yang sepenuhnya didasari kesadaran serta pilihan-pilihan keberpihakan. Penggunaan Tuhan secara vulgar sebagai motivasi suatu sikap dan tindakan, dalam pengalaman advokasi LBH Jakarta ternyata sering kali berujung pada otoritarian dan kekerasan. Sebutan officium nobile kepada advokat pun kerap menjadi ironi ditengah komersialisasi berbagai profesi.


Latar belakang di atas perlu kami paparkan, karena kami melihat pada waktu-waktu belakangan ini, di luar Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK)-organisasi pekerja yang karenanya dilindungi UU 21/2000, telah muncul suatu upaya untuk melemahkan perjuangan penegakan hak-hak asasi manusia khususnya berkumpul, berserikat, berpendapat melalui pemutarbalikkan fakta- intimidasi psikologis yaitu 'Seruan Wartawan Kompas' tertanggal 27 Januari 2007. Dalam upaya tersebut, dibangun pula stigma "petualangan" kepada pihak-pihak yang terlibat dalam advokasi tindakan anti-union manajemen terhadap aktivis-pengurus PKK. Petualangan juga dialamatkan terhadap bentuk-bentuk advokasi itu sendiri. Sungguh suatu tuduhan serius. Tuduhan tersebut juga disebarluaskan dan karenanya mempunyai konsekuensi hukum yang lain disamping tuduhan itu sendiri.

Untuk mencegah tuduhan dan penyebarluasan tuduhan itu berkembang lebih jauh sehingga merugikan berbagai pihak, mencederai kebebasan berorganisasi dan berpendapat yang sedang dibangun, melanggengkan kuasa modal di atas penegakan hukum, maka dengan ini kami, LBH Jakarta, sebagai salah satu kuasa dari Bambang Wisudo dan karenanya bagian dari Koalisi Anti Pemberangusan Serikat Pekerja Kompas, mengeluarkan pernyataan :


1. Dalam sejarah gerakan serikat buruh/pekerja, persatuan total sering menemui batu sandungan. Gerakan mogok buruh pelabuhan tahun 1921 untuk menuntut kenaikan upah berujung pada perpecahan. SOBSI dilawan dengan SOKSI. Sejarah juga mengajarkan pengkhianatan sering kali terjadi, entah disadari atau tidak oleh yang bersangkutan. Tensi tinggi konflik kepentingan antara serikat buruh/pekerja dengan manajemen tak terelakkan untuk diikuti tuntutan atas posisi yang jelas dari pihak-pihak. Baik dari pihak manajemen maupun serikat buruh/pekerja. Pada titik ini pola penolakan serta pemisahan diri dari yang dianggap sumber masalah lazim terjadi. Tentu tidak semua sejarah gerakan serikat buruh berwajah retak. Akhirnya semua adalah pilihan sadar, menjadi Karna kah atau Yudhistira.


2. Serikat Pekerja adalah perwujudan dari kebebasan berorganisasi dan hak fundamental buruh/pekerja seperti yang antara lain tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Hak Sipil Politik, Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya dan Konvensi-konvensi ILO. Dalam sejarahnya, gerakan serikat buruh/pekerja telah menyumbang amat banyak bagi pemuliaan kemanusiaan. Mulai dari perjuangan 8 jam kerja (sebelumnya manusia harus bekerja 12 bahkan 15 jam kerja setiap harinya) hingga sumbangan terhadap perjuangan merebut kemerdekaan RI dari tangan penjajah. Karenanya, serikat pekerja sejatinya bukanlah organisasi yang sifatnya lebih untuk kepentingan di dalam (perusahaan) semata. Bila serikat pekerja/buruh dimaknai seperti ini, organisasi ini berarti telah dibajak oleh segelintir orang berpandangan sempit.


3. Kami meminta klarifikasi atas maksud yang terkandung dalam "seruan wartawan Kompas" tersebut terutama stigma dan tuduhan "petualangan". Klarifikasi kami tujukan kepada seluruh penandatangan "seruan wartawan Kompas" tertanggal 27 Januari 2007. Klarifikasi ini juga termasuk kesadaran penuh akan implikasi hukum yang menyertainya. Hal ini kami perlukan mengingat pengalaman advokasi LBH Jakarta menunjukkan sering kali kesadaran serta kehendak bebas subyek hukum terkurangi oleh tekanan psikologis dari pihak-pihak tertentu dengan memanfaatkan posisi struktural demi terjadinya simponi pemecah ketimbang permainan solo dari pihak tertentu.


Terakhir, kami mengimbau semua pihak berhati-hati, karena dalam era globalisasi terjadi ekonomisasi di segala hal bahkan nilai-nilai. Arus tak terbendung menyeret kita dalam tindakan tidak otentik. Membuat suara hati semakin senyap bahkan hilang.


Salam hormat dan solidaritas bagi seluruh perjuangan pemuliaan kemanusiaan.




Jakarta, 15 Februari 2007

LEMBAGA BANTUAN HUKUM JAKARTA




Asfinawati
Direktur


Tembusan:
1. Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja Kompas
2. Arsip
posted by KOMPAS @ 8:33 PM   0 comments
Wednesday, February 14, 2007
Presiden IFJ Segera Lobi ILO
Hong Kong, Kompas Inside. Presiden International Federation of Journalist (IFJ) Christopher Warren mengaku ikut prihatin melihat perkembangan kasus pemberangusan serikat pekerja di Harian Kompas.

Untuk itu, Presiden IFJ berjanji akan melobi Organisasi Buruh Sedunia (ILO) untuk menggelar kasus ini.

Demikian keterangan Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas, Bambang Wisudo, setelah tiba di tanah air, Rabu (14/2/2007) siang ini.

