Anggota Koalisi
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Aliansi Buruh Menggugat/ABM (KASBI, SBSI 1992, SPOI, SBTPI, FNPBI, PPMI, PPMI 98, SBMSK, FSBMI, FSBI, SBMI, SPMI, FSPEK, SP PAR REF, FKBL Lampung, SSPA NTB, KB FAN Solo, AJI Jakarta, SBJ, FKSBT, FPBC, FBS Surabaya, PC KEP SPSI Karawang, GASPERMINDO, ALBUM Magelang, FKB Andalas), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, IKOHI, KONTRAS, PPR, Somasi-Unas, SPR, Arus Pelangi, GMS, LPM Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Praksis, Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ), FMKJ, Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), FSPI, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Repdem Jakarta, SPN, OPSI, SP LIATA, SPTN Blue Bird Grup
Links
Media
Monday, December 10, 2007
Surga Bernama Kompas
Surga Bernama Kompas
Oleh: P. Bambang Wisudo

Banyak orang luar melihat Kompas dari jauh tidak ubahnya sebuah surga. Setahun lalu saya ditendang dari surga itu. Saya dibawa paksa ke pos satpam, disekap selama dua jam, lalu dipecat. Ketika Dinas Tenaga Kerja mengeluarkan rekomendasi agar saya dipekerjakan kembali, seorang budayawan Kompas Putu Fajar Arcana mengancam akan melempar saya keluar dari jendela bila saya balik ke Kompas.

Saya tidak pernah bermasalah dengan wartawan, cerpenis, budayawan berinisial Can itu. Tapi kalau saya ingat-ingat, mungkin dia ikut tersinggung ketika saya mengirim sms ke lima wartawan senior Kompas berbunyi “Hidup Bob Hasan”. Pagi itu saya melihat Kompas. Sebagai wartawan Kompas saya begitu frustrasi ketika melihat di halaman satu Kompas ada sebuah feature dengan foto Bob Hassan dengan pemimpin redaksi saya, Suryopratomo. Salah satu penulisnya adalah Can. Belakangan sms itu bocor ke Suryopratomo.

Kalau saya melihat kembali foto peristiwa 8 Desember 2006 sore, ketika saya mengucapkan kata-kata terakhir sebelum meninggalkan halaman Palmerah, saya melihat sejumlah wartawan Kompas menangis. Termasuk Efix Mulyadi dan Maria Hartiningsih (MH). Isteri saya ketika memperoleh kabar saya disekap, datang ke Palmerah, berusaha menemui saya tetapi gagal. Ia bisa masuk ke halaman Kompas karena mengaku teman MH. Menurut cerita isteri saya, MH terus menangis selama menemui isteri saya. Saya juga hampir menangis karena MH menangis. Saya agak kaget ketika mendengar kabar bahwa MH dan Efix menjadi pelopor penandatanganan ”Seruan Wartawan Kompas”. Mereka kawan-kawan saya yang baik, termasuk Bre Redana. Akan tetapi saya sangat memahami posisi MH meski isteri saya bilang, tidak bisa seseorang memiliki dua sikap yang bertentangan sekaligus. Saya secara pribadi pernah bertemu dengan MH dan ia menjelaskan posisinya dalam seruan itu.

Efix adalah guru saya dalam menulis. Ia penulis yang bagus. Bre saya ingat ketika saya iseng-iseng mengusulkan untuk mewawancarai Arbi Sanit beberapa saat sebelum gerakan anti Soeharto muncul. Waktu itu saya mengusulkan untuk menyentil mahasiswa yang adem ayem dengan membuat wawancara dengan Arbi Sanit yang tentang keberhasilan depolitisasi kampus melalui NKK/BKK. Setelah berita itu dimuat saya didatangi ST Sularto, sekarang wakil pemimpin umum Kompas. Sts menanyakan kenapa saya mewawancara Arbi Sanit karena Arbi dicekal Kompas. Saya bilang tidak tahu, karena Arbi pernah muncul di Kompas. Saya dan Bre tersenyum-senyum setelah Sts pergi.

