Anggota Koalisi
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Aliansi Buruh Menggugat/ABM (KASBI, SBSI 1992, SPOI, SBTPI, FNPBI, PPMI, PPMI 98, SBMSK, FSBMI, FSBI, SBMI, SPMI, FSPEK, SP PAR REF, FKBL Lampung, SSPA NTB, KB FAN Solo, AJI Jakarta, SBJ, FKSBT, FPBC, FBS Surabaya, PC KEP SPSI Karawang, GASPERMINDO, ALBUM Magelang, FKB Andalas), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, IKOHI, KONTRAS, PPR, Somasi-Unas, SPR, Arus Pelangi, GMS, LPM Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Praksis, Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ), FMKJ, Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), FSPI, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Repdem Jakarta, SPN, OPSI, SP LIATA, SPTN Blue Bird Grup
Links
Media
Wednesday, June 27, 2007
Sulitnya Membuktikan PHK Akibat Aktivitas di Serikat Pekerja
Peraturan perusahaan yang digunakan sebagai dasar hukum berlaku surut.

Tidak mudah membuktikan apakah PHK atau mutasi disebabkan karena aktivitas buruh di Serikat Pekerja. Menurut Yogo Pamungkas, Dosen Hukum Perburuhan Trisakti, dalam perkara perdata berlaku asas siapa yang mendalilkan dia membuktikan. Memang harus dilihat apakah ada kaitan aktivitas di Serikat Pekerja dengan terjadinya PHK. Untuk membuktikannya, dapat dipakai saksi, surat (kalau ada), atau bisa juga dipakai rentetan peristiwa, hubungan sebab akibat. Pandangan Yogo berkaitan dengan perseteruan Kompas dengan wartawannya, Bambang Wisudo yang masih berlanjut ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta.

Dalam jawabannya, Bambang menolak keras dalil Kompas yang menyatakan mutasi dirinya tidak berhubungan dengan aktivitasnya sebagai Pengurus Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK). Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Bambang juga mengajukan gugatan union busting, atau pemberangusan serikat pekerja.

Kompas mengajukan gugatan PHK kepada Bambang di PHI, untuk mendapatkan pengesahan lembaga Perselisihan Industrial. Sebelumnya Bambang di PHK oleh Kompas dengan alasan menolak mutasi dan melakukan anarki. Karena Bambang Wisudo dinilai melanggar Peraturan Perusahaan (PP) akibat menolak di mutasi dan melakukan pembangkangan. Di PP tersebut disebutkan Kompas dapat memPHK secara langsung bila pekerja menolak perintah yang layak walaupun sudah diperingatkan.

Dalam gugatan pemutusan hubungan kerja yang didaftarkan 23 Mei lalu, Kompas menganggap Bambang berlebihan bila mengira PHK tersebut berkaitan dengan tindakannya sebagai pengurus PKK, sesuai Pasal 28 Undang-Undang 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja. Menurut penggugat mutasi karyawan merupakan hal yang biasa, sebagian bertujuan memperluas pengetahuan pekerjanya. Dan saat itu Bambang tidak sendiri, karena selain dirinya ada sekitar 51 pekerja yang dimutasi bersama-sama dirinya.

------------------------------------------------------------------------------------
Pasal 28 UU Serikat Pekerja

Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara:
a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;
-------------------------------------------------------------------------------------

Dalil Kompas ditepis Bambang. Menurut dia, mutasi yang berujung PHK terkait erat dengan aktivitasnya sebagai sekretaris PKK. Astuti Liestianingrum, pengacara Bambang, mengaku bisa membuktikan pandangan kliennya. “Mutasi terjadi karena dia aktif dalam urusan saham,” ujar Lies, panggilan akrabnya.

Lies melanjutkan, walaupun tidak ada bukti langsung, pembuktian dilakukan dengan penyampaian kronologi negosiasi kepemilikan 20 persen saham Kompas oleh karyawan dengan dokumen yang terkait negosiasi. Dari pengakuan Bambang, Ketua PKK dan beberapa anggotanya juga termasuk dalam rombongan yang dimutasi.

“Kesimpulan Disnaker (Dinas Tenaga Kerja-red) saat itu juga menyatakan ada kaitan antara aktivitas di SP dengan mutasi dan PHK” tutur Lies. Singkat cerita, Bambang sebagai Sekretaris PKK meminta hak karyawan atas 20 persen saham, kemudian Bambang yang terlibat dalam negosiasi soal saham dimutasi. Untuk membuktikan hal tersebut, akan diberikan kronologi serta surat-surat.