Selama sepekan terakhir, Bambang Wisudo memang menghadiri pertemuan serikat pekerja pers tingkat regional di Hong Kong.

"Ini merupakan contoh terburuk bagi serikat pekerja pers di Indonesia dan serikat pekerja pada umumnya," kata Presiden IFJ ini ke Bambang Wisudo.

"Sebab, Kompas sebagai harian yang liberal saja melakukan tindak anti-union," ujar Christopher Warren yang pernah menghadiri pelantikan kepengurusan baru serikat pekerja Perkumpulan Karyawan Kompas beberapa tahun lalu.

"Maka, tindakan ini tidak bisa kita terima," tegas Christ.

Kalau dibiarkan, kata Christ, pemberangusan model ini akan merembet pada serikat pekerja pers lainnya di Indonesia.

Selain itu, menurut Christopher, IFJ yang beranggota 500.000 jurnalis di seluruh dunia, juga akan membantu perjuangan Bambang Wisudo dengan menghadirkan saksi-saksi ahli perburuhan internasional dalam proses persidangan nanti di Indonesia.

Solidaritas dan keprihatinan serupa juga ditunjukkan oleh pengurus National Union of Journalist (NUJ) Korea Selatan, NUJ Filipina, NUJ Malaysia dan NUJ Taiwan yang hadir dalam forum pertemuan itu.

Bahkan, Hong Kong Journalists Association (HKJA) yang menjadi tuan rumah dalam pertemuan ini berjanji akan memberi bantuan kongkrit. Salah satu caranya, adalah mendemo Kedutaan Besar Indonesia di Hong Kong.

Dalam sejarah perburuhan di Indonesia, baru dua kali ILO menyidangkan dan memutus kemenangan pada buruh Indonesia.

Kasus pertama terjadi pada buruh Hotel Shangri-La tahun 2001. Sedang kasus kedua adalah pemberangusan serikat pekerja yang menimpa Ketua dan Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Mandiri Tebu dan Gula di PT. Gunung Madu Plantation (PT GMP), Lampung, bulan Juli 2006.

Sebelumnya, Christopher Warren sendiri telah berkirim surat ke Pemimpin Redaksi Kompas, Suryopratomo. Namun himbauan ini tak diindahkan. Berikut kutipan surat Christopher Warren dua bulan lalu:

December 12, 2006

Suryopratomo
Editor in chief KOMPAS
Jl Gajah Mada 109-110-AJAKARTA 11140
Phone : 021-6329919Fax : 021-2601611

Dear Mr Suryopratomo,

I am writing on behalf of the IFJ, the global organisation representing over 500,000 journalists, to protest against your company’s treatment and sacking of long-term and loyal employee, Bambang Wisudo.

Wisudo was reportedly fired on December 8 after refusing to be reassigned to Ambon, Maluku Province. From information available to the IFJ, it seems that your company was seeking to relocate Wasudo to a distant location in order to prevent his activism as secretary of the KOMPAS Trade Union (PKK).

This is a disgraceful situation, and the IFJ gives its full support to our affiliate, the Aliansi Jurnalis Independen (AJI), in its campaign to see Wisudo immediately reinstated and his rights returned.

The IFJ understands that Wisudo was also forcibly removed from KOMPAS offices by security personnel and detained in a holding cell for several hours until the delivery of a dismissal letter signed by you, as editor-in-chief.

It is a terrible situation when a journalist can give 15 years of loyal service to a newspaper then be dismissed, unlawfully treated, and despised for his efforts to improve important media standards.

The humiliating and improper handling of Wisudo's case severely jeopardises KOMPAS' reputation as a quality media employer, and organisation.

The blatant intimidation tactics used by KOMPAS management to try and force Wisudo to relocate, and your company’s attempts to phase out his influence and union representation, is not only shocking and morally reprehensible, but also is contrary to the International Labour Organisation's (ILO) Right to Organise and Collective Bargaining Convention.

We must emphasise the crucial need for all media employers, including KOMPAS Daily, to allow union members to assemble, communicate and represent the interests of media employees.

In line with Indonesian Labour Law, we support AJI's demands that KOMPAS:
- Reinstate Wisudo to his former position at PT KOMPAS Media Nusantara.
-Recognise Wisudo's role as secretary of the PKK.
-Rescind the decision to send Wisudo to Ambon, Maluku Province and abandon its continued policy of union member relocation.
-Respect the right of employees to form and elect representatives to trade unions without intimidation.

Conduct a thorough, transparent investigation of the events listed herein and take decisive corrective action against its internal security personnel, to ensure that this reprehensible action is not repeated.


Yours sincerely
Christopher Warren
President
International Federation of Journalists
(rie/E1)
posted by KOMPAS @ 2:18 AM   0 comments
Tuesday, February 13, 2007
Giliran LBH Pers Protes 'Seruan'
Nomor : 006/SK-Litigasi/LBH Pers/02/2007
Hal : Klarifikasi

Kepada Yth.
1.Sdr. Bre Redana
2.Sdr. Efix Mulyadi
3.Maria Hartiningsih

Di tempat

Dengan Hormat,
Perkenankan kami dari Lembaga bantuan Hukum Pers (LBH Pers) secara kelembagaan ingin menyampaikan sesuatu kepada teman-teman wartawan senior dan tokoh yang sudah diakui khalayak. Sekali lagi hal ini kami sampaikan bukan sesuatu yang gegabah, namun setelah membaca dan mencermati seruan Seruan Wartawan Kompas, terlintas pertanyaan apa maksud dan tujuan seruan tersebut. Selain itu juga terdapat beberapa kata di antaranya adalah kata "Petualangan" yang terus terang telah mengganggu kredibilitas kami sebagai lembaga yang juga turut tergabung dalam Komite yang selama ini mengadvokasi kasus Bambang Wisudo sebagai karyawan Kompas.