Bre yang saya kenal adalah tokoh kiri di Kompas. Mungkin lebih dari sekedar sosialis. Ia pernah diselamatkan dengan ditugaskan ke Aceh dan disekolahkan ke Inggris. Namanya pun diganti alias. Bre Redana tidak lain adalah Don Sabdono. Tapi biasalah orang berubah. Kompas punya sejarah sosialis. Akan tetapi ada joke tentang ideologi-ideologi: kepala sosialis, perut kapitalis, bawah perut liberalis. Mungkin Bre orang yang bertipe kepala sosialis, kantong kapitalis. Ia banyak berubah setelah kawin.

Kalau melihat foto-foto setelah saya menerima surat pemecatan, jelas tangisan para wartawan Kompas tidaklah dibuat-buat. Jelas bukan air mata buaya. Jadi reaksi pertama itu lebih murni daripada seruan yang dibuat kemudian.

Saya pernah mempunyai hubungan yang unik, baik dengan Kompas maupun Jakob Oetama. Saya menginjakkan kaki pertama kali di Kompas ketika mencari klipping di Pusat Informasi Kompas. Saya tidak kenal siapa-siapa, tapi satpam pada waktu itu ramah-ramah. Saya disapa seorang satpam, ngobrol-ngobrol, dan ia bilang siapa tahu suatu saat saya kerja di Kompas. Saya memang kemudian kerja di Kompas. Dan di tangan satpam-satpam pula saya dihina dan ditendang dari Kompas.

Baru dua bulan diangkat jadi karyawan Kompas, Soeharto membredel mingguan Tempo, Detik, dan Editor. Waktu itu saya masih wartawan culun dan penurut di Kompas. Saya tidak punya latar belakang aktivis. Akan tetapi saya merasa harus berbuat sesuatu. Teman saya waktu itu adalah Salomo. Satrio dan Yudha bagi saya waktu itu sudah jauh di awang-awang. Saya waktu itu hanya dapat kontak Santoso. Ia datang ke Palmerah, lalu kami ngobrol-ngobrol. Dari situlah saya terlibat dalam aksi-aksi antipembredelan. Saya berusaha membujuk wartawan Kompas untuk ikut aksi tetapi itu tidak mudah. Mereka bilang, apakah bila Kompas yang dibredel, wartawan Tempo akan turun ke jalan. Mereka bilang ketika Kompas dapat musibah Monitor dibredel, Tempo justru menghabisi KKG. Ternyata wartawan Kompas akhirnya ikut solidaritas turun ke jalan.

Saya ikut mengedarkan petisi antipembredelan di Kompas. Yang tandatangan lumayan banyak. Kalau tidak salah sekitar 120 tanda tangan. Dari KKG total ada sekitar 260 tanda tangan. Mayoritas dari keseluruhan penandatangan. Ketika ada yang menempel list tanda tangan di meja absen lantai tiga, kami sempat khawatir. Benar saja, Harmoko menelpon pemred. Apa maksud Kompas?

Kejadian sesudahnya, kami dikumpulkan untuk mendengar wejangan Pak Jakob. Satu hal yang saya ingat waktu itu, JO bilang bahwa tugas wartawan adalah menulis, bukan aksi. Ini larangan halus dari JO. Saya sempat bingung juga, karena kesepakatan malam sebelumnya. Di kos-kosan Andreas Harsono, di perkampungan kumuh di belakang Kompas, kami sepakat bahwa semua yang hadir dalam rapat harus datang dalam aksi dua hari berikutnya di Dewan Pers. Aksi tagih janji. Karena sudah duluan ada kesepakatan, saya memutuskan tetap ikut aksi.

