Anggota Koalisi
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Aliansi Buruh Menggugat/ABM (KASBI, SBSI 1992, SPOI, SBTPI, FNPBI, PPMI, PPMI 98, SBMSK, FSBMI, FSBI, SBMI, SPMI, FSPEK, SP PAR REF, FKBL Lampung, SSPA NTB, KB FAN Solo, AJI Jakarta, SBJ, FKSBT, FPBC, FBS Surabaya, PC KEP SPSI Karawang, GASPERMINDO, ALBUM Magelang, FKB Andalas), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, IKOHI, KONTRAS, PPR, Somasi-Unas, SPR, Arus Pelangi, GMS, LPM Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Praksis, Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ), FMKJ, Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), FSPI, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Repdem Jakarta, SPN, OPSI, SP LIATA, SPTN Blue Bird Grup
Links
Media
Tuesday, July 17, 2007
Resensi Buku: Menggugat Amanat Hati Nurani Rakyat

Home › VHR Corner › Cakrawala
13 Juli 2007 - 14:40 WIB
Rosmi Julitasari S


Buku Menggugat Amanat Hati Nurani Rakyat
Jurnalisme Kepiting Mulai Menjepit

Jurnalisme kepiting! itulah strategi harian Kompas agar tetap eksis bertahan. Kepribadian Kompas yang bergerak ala kepiting, mencoba langkah satu demi satu untuk mengetes seberapa jauh kekuasaan memberikan toleransi pada kebebasan pers. Jika aman, akan maju beberapa langkah. Jika kondisi tidak memungkinkan, kaki kepiting pun bisa mundur.

Sebutan jurnalisme kepiting ini kali pertama dicetuskan wartawan senior Rosihan Anwar. Selanjutnya, Ignatius Haryanto dalam situs pantau.or.id menyebutkan, awalnya Jakob Oetama, pendiri dan pemilik Kompas, tak senang dengan istilah tersebut. Namun, sejalan dengan berlalunya waktu, strategi ini yang membuat harian ini bertahan, melalui beberapa dekade dan rezim pemerintahan di Indonesia.

Sejak kali pertama terbit pada 28 Juni 1965, Kompas telah mengalami berbagai hambatan, termasuk tindakan represif terhadap dunia pers di Indonesia selama Orde Baru berkuasa. Namun hambatan tersebut tidak menghentikan harian ini meraih sukses. Hingga saat ini Kompas masih dikenal sebagai koran berskala nasional terbesar dengan oplah lebih dari 550.000 per hari.

Kesuksesan Kompas kemudian diikuti berbagai anak perusahaan yang dibangun di bawah atap Kelompok Kompas Gramedia. Majalah, stasiun radio, penerbitan, percetakan, hingga hotel dibangun untuk mendukung usaha inti, yaitu Kompas. Keberhasilan ini juga berdampak pada para pegawai yang bekerja pada Kelompok Kompas Gramedia. Kelompok perusahaan ini dikenal sebagai perusahaan yang memanjakan pegawainya. Mulai tunjangan kesehatan, pendidikan untuk anak-anak karyawan, bonus lebih dari tiga kali dalam satu tahun, piknik keluarga, pesta ulang tahun perusahaan secara besar-besaran, hingga tunjangan pensiun, membuat kelompok ini menjadi salah satu perusahaan yang dilirik para lulusan perguruan tinggi.

Kenyamanan yang diberikan perusahaan bisa jadi membuat para petinggi perusahaan, terutama Kompas Media Nusantara sebagai tulang punggung kelompok raksasa ini, menafikan perlunya serikat pekerja di perusahaan. Sudah beberapa kasus mencuat akibat niatan segelintir karyawan untuk mendirikan serikat pekerja.