Berdasarkan surat Seruan Wartawan Kompas tertanggal 27 Januari 2007 yang dikirim ke redaksi Situs Berita Rakyat Merdeka Online oleh Sdr. Bre Redana edisi 31 Januari 2007 disebutkan bahwa seruan tersebut untuk "mencegah "Petualangan" yang lebih jauh sehingga merugikan berbagai pihak termasuk masyarakat luas yang ikut memiliki harian Kompas."

Kata "Petualangan" tersebut sangat mendiskreditkan & melecehkan kami selaku Anggota Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers). Karena pengertian "Petualangan" menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi III Cetakan pertama tahun 2003 Susunan W.J.S. Poerwadarminta mempunyai arti atau konotasi bermacam-macam diantaranya yaitu "orang yang ingin memperoleh sesuatu dengan cara menekat (tak jujur dsb) atau arti lain tak tentu tempat tinggalnya". Namun kami belum jelas dalam arti yang mana yang disebut oleh kawan-kawan penggagas dan penandatangan seruan tersebut. Sebagai wartawan senior tolong berikan petunjuk kami arti yang dimaksud, maklum kami bukan ahli bahasa dan bukan seorang wartawan yang bisa menulis seindah bahasa dengan pendekatan bahasa budaya yang sangat lembut. Namun bagi kami dibalik kelembutan itu kata "petualangan" telah meluluh lantakkan kalimat indah yang telah tersusun. Kami yakin bukan sekedar wartawan yang bisa memformulasi kalimat sebagus itu, tapi jika benar adalah mereka wartawan seniorlah yang telah menorehkan buah pikirannya.

Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) mempunyai kantor atau tempat tinggal yang jelas yaitu di Jln Prof. Dr. Soepomo, S.H., Komp. BIER, No. IA Menteng Dalam Jakarta Selatan 12870 Telp: (021) 8295372 Fax: (021) 8295701 Website: www.lbhpers.org dan berbadan hukum yang diakui sebagai subjek hukum yang jelas di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian atas dasar apa Saudara mengatakan bahwa kami melakukan "Petualangan?".

LBH Pers juga telah menggariskan dan mengharamkan bagi lembaga maupun orang-orang yang bekerja dalam lembaga ini meraih keuntungan dengan cara menghalalkan segala cara, apalagi dengan melakukan segala sesuatu dengan nekat atau konyol tanpa tujuan yang jelas apalagi tidak bisa dipertanggungjawabkan. Jika siapapun termasuk saudara penandatangan melihat LBH Pers sebagai Lembaga atau sebagai pribadi melakukan sesuatu yang terkategori "petualangan" demi keuntungan, mohon saudara laporkan kepada kami, kami mempunyai alamat yang jelas.

Untuk itu kami dari Lembaga Bantuan Hukum Pers meminta klarifikasi yang dimaksud dengan kata-kata "Petualangan" terhadap
1. Sdr. Bre Redana
2. Sdr. Efix Mulyadi
3. Sdr. Maria Hartiningsih

Kami memberikan batas waktu 7 hari sejak tanggal surat ini dikirimkan hingga tanggal 19 Februari 2007 untuk mendapatkan klarifikasi dari Saudara.

Demikian surat klarifikasi ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, 12 Februari 2007
Hormat kami


Hendrayana, SH
Direktur Eksekutif

Sholeh Ali, SH
Kadiv. Litigasi

Horas Siringo-ringo, SH
Kadiv. Non Litigasi
posted by KOMPAS @ 8:06 PM   0 comments
Dicap "Petualang", FSPM Marah Pada Kompas
Selasa, 13 Februari 2007, 12:04:54 WIB
Laporan: Sholahudin Achmad

Jakarta, Rakyat Merdeka. Solidaritas terhadap Bambang Wisudo, wartawan yang dipecat secara sepihak oleh Pimred Kompas, berbuah cap jelek bagi Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM). Cap "petualang" ditempelkan oleh para wartawan Kompas kepada FSPM.

Menanggapi stigmatisasi tersebut, Odie Hudiyanto, Sekretaris Umum Federasi Serikat Pekerja Mandiri melayangkan surat protes. "Inilah kali pertama dalam sejarah Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) sejak berdiri pada tahun 2000 menerima julukan "Petualang" ketika memberikan dukungan solidaritas kepada sesama
buruh. FSPM kami rintis dengan keringat dan darah!!!" tukas Odie.

Menurutnya, diantara serikat buruh tingkat nasional, FSPM merupakan satu-satunya serikat buruh yang tidak seperakpun menerima kucuran dana dari lembaga-lembaga funding di tingkat nasional atau international. "Tidak dari pemerintah, Jamsostek,
partai politik apalagi dari pengusaha. Termasuk dari Mas Bambang Wisudo!" katanya.

Saat ini, FSPM beranggotakan 16.753 pekerja yang tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Odie mengatakan, organisasinya tetap dapat hidup, berkembang dan melayani anggota secara baik hanya melalui uang iuran anggota.

Namun, dengan munculnya gerakan dari para wartawan Kompas yang berjudul Seruan Wartawan Kompas dengan menyebut FSPM adalah petualang yang mendiskreditkan,
merongrong dan memutar-balikan nilai-nilai yang diemban Kompas, maka pihaknya merasa keberatan. "Ini adalah sebuah hinaan terhadap FSPM," ujarnya.

Persoalan ini bermula dari dukungan FSPM terhadap Bambang Wisudo. Para anggota FSPM ikut menggelar demo di kantor Kompas untuk menolak keputusan PHK terhadap Wisudo. Selain itu, FSPM juga menggelar aksi pemasangan spanduk raksasa di Bundaran Hotel Indonesia Jakarta, yang berisi kecaman atas PHK tersebut.