Saat aksi tagih janji ke Dewan Pers, beberapa wartawan Kompas ikut. Tiba-tiba saja ada sebuah mobil BMW keluar. Wah, JO. Kata saya dalam hati. Tidak lama kemudian lampu mobil BMW JO ditendang Jopie Lasut. Pecah. Sore harinya JO menelpon Mas Nugroho (setelah gagal di TV7, sekarang direktur humas KKG). Ia bertanya mengapa saya ada di situ. Mas Nug jawab bahwa dia juga ada di situ. Selamatlah saya sebagai seorang wartawan baru.

Peristiwa pembredelan dan rangkaian sesudahnya mengubah saya dari wartawan pekerja, penurut, menjadi wartawan yang ingin memperjuangkan sesuatu. Tapi di titik itulah perlahan tapi pasti membedakan nilai-nilai yang wajar sebagai kebenaran berlawanan dengan “kultur” Kompas. Saya pernah dikucilkan ketika wawancara Coen Husein Pontoh dengan saya dikutip di Pantau. Dan sejak saya merencanakan mendirikan serikat pekerja sampai keluar dari halaman Palmerah, sering saya berkonflik dengan JO dan bos-bos Kompas.

Saya punya banyak musuh tetapi sekaligus banyak teman di Kompas. Saya dimusuhi oleh seorang wartawan yang jadi juragan, suka berbaik-baik dengan konglomerat dan pejabat dengan tulisan-tulisan propertinya. Saya dimusuhi oleh wartawan yang bekerja juga sebagai aparat intel. Dan itu dilindungi oleh JO. Pada waktu peristiwa 27 Juli, intel itu mau memaksa JO agar ia menggantikan posisi kepala desk politik. Almarhum Sjafei (Iie), pernah menggugat itu dalam rapat besar dengan JO, jawabnya kira-kira ”You tahulah ...”.

Saya juga dimusuhi oleh seorang yang diadukan karena dugaan korupsi dana kemanusiaan Kompas. Saya dimusuhi oleh seorang wakil kepala biro yang dilaporkan melakukan sexual assault terhadap seorang reporter perempuan. Justru reporter perempuan itulah yang dipindah duluan, bukan wakil kepala biro itu. Sekarang dia menjadi salah satu pengurus kunci Perkumpulan Karyawan Kompas boneka Suryopratomo.

Saya dan JO ibarat ”benci tapi rindu”. Hubungan saya dengan JO baik-baik saja. Lama saya menghindar ketemu JO setelah saham karyawan Kompas diambil sepihak oleh perusahaan. Tiba-tiba suatu minggu sore saya ditelepon St Sularto. Ia bilang JO menanggap saya berprestasi sehingga saya mendapat kenaikan gaji khusus dan jatah mobil kantor. Saya menanggapi dingin-dingin saja. Hadiah itu justru membuat saya gelisah karena ini berarti penaklukan. Kediaman saya mungkin diartikan oleh JO sebagai ”pertobatan”. Sejak itulah saya bergerak lagi, ada agenda saham karyawan yang belum terselesaikan.

Ketika pengurus PKK mensomasi JO, mulai saat itu pula hubungan pribadi saya dengan JO retak. Bagi saya tidak soal, karena ini bukan urusan personal. JO sangat sakit hati karena somasi itu. Ia menangis. Ia merasa kami ini penumpang bus, kok macam-macam. Ketika akhirnya pengurus bisa bertemu dengan JO, suasananya tegang. JO bilang bahwa pertemuan itu merupakan pertemuan antara ”bapak dan anak”. Syahnan Rangkuti, ketua PKK, orang Batak. Ia langsung memotong, ”Maaf Pak, tidak ada kesepakatan pertemuan ini merupakan pertemuan antara anak dan bapak.”

JO merah padam. Ia menjawab, ”Jadi bung tidak mau disebut anak. Kalau begitu maaf ... maaf ... maaf." Pertemuan itu diakhiri jabat tangan. Dingin. Sularto lalu mendekati Syahnan. Ia bilang bahwa jawaban Syahnan sangat kasar bagi orang Jawa. ”Tapi saya bukan orang Jawa ...,” kata Syahnan.

