Anggota Koalisi
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Aliansi Buruh Menggugat/ABM (KASBI, SBSI 1992, SPOI, SBTPI, FNPBI, PPMI, PPMI 98, SBMSK, FSBMI, FSBI, SBMI, SPMI, FSPEK, SP PAR REF, FKBL Lampung, SSPA NTB, KB FAN Solo, AJI Jakarta, SBJ, FKSBT, FPBC, FBS Surabaya, PC KEP SPSI Karawang, GASPERMINDO, ALBUM Magelang, FKB Andalas), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, IKOHI, KONTRAS, PPR, Somasi-Unas, SPR, Arus Pelangi, GMS, LPM Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Praksis, Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ), FMKJ, Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), FSPI, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Repdem Jakarta, SPN, OPSI, SP LIATA, SPTN Blue Bird Grup
Links
Media
Thursday, December 14, 2006
Jacob Oetama Cs Berangus Serikat Pekerja Kompas
Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja
(KOMPAS)

Sekretariat: Jl Prof Dr Soepomo, Komplek BIER No 1A, Menteng Dalam, Jakarta
081310274674 (Edy Haryadi), 081585160177 (Sholeh Ali),
08155517333 (Winuranto Adhi), 0811932683 (Bambang Wisudo)

PERNYATAAN SIKAP

Jacob Oetama Cs Berangus Serikat Pekerja Kompas
Penyanderaan, penganiayaan, dan sikap antiserikat pekerja (anti-union) terhadap pekerja pers, kembali terjadi. Ironisnya, peristiwa itu terjadi di halaman kantor Harian Kompas, Jumat (8/12/2006).

Harian Kompas yang selama ini mengklaim pengemban “Amanat Hati Nurani Rakyat” dan memiliki jargon filosofis “Humanisme Transendental,” kemarin petang telah membunuh seluruh slogan yang selalu ditampilkan di halaman depannya sekaligus menggorok filosofi yang mereka buat sendiri.

Betapa tidak. Kemarin petang, pada pukul 16.30 WIB, P Bambang Wisudo, wartawan senior Kompas sekaligus Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK), serikat pekerja harian itu yang terdaftar secara sah di Depnakertrans, dibekuk oleh satpam. Ia ditangkap saat tengah menjalankan tugasnya sebagai aktivis serikat pekerja media yang dimiliki konglomerat Jacob Oetama.

Bambang Wisudo mendadak dibekuk, dipiting, diseret paksa, dan ditenteng sebelum akhirnya ditahan dan disandera oleh Satpam Kompas selama beberapa jam di pos satpam kantor perusahaan itu, di Jalan Palmerah Selatan 26-28, Jakarta 10270.

Ia dibekuk, ditangkap, diseret secara paksa dan diintimidasi dengan alasan para satpam tadi menjalankan perintah atasan. Bambang ditangkap karena membagikan pamflet berisi sikap antipemberangusan serikat pekerja pers di tempat dia bekerja.

Dalam pamfletnya, Bambang menyatakan sikap menolak dimutasi ke Ambon per 1 Desember 2006. Ia menduga mutasi itu karena aktivitasnya beberapa pekan sebelumnya sebagai pengurus PKK yang mempertanyakan nasib saham kolektif karyawan sebesar 20 persen ke manajemen. Ia menolak mutasi itu karena sebagai aktivis serikat pekerja ia dilindungi oleh Undang-Undang No 21/2000 tentang Serikat Pekerja.

Dalam UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja secara tegas sudah disebutkan, aktivis pekerja dilarang dimutasi, diintimidasi, apalagi di-PHK karena kegiatannya sebagai aktivis serikat pekerja pers. Dan siapapun yang melakukan pelanggaran ini dapat dihukum 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp 500 juta. Nah mutasi Bambang Wisudo jelas memiliki motif karena ia sebagai pengurus serikat pekerja mempertanyakan kejelasan nasib 20 persen saham karyawan yang selama ini tidak pernah dijelaskan manajemen Kompas.

Perjuangan Bambang Wisudo dan pengurus PKK lainnya beberapa pekan lalu akhirnya berbuah. Setelah melalui negoisasi alot, hak saham kolektif karyawan sebesar 20 persen yang diwariskan oleh PK Ojong pada tahun 1980-an dan diperkuat oleh Peraturan Menteri Penerangan, akhirnya dipenuhi oleh manajemen.
Manajemen Kompas menyetujui saham kolektif karyawan sebesar 20 persen itu akan dibagikan sebagai deviden kepada seluruh karyawan. Bayangkan saja, pendapatan iklan Kompas selama satu tahun menurut riset AC Nielsen besarnya hampir mencapai Rp 1 triliun. Dengan demikian setidaknya karyawan Kompas berhak menikmati deviden hampir Rp 200 miliar setiap tahunnya.