Serangkaian aksi solidaritas FSPM itu lalu dibalas dengan sebuah gerakan oleh puluhan wartawan Kompas.

Gerakan ini dipelopori oleh sejumlah wartawan senior Kompas, antara lain, Bre Redana dan Maria Hartiningsih.

Menurut Odie, dukungan FSPM kepada Wisudo tak ubahnya dengan dukungan FSPM kepada pekerja dari sektor industri lainnya yang terkena penindasan oleh manajemen. Sehingga bukan dimaksudkan untuk menjadi petualang.

"Brother Bre, kami meminta klarifikasi dan penjelasan dari anda maksud Petualang! Sound system murahan yang "bernyanyi" di Gedung Kompas itu adalah hibah dari
kawan-kawan buruh Hotel Shangri-La yang pernah berjuang 2,5 tahun di trotoar depan Hotel Shangri-La menuntut keadilan dan kebenaran. Demikian juga spanduk yang terbentang itu adalah hasil 'urunan' kawan-kawan Pekerja pariwisata," ujar Odie.

"Sejak berdiri tahun 2000, tidak ada seorangpun dari 16.753 anggota FSPM yang berani melacurkan idealismenya hanya untuk kepentingan pribadi semata. Oleh karenanya, kami menunggu jawaban anda secara resmi paling lambat 3 hari sejak surat ini kami kirimkan," tambahnya. adi
posted by KOMPAS @ 7:59 PM   0 comments
Monday, February 12, 2007
FSPM Protes 'Seruan Wartawan Kompas'
Jakarta, 12 Februari 2007

Kepada Yth,
Brother Bre Redana atau Don Sabdono
Wartawan Kompas
Di tempat

Perihal : Protes dan Mohon Klarifikasi

Tembusan :
-Kapolda Metro Jaya, Bapak Irjen Pol Adang Firman
- Bapak Jacob Utama
- Bapak Asmara Nababan, Pimpinan Demos
- Bro Efix Mulyadi
- Sis Maria Hartiningsih
- Kawan-kawan AJI
- Seluruh Anggota FSPM
- Arsip



Dengan hormat,

Inilah kali pertama dalam sejarah Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) sejak berdiri pada tahun 2000 menerima julukan PETUALANG ketika memberikan dukungan solidaritas kepada sesama buruh.

FSPM kami rintis dengan keringat dan darah!!!.

Diantara Serikat buruh tingkat nasional mungkin kami adalah satu-satunya Serikat buruh yang tidak seperakpun menerima kucuran dana dari lembaga-lembaga funding di tingkat nasional atau international. Tidak dari pemerintah, Jamsostek, partai politik apalagi dari pengusaha. TERMASUK DARI MAS BAMBANG WISUDO!

Kami tetap dapat hidup, berkembang dan melayani anggota-anggota kami secara baik hanya melalui uang iuran anggota.

16.753 anggota kami yang tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali sangat marah dan kecewa atas tindakan anda melakukan sebuah gerakan yang berjudul Seruan Wartawan Kompas dengan menyebut FSPM adalah petualang yang mendiskreditkan, merongrong dan memutar-balikan nilai-nilai yang diemban kompas.

Ini adalah sebuah hinaan terhadap FSPM.

Anggota-anggota FSPM yang merupakan Pekerja sektor Hotel, Restaurant, Catering, Plaza, Retail dan Pariwisata telah menyatakan sikapnya untuk melakukan tindakan balasan atas seruan yang anda gagas itu.

Wartawan tidak beda dengan Pekerja pariwisata. Tidak lebih dan tidak kurang!

Kalau anda mengaku Pekerja kerah putih, kamipun demikian. Namun kami tidak pernah menjilat dan menjual harga diri kami sebagai manusia.

Wartawan dan Pekerja pariwisata adalah sama-sama buruh yang mengharapkan upah bulanan dan perbaikan kesejahteraan.

Ketika ada Pekerja pariwisata ditindas semena-mena, kami bergerak membelanya.

Ketika Pekerja Hotel Nikko yang dahulu bernama Hotel Presiden di PHK sepihak, kami melakukan aksi unjuk rasa menentang pemecatan tersebut.

Lalu ketika Hotel Sheraton Mustika Yogyakarta hancur akibat gempa, dan buruhnya mau dirumahkan tanpa upah, kamipun membelanya dan sampai hari ini para Pekerja tetap mendapatkan upah.

Atau ketika tahun 2001 Hotel Regent Jakarta (sekarang bernama Four Seasons) tutup 18 bulan akibat banjir, kami juga dapat memastikan tidak ada yang di PHK dan tetap menerima upah dan uang jasa layanan.

Terlalu banyak jika mau disebutkan, aksi solidaritas yang kami lakukan. Apakah aksi tersebut membuat Pekerja yang tidak terkena masalah melakukan aksi protes bahkan melakukan kebulatan tekad dengan membuat seruan? Jawabannya tidak sama sekali!!!

Brother Bre, kami meminta klarifikasi dan penjelasan dari anda maksud PETUALANG!

Sound system murahan yang "bernyanyi" di Gedung Kompas itu adalah hibah dari kawan-kawan buruh Hotel Shangri-La yang pernah berjuang 2,5 tahun di trotoar depan Hotel Shangri-La menuntut keadilan dan kebenaran. Demikian juga spanduk yang terbentang itu adalah hasil 'urunan' kawan–kawan Pekerja pariwisata.

Sejak berdiri tahun 2000, tidak ada seorangpun dari 16.753 anggota FSPM yang berani melacurkan idealismenya hanya untuk kepentingan pribadi semata.

Oleh karenanya, kami menunggu jawaban anda secara resmi paling lambat 3 hari sejak surat ini kami kirimkan.