Sebelum ontran-ontran itu, sebenarnya di kalangan pimpinan Kompas-Gramedia mulai ada perpecahan. Editor saya, Agnes, dipromosikan jadi manajer Diklat. Dalam suatu rapat diklat, semua pimpinan Kompas hadir, termasuk JO. Setelah JO pergi, rapat dipimpin P Swantoro. Rapat itu menyimpulkan perlu ada perubahan struktural di Kompas. Swantoro menghadap JO, ia bilang bahwa Suryopratomo harus diganti. Jawaban JO kira-kira begini, Suryopratomo kan saya yang milih. Kalau saya yang nyopot, saya sendiri yang malu.

Ketika Suryopratomo ulangtahun, Myrna mengirim ucapan ulangtahun pada Suryopratomo. Akan tetapi malah dijawab oleh Suryopratomo, kalau mengganti orang jangan di tengah masa jabatan.

Agung Adiprasetyo, CEO yang baru, berusaha memotong geng Suryopratomo di KKG. Beberapa majalah ditutup. Beberapa jabatan suami Myrna dicopot. Kabar yang sempat beredar Suryopratomo sempat tidak boleh berhubungan langsung dengan JO kecuali melalui Agung. Swantoro, Agung, August Parengkuan berusaha membentengi gerakan Suryopratomo. Peta itu berubah ketika PKK mensomasi JO. Mereka bersatu kembali seolah-olah mau menghadapi ”musuh dari luar”.

Pada waktu PKK mau bertemu JO, setelah kami mensomasi, ada seorang pengurus mengusulkan agar mengajukan syarat suryopratomo dicopot dari pemimpin redaksi. Saya tidak setuju. Menurut pendapat saya, itu tidak proporsional. Saya mengusulkan agar PKK mengajukan syarat, perundingan tidak melibatkan Suryopratomo. Dan itu disetujui JO. Itulah mengapa Suryopratomo getol mau membalas dendam kepada pengurus PKK. Salah satu hal yang mendorong kami berunding damai adalah harapan bahwa bila kesepakatan tercapai, ada peluang Suryopratomo tergeser. Ternyata tidak.

Jaringan Suryopratomo memang sangat kuat. Di redaksi ia mempunyai teman-teman seperti Myrna Ratna, Diah Marsidi, dll yang disatukan dalam geng makan siang. Lalu di lapis lain ada Agus Hermawan, Abun Sanda, Andi Suruji, Nugroho. Jaringan ini tidak bisa dipisahkan dalam kategorisasi agama. Kader-kader Katolik-Kristen umumnya memilih bersikap oportunis. Tri Agung Kristanto dalam krisis tiba-tiba saja jadi mesin Suryopratomo. Sampai sekarang saya belum paham mengapa JO membela Suryopratomo? Ada kabar JO punya hutang budi personal pada Suryopratomo.

Ketika saya ditendang keluar dari Kompas, PKK dijinakkan, boleh saja saya dibilang gagal dalam membangun serikat buruh di Kompas. Kegagalan dan sukses merupakan bagian dari gerakan. Kegagalan boleh jadi mengawali sukses yang lebih besar. Gerakan buruh di Kompas tidak mati. Suatu saat akan bangkit lagi. Di tengah oportunisme, masih ada saja kritisisme. Kritisisme itu memang tidak datang dari orang-orang seperti Hariadi Saptono atau Banu Astono yang pernah membentuk dewan jenderal ketika krisis tengah terjadi. Saya pernah ngobrol berempat dengan Hariadi Saptono di sebuah cafe di Senayan. Ia melontarkan semua kekesalan, termasuk mempertanyakan mengapa JO sangat percaya pada Sularto yang ia bilang bodoh. Ia bercerita ditelepon JO, dikerjai Suryopratomo. Tapi ia pula yang tidak melakukan pembelaan apapun, bahkan tidak memberi tahu saya, ketika saya akan dibuang ke Ambon.