Memang, Bambang pernah mengaku dirinya agak kecewa terhadap anjuran Disnaker. "Surat ini tak menyinggung sama sekali upaya manajemen membungkam aktivitas serikat pekerja. Di balik tindakan manajemen memutasi dan memecat saya, ada upaya anti union atau union busting," ujarnya beberapa waktu lalu.

Kompas juga mendasarkan gugatan PHK pada Peraturan Perusahaannya. Padahal, PP ini baru disahkan tanggal 5 Maret 2007, dan berlaku sejak 1 November 2006 hingga Oktober 2008. Padahal PHK terhadap Bambang telah dilakukan sejak 8 Desember 2006.

PP yang berlaku surut ini, juga dipermasalahkan Bambang dalam eksepsinya. Dalam jawaban dipermasalahkan pemberlakuan PP yang tidak sesuai dengan Pasal 108 ayat 1 UU Ketenagakerjaan. UU ini menyatakan Perusahaan dengan sepuluh karyawan harus memiliki PP yang mulai berlaku sejak disahkan Meneteri atau pejabat yang ditunjuk.

Memang, dalam sidang mediasi di Disnaker, Kompas gagal menunjukkan PP yang digunakan untuk PHK. Sayang Kuasa Hukum Kompas Denny Wijaya, menolak berkomentar soal perkara ini, dengan berbagai alasan.

Selain berdasarkan PP, gugatan PHK Kompas juga didasarkan Pasal 1603 huruf o angka 3, 5 dan 10 Kitab Undang Undang-Hukum Perdata, UU Ketenagakerjaan dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tanpa menyebut pasal secara spesifik.(KML)

sumber: www.hukumonline.com
posted by KOMPAS @ 11:39 PM   0 comments
Tuesday, June 12, 2007
Kompas: Tak Ada Damai Buat Aktivis Serikat Buruh
Jakarta, Kompas Inside. Kompas akhirnya menolak semua opsi dari Sekretaris Serikat Pekerja Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK), Bambang Wisudo. Melalui kuasa hukumnya, Kompas seperti menegaskan tidak ada kata damai bagi aktivis serikat buruh.

Penegasan sikap manajemen Kompas itu didapatkan saat kuasa hukum Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja dan kuasa hukum Kompas, untuk kesekiankalinya bertemu di ruang hakim mediator, Selasa (12/6/2007).

Permintaan Bambang Wisudo agar pimpinan Kompas meminta maaf dan mempekerjakan dia kembali ke posisi semula, dalam pertemuan itu, ditolak mentah-mentah. Menurut kuasa hukum Kompas dari kantor pengacara Soenardi Richard Sekutu, manajemen Kompas sudah menegaskan tidak akan meminta maaf.

Seperti diberitakan sebelumnya, sesuai kebiasaan, hakim ketua menawarkan pada kedua pihak untuk melakukan mediasi. Karena kedua pihak tidak keberatan, maka hakim ketua langsung menunjuk satu hakim anggota, Pasudewi SH, untuk menjadi mediator.

Hakim ketua memberi waktu pada Penggugat dan Tergugat untuk melakukan perundingan selama 22 hari kerja. Bila tidak dicapai kesepakatan, maka sidang gugatan perdata akan kembali digelar dalam waktu dekat ini dengan agenda pembacaan gugatan.

Komite mendaftarkan gugatan perdatanya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (18/4/2007) lalu dan dicatat oleh panitera dengan No.149/PDT.G/2007/PN Jakarta Pusat.

Manajemen Kompas dinilai melakukan perbuatan melawan hukum karena melakukan mutasi, dan kemudian memberhentikan Wisudo, agar wartawan itu tidak dapat lagi melakukan aktivitasnya sebagai Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK).

Akibat perbuatan manajemen Kompas itu, Wisudo mengklaim, menderita kerugian materiil senilai Rp7,84 juta yang di antaranya adalah biaya komunikasi seluler yang dikeluarkan sejak Desember 2006, biaya pengajuan gugatan dan biaya transportasi untuk mengurus perkaranya.

Sedangkan kerugian immateriil yang diderita, di antaranya adalah ketidakpastian masa depan keluarga dan tercemarnya nama baik sebagai wartawan senior Kompas.

Dalam gugatannya, Wisudo menyatakan ganti rugi imateriil yang dituntutnya sebesar Rp500 miliar itu tidak akan membuat bangkrut Kompas, karena nilai itu hanya setara dengan keuntungan Kompas selama satu tahun.