Surat ini juga kami persembahkan untuk Sister Maria Hartingsih, peraih Yap Thian Hin Award 2006. kami juga menunggu jawaban anda. Alangkah Naifnya jika tokoh perubahan yang mengaku pejuang kesetaraan perempuan juga tidak bisa memberikan opininya secara Jernih atas permasalahan Mas Bambang Wisudo.

Demikianlah surat dari kami, terima kasih kami haturkan


Odie Hudiyanto
Sekretaris Umum
posted by KOMPAS @ 7:19 PM   0 comments
Sunday, February 11, 2007
Building union culture in Indonesian press
(Wartawan Kompas P. Bambang Wisudo ditunjuk mewakili Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk mengikuti workshop dan training serikat pekerja pers yang diselenggarakan Hongkong Journalists Association dan International Federation Journalists (IFJ) di Hongkong, 8 – 12 Februari 2006. Kasus pemecatan Bambang Wisudo secara tidak absah yang dilakukan oleh pemimpin redaksi Kompas Suryopratomo mendapat perhatian khusus khusus dari peserta pertemuan itu. Jurnalis dan aktivis serikat pekerja pers dari negara-negara Asia itu sepakat untuk mendukung perjuangan Bambang Wisudo untuk dipekerjakan dan memperoleh hak-haknya kembali. Berikut makalah Wisudo yang disampaikan dalam pertemuan tersebut).

Building union culture in Indonesian press

Bambang Wisudo )*

"Media company is not the same with transportation or shoe company that can be just bought and sold. Media company is not merely a commercial institution. It is mainly an idealism institution," PK Ojong (1974), co-founder Kompas-Gramedia Group, Indonesian media conglomerate that published Kompas Daily.

FOR quite a long time, Indonesian journalists did not identify themselves as workers. During Soeharto regime Indonesian journalists were lull to sleep by identifying themselves as professionals that differed from other workers. To legitimize this, in 1984, the government ruled the media companies to give minimum 20 percent of its shares to their employees that were managed collectively. The Department of Information which controlled the press also claimed that journalists were not ordinary workers. Journalists served themselves as professionals and they had to become members of Indonesian Press Association, the sole journalists association that was recognized by the government. This situation created barriers for journalists and media workers to established trade unions.

In 1988, some journalists of Kompas Daily such as Albert Kuhon, Rikard Bangun, Irwan Julianto, and Maruli Tobing tried to establish a union and the faced repressive respond by the company. Kuhon was isolated and prevented to do his jobs as journalists, and the other three were given sanctions. Later, Kuhon retreated because of the isolation. In 1994, two Kompas Journalists Satrio Arismunandar and Dhea Perkasa Yudha were forced to retreat because of their involvement as members of board executives of Serikat Buruh Seluruh Indonesia, a progressive union that oppose to Soeharto.

Despite of the resistance among the workers and management to the idea of establishing union, two month after Soeharto fell down with few of my colleagues I try to establish a union. The changes of political environment and the enthusiasm of Indonesian people to establish unions and political parties helped me to asked my fellow workers to support the idea to establish union. Anyhow we had to accommodate the management consideration that the union is just an internal organization that its main function is to bridge the communication between workers and management. We even did not used the word of "union" but we used the term of "association of employee", Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK).

One of the aims of PKK is to clarify and negotiate the realization of 20 percent shares owned by the workers. By the time being, we continually tried to build PKK as a true union. We registered PKK to Department of Labor to meet legal requirement as an union. However the management resistance grew as PKK was built as union. In the year of 2001, I was prevented to do my jobs as journalists for a year liked it was happed to Kuhon. However the sanction was canceled after I protested bitterly with the support of Alliance of Independent Journalists. I then retreated as chairman PKK and the organization continued to negotiate with the management to realize the shares owned by the employee. Unfortunately after almost six year of negotiation it give no result. Therefore in 2005 I joined again as a member of broad executives of PKK. In the mid 2005, without any agreement of its workers, the shares of Kompas Employee were given back to the company and unilaterally conversed to profit sharing.

After some protests of unilateral decision to abolish the shares owned by the employees were ignored, PKK asked legal aid to some public lawyers. They then give legal warning to the management. This move make the company open the negotiation again. Because of the un-conducive situation since the workers were mobilized to stand against the organization, we accepted the idea to conversed the collective shares owned by the employee to profit sharing. However we succeeded that the company will give 20 percent of its dividend to its employee every year as long as the company exist and the changes of the commitment have to be asked to the workers for agreement.

Two month after the agreement, as the secretary of PKK, I was reassigned unfairly to Ambon, to Maluku. The chairman of PKK was also reassigned to Padang, West of Sumatera. The reassignment was directly connected with our role as union activists and it was against the labor law. Once again I protested bitterly to the decision and when I distributed leaflets to protest the decision, I was sacked violently and was under detention of the internal security for two hours and then I received illegal dismissal letter signed by Kompas editor in chief, Suryopratomo.

Two months after the incident, neither Jakob Oetama as president of the company or Suryopratomo ask forgiveness for the violence and the illegal dismissal despite the pressure from national or international communities.

***

PRESS worker union is quite a new phenomenon in Indonesia although embryos of press trade union have been established for quite a long time in some media companies. Despite there are approximately 1.500 media companies in Indonesia, the number of press worker unions in Indonesia are not more than 40. Most of them are not well organized, they do not collect membership fee, and can not legally represent the workers because the haven't registered to the Labour Force Department. Just few of them have collective work agreement.