Hariadi Saptono pernah bermusuhan dengan Tri Agung, ketika ia jadi koresponden Surya dan berkantor di Kompas Yogya. Ketika Tri Agung sedang mengetik di komputer, listrik dimatikan dari meteran. Lama setelah itu saya ketemu dengan seorang wartawan muda Kompas Semarang di Gramedia Matraman. Ia bercerita, ia harus jongkok ketika Hariadi Saptono mengedit beritanya. Wartawan tidak boleh pulang sebelum editor selesai mengedit. Tidak ada libur, tujuh hari kerja. Saya bercerita kepada seorang wartawan di Jakarta dan akhirnya kabar itu meluas ke mana-mana. Hariadi sempat diinterogasi di Jakarta, ia ganti naik pitam pada wartawan bersangkutan. Tiba-tiba ia diangkat jadi editor humaniora. Saya tidak setuju ketika sejumlah anggota desk Humaniora mau membuat petisi menuntut pencopotan Hariadi Saptono. Ia tidak pernah akur dengan wakil editor saya, Kennedy Nurhan. Sekarang Desk humaniora dipimpin oleh orang yang tidak punya pengalaman reportasi pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, sains yang menjadi tanggung jawab desk itu.

Ada banyak cerita tentang Kompas dan orang-orangnya. Kompas bukanlah surga. JO bagi yang menjadi dewa di kerajaan Kompas-Gramedia, bagi saya adalah orang biasa. Hanya dua orang yang tidak mau berebut salaman ketika JO datang ke redaksi. Saya dan Salomo. Kami berdua hanya mendatangi JO kalau dipanggil. Biasanya JO justru yang datang ke meja saya. Bagi saya itu tidak ada istimewanya. JO mungkin pada awalnya orang baik yang mempunyai cita-cita baik. Akan tetapi ia menciptakan monster yang bernama kapitalisme media. Concern Kompas saat ini bukanlah mengibarkan bendera jurnalisme yang baik tetapi bagaimana terus menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Kesejahteraan karyawan Kompas terus merosot. Lima tahun lagi, saya perkirakan, gaji wartawan menengah Kompas akan berada di bawah pendapatan guru SD negeri di Jakarta.

Saya tidak lagi digaji oleh Kompas. Akan tetapi saya bisa survive meski saya belum kembali ke dunia jurnalistik. Saya masih bisa hidup dengan melakukan sesuatu bersama orang-orang yang ingat pada saya. Saya tetap bisa memainkan peran dalam dunia pendidikan, sekalipun itu kecil, meskipun tidak melalui tulisan-tulisan di Kompas. Saya berkali-kali ditawari untuk bertemu JO. Semua rencana itu mental karena saya tidak mau berbicara angka. Saya hanya minta bahwa JO minta maaf secara pribadi. Lisan, pertelepon juga cukup. Lain-lainnya belakangan. Namun syarat itu rupanya begitu berat bagi JO.

Saya berharap kasasi saya menang dan saya akan bekerja lagi di Kompas, membangun kembali serikat buruh di Kompas-Gramedia sebelum badai datang. Kalaupun saya dikalahkan, itu juga tidak apa-apa. Seperti Ontosoroh bilang, kalah-menang tidak masalah yang penting melawan dengan sebaik-baiknya.

Saya berterima kasih pada kawan-kawan. Saya akan sangat berterima kasih apabila dalam peringatan setahun penyekapan dan pemecatan saya, kawan-kawan bisa ikut mengantarkan saya menyerahkan surat ke Pak Jakob di rumahnya, Jl Sriwijaya 40 Jakarta Selatan, Senin 10 Desember jam 14.00.

Salam Perjuangan
P. Bambang Wisudo


Baca juga:

Kompas: Amanat Hati Nurani Karyawan?


posted by KOMPAS @ 7:31 PM   0 comments
Previous Post
Archives
Powered by

Hit Counter
Hit Counter

Free Blogger Templates
BLOGGER

http://rpc.technorati.com/rpc/ping <