Namun beberapa pekan setelah kesepakatan itu disepakati, manajemen mulai melakukan tindakan balasan. Bambang Wisudo diputuskan untuk dimutasi. Manajemen beralasan, ini adalah mutasi biasa. Lucunya, semula disebutkan keputusan mutasi akan dilakukan setelah masa kepengurusan Bambang Wisudo sebagai Sekretaris PKK berakhir, Februari 2007. Tapi pada Surat Keputusan yang ditanda tangani St Sularto sebagai Wakil Pimpinan Umum, mutasi itu mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Desember 2006.

Wajar jika Bambang Wisudo langsung menolak. Karena ia merasa mutasi itu bukan mutasi biasa, tapi sebagai sebuah bagian dari upaya manajemen untuk memberangus serikat pekerja. Dan sebagai pendiri PKK dan Sekretaris PKK, Bambang agaknya dianggap sebagai ”dalang” yang harus dihabisi.

Untuk itu, hari Jumat kemarin ia membagikan leaflet ke karyawan Kompas yang isinya menyatakan dia menolak mutasi. Tapi yang terjadi, ia malah dibekuk, diperlakukan kasar, diusung secara paksa oleh satpam atas instruksi atasan.

Di dalam pos satpam, Bambang Wisudo langsung diinterogasi. Ia diinterogasi oleh satpam di hadapan Bambang Sukartiono (Manajer SDM Kompas) dan Trias Kuncahyono (Redaktur Pelaksana Kompas). Bambang dipaksa menjawab pertanyaan oleh Kiraman Sinambela, Wakil Kepala Satpam Harian Kompas.

Saat Bambang menolak interogasi, Sinambela langsung mengancam, ”Kamu jawab sekarang atau setahun lagi terserah.” Karena tak mau menjawab Bambang tak boleh pergi ke mana-mana. Untuk ke kamar kecil pun ia dikawal dua orang satpam. Bambang juga dilarang untuk menemui tim advokasi yang sudah tiba pada pukul 17.30.

Karena tak bisa ditemui, sempat terjadi perang mulut antara satpam dengan tim advokasi yang akan menemui Bambang Wisudo. Satpam tetap bersikeras Bambang Wisudo tak boleh ditemui. Total ia disekap selama dua jam.

”Kalau mau lapor ke polisi silahkan,” tantang salah seorang staf PSDM Kompas, Suharno. Tapi setelah tim advokasi mulai menghubungi polisi di Polsek Tanah Abang untuk mengadukan penyanderaan, satpam Kompas mulai melunak. Sementara seorang satpam bernama Markus ke tim advokasi menyatakan, mereka hanya menjalankan perintah atasan.

Akhirnya Bambang Wisudo dilepaskan pada pukul 19.00 WIB. Ia kemudian dibawa menemui Pemred Kompas Suryopratomo untuk menerima surat pemecatan. Dengan demikian semakin jelaslah, mutasi tadi hanyalah prolog dari upaya PHK dan menghabisi aktivis serikat pekerja.

Dengan fakta-fakta di atas, kami yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (Kompas) menyatakan:

1.Mengutuk kekerasan dan penyanderaan yang dilakukan manajemen Kompas terhadap Bambang Wisudo.

2.Mengutuk tindakan anti demokrasi dan anti serikat pekerja yang dilakukan manajemen Kompas terhadap Bambang Wisudo.

3. Mendesak aparat kepolisian untuk mengusut dan menangkap pelaku kekerasan terhadap Bambang Wisudo, termasuk para pimpinan Kompas yang memberi instruksi aksi kekerasan tersebut

4. Menolak PHK sepihak yang dilakukan manajemen Kompas terhadap Bambang Wisudo karena aktivitasnya sebagai pengurus serikat pekerja di Harian Kompas.

5. Mendesak aparat kepolisian untuk menindak secara hukum sikap antiserikat pekerja yang dipraktikkan manajemen Kompas.

6. Menyerukan kepada seluruh komponen masyarakat untuk bergabung melawan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh manajemen Kompas.

Jakarta, 9 Desember 2006

Edy Haryadi
Koordinator Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (Kompas)
============================================================
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Paguyuban Korban Kelompok Kompas Gramedia, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, Aliansi Buruh Menggugat (ABM), LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), FPPI, Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW
posted by KOMPAS @ 2:40 AM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
Previous Post
Archives
Powered by

Hit Counter
Hit Counter

Free Blogger Templates
BLOGGER

http://rpc.technorati.com/rpc/ping <