During New Order regime, there are some embryo of pres worker unions known as Board of Employees, Dewan Karyawan. It is pioneered by Tempo Magazine with the name of Tempo Board of Employees. It was founded in 1978 with the main objective was to create good working atmosphere in the company. The organization was not concerned on welfare issues but more focused on solving disputes between employees and management. Board of Employees was copied by some media companies, such as Jakarta Post, Gamma, and Gatra. Tempo Board of Employees has just recently registered to the Department of Labour Force.

Once Republika succeed in building its trade unions. The union was founded in 2000 under the name of PT Abdi Bangsa Board of Employees. They even succeed in negotiation collective work agreement with the management. However not long after its success the union leaders were forced to retreat, the union was co-opted, and now it don’t have strong bargain with the management. Radio 68 H can be mentioned as one of the media company that can live together its union.

Since its formation on 7 August 1994, Alliance of Independent Journalists (AJI) have concerned in improving professionalism and welfare of press workers as well as struggling for press freedom. Welfare of press workers can be achieved gradually on condition that there is solidarity among the workers as well as a will to build a strong organization to represent the workers. To educate and promote union culture among press worker, AJI established Trade Union Division. Continually AJI campaign to journalists and press workers to form worker unions in their workplaces and train its member to become union activists. In Jakarta, AJI encourage the unions to establish a city-level networking.

The slow progress in developing press worker union in Indonesia, as I mentioned before, partly because of journalists in Indonesia tends to identify themselves mainly as professionals, not as workers, even the majority of journalists in Indonesia are low-paid. A recent study conducted by AJI Jakarta shows that there are still some journalists in Jakarta only paid Rp 250.000 (30 US Dollars) a month. That is far below the standard of salary for journalists in Jakarta Rp 3.200.000 (355 US Dollars). Only few of media companies that provide minimum salary Rp 3.200.000 for its journalists. Tempo Group can not meet the standard. However Radio 68 H can meet the standard because of its non profit orientation.

Why this such condition do not encourage Indonesian journalists to establish press workers union in their company? Despite demanding for better work condition to their management, most of them prefer to get extra-payment from their news resources. For many years, most journalists in Indonesia get money from their news resources known as "envelopes." The "envelope culture" is so rampant among the journalists in Indonesia that many government and business institutions allocate their budget for bribing the journalists. However some idealistic journalists that get low payment try to get extra income by doing side-jobs.

The pragmatic behavior of the journalists in one hand and the reluctance of the media company to accommodate the existence of union is the main factor that make the progress of media worker union in Indonesia is so slow. Although the labour law 2001 declares clearly that anyone who prevent union activism would face penal punishment, the law is still toothless. Union activists are still vulnerable. Grand strategy to build press worker union, such as union training and campaign, establish network and federation of press worker union, legal protection and protection for union activist is urgently needed.

The brutal action of Kompas management in sacking its union activist have to be respond and has to battled legally. It is very important to show a strong message to all media companies that they have to respect the rights of their workers to raise their voice and to organize themselves.

*) Bambang Wisudo is journalist of Kompas Daily, Secretary of Compass Press Worker Union and Coordinator of Ethics and Profession Division, Alliance of Independent Journalists (AJI)
posted by KOMPAS @ 6:29 PM   26 comments
Friday, February 9, 2007
Aktivis Pendidikan Kecele JO Tak di Rumah
Jakarta, Kompas Inside. Sedikitnya 40 orang guru dan aktivis pendidikan dari 10 daerah, Jumat (9/2/2007) petang ini, merasa amat kecele. Soalnya Pimpinan Umum Kompas Jakob Oetama tidak ada di rumah.

Dengan menaiki bus ukuran sedang, aktivis pendidikan dan guru itu tiba di kediaman rumah Jakob Oetama di Jalan Sriwijaya Raya, Jakarta Selatan, sekitar pukul 16.10 WIB. Ikut serta bersama rombongan adalah Ade Irawan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Lody Paat dari Koalisi Pendidikan.

Bus ukuran sedang itu kemudian diparkir di seberang kediaman pribadi Jakob Oetama (JO). Namun, Jakob Oetama kabarnya tidak ada di rumah. Yang menyambut kedatangan para guru dan aktivis pendidikan dari 10 daerah tersebut hanyalah beberapa anggota Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) serta belasan satpam Kompas dan aparat kepolisian berpakaian preman.

Beberapa orang anggota Komite memang sudah dulu tiba di kediaman JO pada pukul 15.00 WIB. Nampak hadir, utusan dari LBH Pers, AJI Jakarta, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), dan Forum Pers Mahasiswa se-Jabodetabek (FPMJ). Sementara, rombongan guru dan aktivis pendidikan datang sedikit terlambat karena terjebak kemacetan.

Ketika delegasi pertama Komite tiba, mereka diterima oleh Humas Kelompok Kompas Gramedia (KKG), Nugroho F. Yudho. Nugroho mengaku disuruh JO untuk menemui rombongan serta menyampaikan pesan bahwa JO belum bisa menerima kedatangan delegasi Komite yang hendak berdialog dan mencari solusi terbaik atas kekerasan dan pemecatan yang menimpa Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas, Bambang Wisudo.

Dalam pertemuan itu, Odie Hudiyanto dari FSPM meminta ke Nugroho F. Yudho agar menyampaikan ke Bre Redana dan Efix Mulyadi, bahwa mereka menunggu klarifikasi dari penggagas "Seruan Wartawan Kompas" ini.

"Kami adalah serikat buruh yang tergabung dalam Komite. Dan kami tidak rela disebut sebagai petualang," tegas Sekretaris Umum FSPM ini. Dalam seruan yang dibuat oleh wartawan senior Kompas itu, memang disebutkan bahwa aksi-aksi yang dilakukan di depan harian Kompas merupakan bentuk petualangan.