Wisudo juga menjanjikan apabila gugatannya dikabulkan, ganti rugi imateriil itu akan dihibahkan untuk kemajuan pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia karyawan Kompas dan anak-anak Kompas yang akan dikelola oleh Serikat Pekerja Independen di Harian Kompas.

Selain itu, dana tersebut juga akan digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kapasitas organisasi serikat-serikat pekerja dan lembaga advokasi serikat pekerja di Indonesia.(*)
posted by KOMPAS @ 9:37 PM   0 comments
Friday, June 8, 2007
Ketika 'Lidah' Demokrasi Tak Lagi Demokratis


Kopi susu seadanya kami hidangkan lengkap dengan beberapa gorengan. Tak ada sambutan berlebih seperti kunjungan Bush. Layaknya seorang kawan bertandang, kami pun senang. Tak kami sambut ia dengan jasa membawa tas bawaannya.

Bukan, ia bukan presiden mahasiswa kampus kami yang butuh sekretaris dan uluran tangan penjinjing tas bak presiden sesungguhnya. Kawan kami pun lebih dari sekedar teman bicara. Tak terhitung berapa jasa yang ia berikan pada media tempatnya bernaung, apalagi sampai turun ke masyarakat untuk membantu.

Ia cuma seorang wartawan ‘biasa’. Dalam arti, biasa melebihi yang lain dalam mengembangkan profesionalisme jurnalistik. Bukan menambah pundi dari narasumber.

Bernama lengkap Phillipus Bambang Wisudo. Mas Bambang akrabnya disapa kawan – kawan. Perihal kedatangannya pun bukan membicarakan “soft power” dan “hidden agenda”. Hanya berusaha jujur atas apa yang ia terima.

Beberapa hari lalu, perilaku kekerasan sempat diterimanya oleh media terbesar di Indonesia; harian Kompas. Berujung pada pemecatan memang harga yang harus dibayarnya.

Ini adalah puncak akumulasi dari ketidakadilan terhadap wartawan Kompas yang berlangsung sejak puluhan tahun berdiri. Sebagian mungkin menganggap ini adalah problem internal media itu sendiri. Berbicara harian Kompas, media yang mempunyai kelompok pembacanya sendiri, sudah berbicara kepentingan orang banyak.

Banyak orang sudah berlangganan harian Kompas. Dengan alasan berita yang analitis, masyarakat pun rela merogoh kocek. Slogan Kompas "Amanat Hati Nurani Rakyat" kembali dipertanyakan perihal kejadian yang menimpa Bambang dan tiga rekannya yang lain.

Kompas pun menjadi dasar pijakan dari berbagai opini yang berkembang di masyarakat dan di media massa. Suara demokrasi begitu kuat terdengar. Fakta kemudian berbicara lain tatkala perilaku manajemen yang semena-mena bahkan cenderung ke arah intimidasi dan kekerasan pada wartawannya sendiri.

Saham. Menteri Penerangan era Soeharto pun sudah mewajibkan saham sebesar 20 persen kepada karyawan perusahaan pers. Lama tak berkabar khususnya sejak 1998, saham ini mulai diperbincangkan oleh Persatuan Karyawan Kompas (PKK). Kesepakatan pun tercapai. Selang beberapa minggu, pengurus kunci PKK dipindahkan, termasuk Bambang.

Perpindahannya pun tak tanggung-tanggung, ke Ambon. Tak puas, perlawanan pun dilakukan dengan pegangan UU No. 21/2000 tentang pelanggaran serikat pekerja. Tak ada yang boleh mengganggu aktivitas serikat pekerja apalagi dengan jalan mutasi, deportasi maupun intimidasi.

Usahanya menyebarkan informasi pada karyawan mendapat perilaku tidak menyenangkan dari manajemennya sendiri. Kekerasan dengan pitingan, penyeretan dan penyekapan pun dilakukan. Kisruh di tubuh internal ternyata merembet hingga jalur hukum. Atas nama pelanggaran UU No. 21/2000 dan perilaku kekerasan terhadap wartawan, Bambang melawan bersama rekan–rekan seprofesi.

Bambang sebenanya tidak berniat melawan Kompas dengan hegemoninya di masyarakat. Hanya menagih janji Kompas pada masyarakat. Apa mau dikata perlakuan kekerasan yang didapat membuatnya melawan medianya sendiri. Kompas mau tak mau disebut "lidah" demokrasi lantaran liputannya. Sang pemilik "lidah" nampaknya harus menelan ludahnya sendiri.