-------------------------------------------------------------------------
Judul : Menggugat Amanat Hati Nurani Rakyat, Kompas VS Kompas
Penulis : Stanley, Satrio Arismunandar, dkk
190 Halaman
Cetakan Pertama Mei 2007
Penerbit: Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS)

----------------------------------------------------------------------------

Kasus pertama terjadi pada 1986, menimpa wartawan muda Kompas Albert Kuhon, Maruli Tobing, Irwan Julianto, dan Rikard Bagun. Mereka berniat membangun serikat pekerja di kalangan karyawan harian Kompas. Namun, sesuai dengan falsafah kepiting yang berhati-hati, keempat wartawan tersebut tidak dipecat. Mereka dikucilkan, tetap digaji namun tidak diberi tugas jurnalistik. Kuhon akhirnya mengundurkan diri setelah dua tahun dikucilkan, sedangkan tiga rekannya tetap bisa bekerja di Kompas.

Pemberangusan embrio serikat pekerja ini seakan-akan terkubur begitu saja. Praktik senada menimpa wartawan Satrio Arismunandar dan Dhea Perkasha Yuda. Kedua wartawan yang ikut menandatangani Deklarasi Sirnagalih dan menjadi pengurus Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) ini dipaksa mengundurkan diri. Namun pemberangusan ini juga tidak bergema.

Suasana adem ayem itu mendadak buyar. Desember tahun lalu, mencuat kasus serupa di harian Kompas. P Bambang Wisudo, wartawan senior yang telah bekerja di harian itu sejak 1990, dipecat akibat berinisiatif mendirikan Perkumpulan Karyawan Kompas yang kemudian menuntut 20% saham perusahaan untuk karyawan. Pengucilan seperti menimpa Albert Kuhon dan Satrio Arismunandar pun dialami Bambang Wisudo. Bahkan, pihak perusahaan menyekap Bambang Wisudo selama beberapa jam, hingga kemudian dibebaskan.

Kasus yang menimpa Bambang Wisudo ini mengejutkan banyak pihak. Sebab, PT Kompas Media Nusantara termasuk perusahaan yang jarang sekali memecat karyawan. Seandainya terjadi, yang dilakukan adalah pemecatan secara halus, dilakukan dengan golden shake hands. Karyawan yang dipecat diminta mengundurkan diri dengan pesangon yang cukup besar.

Perjuangan Bambang Wisudo dan gugatan melawan harian Kompas ini kemudian dituangkan dalam buku Menggugat Amanat Hati Nurani Rakyat. "Ketika Kompas Tak Peduli Lagi Pada Citranya" adalah kalimat pertama buku yang diterbitkan Komite Anti-Pemberangusan Serikat Pekerja (disingkat Kompas) ini.

Gugatan Bambang Wisudo tidak tanggung-tanggung: Rp 500 miliar! Nilai gugatan sebesar itu tentu saja membuat kebat-kebit pemilik Kompas, karena bisa menyita seluruh aset harian beroplah besar ini. Namun, Kompas telah mempersiapkan strategi menghadapi gugatan ini. Saat diwawancarai VHR Senin 9 Juli 2007, Bambang Wisudo mengatakan, PT Kompas Media Nusantara telah mengajukan gugatan balik untuk menyita aset dia berupa rumah di kawasan Pamulang dan rekening pribadinya.

Buku Menggugat Amanat Hati Nurani Rakyat tidak hanya menyajikan gugatan Bambang Wisudo. Beberapa tulisan mengupas kasus ini dan seluruhnya berpihak pada Bambang Wisudo. Surya Tjandra, Satrio Arismunandar, Liston P Siregar, Ignatius Haryanto, Stanley, Coen Husain Pontoh, dan Bambang Wisudo sendiri memberikan komentar.

Terlepas dari beratnya membaca buku ini (karena terlalu banyak salah ketik), ada banyak hal yang bisa dipetik. Kesadaran perlunya serikat pekerja dan terkuaknya sisi gelap institusi media terbesar di Indonesia, memberikan wawasan tersendiri. Mungkin PT Kompas Media Nusantara akan menerbitkan buku menjawab gugatan ini, sama seperti kepiting yang membalas dengan capitan saat merasa disakiti. (E4)
posted by KOMPAS @ 4:19 AM   0 comments
Thursday, July 12, 2007
Kurang Solidaritas, Pekerja Media Kian Ditindas
Home > VHR News > Berita
4 JULI 2007 - 10:28 WIB
Tri Wibowo Santoso

Jakarta - Lemahnya posisi tawar serikat pekerja media menghadapi pemecatan sepihak oleh pengusaha disebabkan minimnya rasa solidaritas sesama pekerja. Eksklusivitas profesi jurnalis dengan posisi pekerja lain pada perusahaan media sudah saatnya dipangkas.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Institut Arus Studi Informasi, Yoseph Adi Prasetyo, dalam acara bedah buku Menggugat Amanat Hati Nurani Rakyat, Selasa (3/7).