Karena itu FSPM sudah mengirim surat protes resmi ke kedua tokoh penggagas seruan tersebut untuk meminta klarifikasi. Langkah protes serupa juga akan dilakukan berbagai organisasi yang tergabung dalam Komite.

Istri Diajak Berunding
Nugroho F. Yudho sendiri mengaku sudah mencoba mencari jalan agar terjadi dialog antara Jakob Oetama dan Bambang Wisudo. Tapi JO, kata Nugroho, meminta agar ditemani Suryopratomo selaku Pemred Kompas dan St Sularto selaku Wakil Pimpinan Umum Kompas.

Sementara dalam dialog tersebut, lanjut Nugroho, Bambang Wisudo bisa ditemani oleh Ketua Perkumpulan Karyawan Kompas, Syahnan Rangkuti. "Usul ini sudah diterima oleh JO," ujarnya. Tapi Nugroho mengatakan pihak Bambang Wisudo yang justru menolak.

Pernyataan itu langsung diprotes anggota Komite. Pasalnya, wartawan Kompas yang ditugaskan untuk menghubungi Bambang Wisudo, yakni Tri Agung Kristanto, malah berkata sebaliknya.

Tri Agung justru mengusulkan agar Bambang Wisudo ditemani istrinya dalam pertemuan itu. Dan menurut pengakuan Bambang Wisudo menyitir pernyataan Tri Agung, kalaupun dia ditemani pengurus PKK, dia tak boleh didampingi oleh Syahnan Rangkuti. Tapi oleh pengurus PKK lainnya. Tentu saja usul ini ditolak oleh Bambang Wisudo.

"Masa aku ditemani istriku. Ada urusan apa istriku dengan perusahaan," kata Bambang Wisudo sebelum berangkat hari Rabu (7/2/2007) siang ke Hongkong untuk menghadiri pertemuan serikat pekerja pers se-Asia Pasifik.

Nugroho sendiri mengaku tidak tahu hal itu yang disampaikan ke Bambang Wisudo. Sebab, ia mengaku memang berbagi tugas. Ia bertugas menghubungi JO dan Tri Agung bertugas menghubungi Bambang Wisudo. Tapi ia menyatakan, opsi itulah yang ia tawarkan dan sudah diterima oleh JO.

Karena tak berhasil menemui JO, maka Komite memutuskan menunggu kedatangan aktivis pendidikan dan guru yang belum datang karena terjebak kemacetan. Pada saat menunggu, Nugroho F. Yudho berpamitan karena ada urusan lain.

Tak sampai satu jam, rombongan guru dan aktivis pendidikan yang prihatin dengan makin berlarutnya kasus Bambang Wisudo, datang. Tapi mereka merasa kecele begitu tahu JO tidak ada di rumah.

Alhasil, Komite kemudian menyerahkan Petisi Dari Para Sahabat ke Kepala Urusan Rumah Tangga di kediaman JO, Y Tito N. Setelah menyerahkan petisi yang sudah ditanda-tangani 150 orang dan masih akan terus bertambah itu, Komite kemudian meninggalkan kediaman JO dengan damai.

Menurut catatan, inilah kedatangan Komite kedua ke kediaman JO guna berdialog sebagai pribadi guna mencari solusi terbaik untuk kasus pemberangusan serikat pekerja di harian Kompas yang dilakukan oleh Pemred Suryopratomo. Sebelumnya, Komite juga telah datang kediaman JO tanggal 26 Januari lalu.

Pada saat itu, Nugroho F. Yudho juga yang menemui. Saat itu Nugroho berjanji akan mencoba menjembatani aspirasi Komite dan JO.

"Kalau cuma dua tiga orang mungkin pak Jakob masih mau menemui," ujar Nugroho saat itu.

Tapi setelah dua pekan lewat, tak ada kabar sama sekali. Maka, rapat Komite memutuskan untuk kembali bersilahturahmi ke kediaman JO. (wia/E4)
posted by KOMPAS @ 2:25 AM   0 comments
Thursday, February 8, 2007
Preserving worker's right in the media industry
Ignatius Haryanto )*

Recently a big case happen to Paulus Bambang Wisudo, a senior Kompas journalist, who was ransanked in this mid December for his struggle as workers activist in Indonesian biggest daily. Bambang wanted to ensure workers right in having 20% shares of the newspaper company, and for his struggle he and several of his friends were mutated to remote area.

Alhtough the mutation was claimed as part of the normal rotation for Kompas journalist, but many can suspect this act was part of the revenge action by the newspaper management over their workers. This act can be seen as an act against Indonesian Labor Law, when a company ransacked or turned down the union activist, they can get some punishment.

This big case reminds us that journalist, although many claim as special profession, but in the eyes of the media owner or media management, journalist are still workers by definition, since they don't own the media. What Bambang and his colleagues struggle for is part of the legacy from Harmoko's era as Minister of Information.

Harmoko, during the New Order era, proposed an idea that media workers should have collective shares in the media industry, as part of increasing journalists welfare effort. The intention of his idea was actually good, but in reality, is quite complicated to be enacted.

Part of the problem is that there's no such control from the Ministry to check whether the 20 % workers share were happened in many press industries at that moment, and in reality, Harmoko himself, put his own interest in having the share, in stead of the workers themselves. So part of Harmoko's legacy remains problematic for today, when the state actually is not as strong as the New Order era. So, the state cannot intervered to media management to check whether the 20% policy was still enacted, or what happen to journalist welfare, as Harmoko was struggling about twenty years ago?

Let's put aside the problem, whether journalist should or would have 20% of their company share, but let's go to another question, do the journalist have their rights to be involved in journalist union in order to protect their rights? In the New Order era, answer to this question would be very vague.

Yes, journalist also have their rights as media workers, but on the other hand, this argument mention that journalist is different than any other profession, because they are professionals, and not the same with other workers (for instance, manufacture workers, and so on).