Banyak media tidak mem-blow up hal ini. “Karena seperti menunjuk muka sendiri!”, ujar Bambang. Perusahaan pers ternyata paling bermasalah dalam mengelola serikat pekerjanya sendiri. Saham 20 persen hanya mimpi dan tanpa adanya serikat pekerja hanya akan menambah rentetan masalah ketenagakerjaan.

Ironis, karena masalah tersebut sering tertimpa pada wartawan yang harusnya menyuarakan hak kaum tertindas. Hingga akhinya hak mereka sendiri tercabut oleh korporasi media raksasa tanpa payung hukum yang jelas.

Konsep Paulo Freire tentang memanusiakan manusia sedang dijalankan oleh Bambang. Ia sedang berusaha memanusiakan korporat media akan hak karyawan sekaligus menyadarkan bahwa wartawan dan karyawan adalah bagian dari sebuah perusahaan media.

Tanpa mereka, perusahaan tiada apa-apa.

sumber: http://pengukuraspal.multiply.com/
posted by KOMPAS @ 3:21 AM   0 comments
Tuesday, June 5, 2007
Rayakan HUT ke-42, Kompas Ajukan PHK Pertama


Jakarta, Kompas Inside. Pada tanggal 28 Juni depan, harian Kompas akan merayakan hari ulang tahun ke-42. Pada saat yang sama, manajemen Kompas merayakan dengan cara yang unik: mengajukan pemecatan pertama terhadap wartawannya, Bambang Wisudo.

Seperti diketahui, selama 42 tahun Kompas berdiri, baru kali inilah seorang wartawan dipecat.

Pengajuan pemecatan pertama terhadap wartawan Kompas itu dilakukan kedua kalinya di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Rencananya gugatan kedua pemecatan terhadap Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas itu akan digelar di PHI pada hari Kamis (7/6/2007) depan.

Bambang Wisudo mengaku menerima surat panggilan sidang itu melalui titipan kilat pekan lalu. Dalam gugatan itu, yang berubah adalah kuasa hukum. Kini kuasa hukum yang mengajukan gugatan pemecatan itu adalah Arie Lukman, SH dan Deny G Wijaya, SH. Keduanya berasal dari kantor hukum Soenardi Richard Sekutu.

Dalam gugatannya itu, manajemen Kompas lagi-lagi mengajukan argumentasi usang. Bambang, kata gugatan itu, dipecat karena menolak mutasi. Padahal, Dinas Tenaga Kerja DKI dalam surat anjuran yang dikeluarkan beberapa waktu lalu sudah menegaskan, mutasi itu tidak sah. Dan Bambang harus dipekerjakan kembali.

Sebab, saat dimutasi, Bambang Wisudo masih menjabat Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK). Sementara UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh telah menyatakan dengan tegas, bagi pengurus serikat pekerja dilarang dimutasi. Apalagi sampai dipecat.

Terlebih, sebelum keluar surat mutasi, Bambang dan pengurus PKK sempat mempertanyakan saham kolektif 20 persen karyawan Kompas.

Selain itu, mutasi terhadap Bambang Wisudo juga tidak punya landasan hukum. Sebab, mutasi itu keluar saat Peraturan Perusahaan yang dimiliki Kompas sudah kadaularsa. Maka, Disnaker DKI menganjurkan manajemen Kompas agar mempekerjakan kembali Bambang Wisudo.

Komisi IX DPR RI pun juga menyarankan hal serupa. Namun manajemen menolak anjuran Disnaker DKI dan Komisi IX DPR dan memilih maju ke PHI. Lucunya lagi, salah satu alasan pengajuan pemecatan ke PHI yang baru itu dilakukan atas dasar pengaduan Bambang ke Komisi IX DPR RI.

Hanya saja, ada yang tidak berubah dalam gugatan Kompas ke PHI. Kompas tetap mengajukan uang pesangon Rp 28,4 juta plus uang pergantian cuti sebesar Rp 4,1 juta. Jadi, manajemen Kompas cuma menyiapkan 'uang kerohiman' Rp 32,5 juta.

Bagi manajemen harian terbesar di negeri ini, barangkali inilah harga yang pantas bagi seorang pekerja pers seperti Bambang Wisudo yang sudah mengabdikan diri selama 14 tahun lebih.

Dan keputusan ini dilakukan manajemen di sela kesibukan perayaan ulang tahun Kompas ke-42. (tra/E3)
posted by KOMPAS @ 6:29 AM   0 comments
Previous Post
Archives
Powered by

Hit Counter
Hit Counter

Free Blogger Templates
BLOGGER

http://rpc.technorati.com/rpc/ping <