Nasib pekerja media saat ini semakin memprihatinkan. "Serikat pekerja media yang mampu mengakomodir kepentingan karyawaan saat ini tidak ada. Karena tidak ada semangat solidaritas," kata Stanley, panggilan akrab Yoseph Adi Prasetyo.

Menurut komisioner Komnas HAM yang baru ini, ketidakmampuan karyawan membentuk serikat pekerja juga disebabkan tekanan dari pemilik modal dalam menghambat aspirasi pekerja dengan ancaman pemutusan hubungan kerja tanpa pesangon.

Hambatan menyejahterakan pekerja media juga terletak pada eksklusivitas jurnalis yang memisahkan kepentingan dengan bagian percetakan, sehingga hal itu kerap membuat ketidakharmonisan di antara para pekerja.

Stanley yang juga pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengakui organisasi profesi kewartawanan itu sekarang tidak memilki kemampuan untuk menyelesaikan kasus-kasus pemecatan sepihak yang melibatkan para jurnalis. Dia mencontohkan kasus pemecatan tanpa pesangon wartawan Kompas Bambang Wisudo. (E1)
posted by KOMPAS @ 8:29 PM   0 comments
Monday, July 2, 2007
Kompas Dituntut Pulihkan Status Bambang
Home › VHR News › Berita
25 Juni 2007 - 18:4 WIB
Indah Nurmasari

Jakarta - PT Kompas Media Nusantara diminta memulihkan kembali status Bambang Wisudo sebagai wartawan. Bambang dipecat karena keterlibatannya dalam serikat pekerja di perusahaan itu.

Hal itu diungkapkan kuasa hukum Bambang Wisudo, Hendrayana, dalam sidang pembacaan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (25/6).

Dalam pembacaan gugatan itu Hendrayana meminta manajeman Kompas mengembalikan posisi Bambang Wisudo sebagai wartawan bidang pendidikan dan meminta maaf secara terbuka melalui media massa selama satu minggu berturut-turut, untuk merehabilitasi nama baik Bambang Wisudo sebagai wartawan.

"Memohon pada majelis hakim untuk memerintahkan para tergugat memulihkan kembali status penggugat seperti semula sebagai wartawan untuk posisi reporter utama bidang pendidikan. Dan menghukum para tergugat meminta maaf secara terbuka," kata Hendrayana.

Hendrayana mengatakan, PT Kompas Media Nusantara telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga menimbulkan kerugian bagi Bambang Wisudo. Kerugian itu terjadi sejak dikeluarkannya surat pemecatan pada 9 Desember 2006, berupa larangan melakukan kegiatan organisasi serikat pekerja serta tidak dapat melakukan tugas-tugas kewartawanan.

Menurut Hendrayana, surat pemecatan itu bertentangan dengan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat dilakukan apabila dalam melakukan pekerjaan pekerja membuat kesalahan baik dengan sengaja maupun karena kealpaan. Sedangkan Bambang Wisudo tidak melakukan kesalahan apa pun dalam menjalankan pekerjaannya.

Para tergugat dalam kasus ini adalah PT Kompas Media Nusantara, Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama, dan Pemimpin Redaksi Harian Kompas Suryo Pratomo.

Sebelum sidang dimulai puluhan pendukung Bambang Wisudo berkumpul di Pengadilan Negeri Jakarat Pusat dan meluncurkan buku Menggugat Amanat Hati Nurani Rakyat. Dalam peluncuran buku itu digelar diskusi dengan tema menolak upaya pemberangusan serikat pekerja di perusahaan media. (E1)
posted by KOMPAS @ 10:58 PM   0 comments
Previous Post
Archives
Powered by

Hit Counter
Hit Counter

Free Blogger Templates
BLOGGER

http://rpc.technorati.com/rpc/ping <