So in line with this argument, that journalist association was prohibited to connect with workers association, and they can form an instititution in the media company, to preserve their welfare, but this institution should be managed through family cultures and values ("sikap kekeluargaan").

But on the other hand, the opponent to this argument raised an issue that journalist is the same as other workers, although they were working in different sectors, but the basic idea is the same; they are workers, they didn't take part in the decision making processes in the company, they cannot control the company owner, and they are not owning the company.

By looking at fragile situation faced by the journalist, it is necessary, for this opponent view, that journalist should, and could build their own union.

Looking at the economic crises situation several years ago, where many media companies flourished, and banished at very short time (from three to six months), it is very critical for journalist in those media companies to preserve their rights, especially when journalists were having low salaries, and not having compensation after the media was bankrupt. Some cases even went to trial, and some cases showed that the media workers were win over the media owner.

In the era where hypercommercialism was raised, and the media company was turned into a purely business entity, this case was not suprising to happen. Forget the old adagium when the press industry was perceived as part of the institution for struggle, and many writers (eg: Christianto Wibisono, Daniel Dhakidae, David T. Hill) had already shown us the shifting from the press struggle paradigm to business struggle paradigm.

Remember, that we are now living in the very tough competition in the media industry, not only among media groups, but also competition in the media formats (Television versus print media, radio versus internet, etc.)

What happen to press idealism, in this shifted situation? Are we still facing great idealism created by most of the press founder, or are we now facing a more business friendly or a entertainment type of news that reduced political and economic risks?

Are we easy to find indepth and thoughtful articles in the papers, or watching insightful programs in television? Or we just can say we find more rubbish news or program than before? If this happen, who can balance the situation? The government? The Public? The Journalist themselves? Or Who else?

I still believe that in this situation, the public, and journalist have their chance to increase and to improve media performance today. Taking this responsbility to the government will backlash us to the New Order situation, when the state control over everything in the press.

But giving a chance for public (in this sense; the readers, the viewers, the media watch groups) to control the media, is more a healty situation, when there is an interraction between media producers, and media consumers, to create a situation when hypercommercialism can be negotiated. And giving this chance also to journalists themselves is also a good effort, so that they feel responsible to the society, which they owe their support to the media organisations.

In this stance, I would say, that preserving journalist right to be involved in the union, is the basic rights, basic needs, and also basic strategy if the media companies, still wanted to get support from public.

Media companies which undermines their workers will get bad image from the public. And taking adagium from the second wave of feminist activists, the media company should also notice : "the personal is the political", means that what happen inside the media company cannot perceived only as a matter of their internal problem, but it is also part of the larger interest of the public.

When the media intrude union activists, it gives signals that the media in itself is undemocratic, and the public will consider this act as part of the media hypocricy when the media publish many good articles and news about democratic values, but in reality, the media itself was undemocratic to their workers. (*)

12-12-06

)* Ignatius Haryanto,
a researcher at Institute for Press and Development Studies, LSPP, Jakarta
posted by KOMPAS @ 9:53 PM   0 comments
Serikat Pekerja Kompas Perpanjang Kepengurusan
Jakarta, Kompas Inside. Menyusul "Seruan Wartawan Kompas" yang digagas Efix Mulyadi dan Bre Redana, pengurus serikat pekerja harian Kompas, yakni Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK), akhirnya memutuskan memperpanjang masa kepengurusan.

Keputusan itu diambil secara aklamasi dalam rapat pengurus PKK hari Selasa petang kemarin di Gedung harian Kompas. Perpanjangan itu berlaku enam bulan sejak kepengurusan PKK berakhir tanggal 28 Februari 2007. Dengan demikian, kepengurusan PKK masih memakai formatur pengurus lama sampai akhir Agustus 2007.

Menurut sumber Kompas Inside yang dihubungi Jumat (9/2/2007) ini, alasan perpanjangan kepengurusan adalah karena faktor "force majeur" terhadap PKK. Salah satunya sebuah musibah berupa pemecatan yang menimpa Sekretaris PKK Bambang Wisudo.

Dan, dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PKK, memang disebutkan bahwa pengurus PKK berhak memutuskan sesuatu untuk organisasi ini bila pengurus menganggap situasi dalam keadaan darurat.

Seperti diketahui, Sekretaris PKK Bambang Wisudo menerima surat pemecatan sepihak dari Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo tanggal 8 Desember 2006. Ia sempat disandera oleh satpam Kompas yang mengaku mendapat perintah atasan sebelum dipecat karena menyebarkan surat pribadinya ke Jakob Oetama yang berisi penolakan mutasi ke Ambon.

Pengurus PKK sendiri kemudian menilai pemecatan itu tidak sah (lihat arsip berita tanggal 26 Desember 2006, red). Pemecatan itu juga dinilai merupakan ekses negatif perundingan saham kolektif 20 persen milik karyawan Kompas antara pengurus PKK dan manajemen Kompas.

Karena itu, dalam surat pernyataan PKK yang ditanda-tangani Ketua PKK Syahnan Rangkuti, PKK mendesak agar pemecatan itu dibatalkan. Sebab, hal itu jelas melanggar UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja. Karena dalam aturan tersebut ditegaskan, setiap pengurus serikat pekerja dilarang untuk dimutasi. Apalagi dipecat.

Dengan keputusan perpanjangan kepengurusan PKK ini, maka posisi Bambang Wisudo sebagai Sekretaris PKK masih sah hingga enam bulan mendatang. (als/E3)
posted by KOMPAS @ 9:05 PM   0 comments
Previous Post
Archives
Powered by

Hit Counter
Hit Counter

Free Blogger Templates
BLOGGER

http://rpc.technorati.com/rpc/ping <