Anggota Koalisi
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Aliansi Buruh Menggugat/ABM (KASBI, SBSI 1992, SPOI, SBTPI, FNPBI, PPMI, PPMI 98, SBMSK, FSBMI, FSBI, SBMI, SPMI, FSPEK, SP PAR REF, FKBL Lampung, SSPA NTB, KB FAN Solo, AJI Jakarta, SBJ, FKSBT, FPBC, FBS Surabaya, PC KEP SPSI Karawang, GASPERMINDO, ALBUM Magelang, FKB Andalas), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, IKOHI, KONTRAS, PPR, Somasi-Unas, SPR, Arus Pelangi, GMS, LPM Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Praksis, Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ), FMKJ, Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), FSPI, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Repdem Jakarta, SPN, OPSI, SP LIATA, SPTN Blue Bird Grup
Links
Media
Monday, December 18, 2006
Artikel Wisudo Soal Pemberangusan SP Kompas
ctt penulis: tulisan ini saya kirim untuk rakyatmerdeka online.

Catatan Aktivis Buruh Suratkabar Kompas

Sejak saya disekap di pos satpam Kompas-Gramedia, Jumat (8/12) sore, praktis waktu saya habis untuk membaca dan menjawab pesan pendek (sms) dan telepon untuk menyatakan dukungan. Hari ini adalah hari ketujuh sejak peristiwa memalukan itu menimpa saya. Ratusan sms dan telepon masuk tiap hari. Belum lagi saya sempat membaca pesan melalui e-mail. Padahal tidak mungkin lagi melihat e-mail yang masuk melalui alamat wis@kompas.com yang telah diblokir sejak Jumat pagi ketika desas-desus pemecatan terhadap saya beredar.

Semua ini merupakan bukti bahwa kasus ini bukan kasus internal sebuah perusahaan, bukan sekedar kasus pemecatan semata-mata. Ratusan dukungan yang mengalir ini sekaligus membantah argumen yang dipakai pejabat Kompas untuk meminta solidaritas pemimpin media massa di Jakarta agar memblokir berita-berita manyangkus kasus ini. Kalaulah ini bukan kasus yang menyangkut urusan publik, menyangkut nilai yang penting dalam bermasyarakat, mana mungkin saya menerima simpati yang begitu besar. Siapalah saya? Saya bukan siapa-siapa. Mereka bersuara bukan karena saya seorang yang bernama Bambang tetapi karena peristiwa penistaan yang dilakukan sebuah institusi terhormat terhadap diri saya.

***

SAYA sadar betul bahwa sejumlah pemimpin Kompas sejak lama ingin menyingkirkan saya karena aktivitas saya sebagai pengurus serikat pekerja ataupun sebagai seorang wartawan sering usil menggugat sikap Kompas dalam pemberitaan. Sahabat-sahabar yunior saya di kantor sering mengatakan, saya punya banyak nyawa. Beberapa kali mau disingkirkan tetapi tetap bisa lolos, dan saya tidak kapok-kapok bersuara. Ternyata nyawa saya terbatas. Akhirnya saya dipecat.

Sejak Kompas berdiri, baru sekali ini wartawan dipecat. Itupun setelah disekap di pos satpam selama dua jam, dipegang paksa atau dipiting, digotong-gotong dalam jarak seratus sampai dua ratus meter. Ketika saya berteriak-teriak, tidak ada menolong.

Saat saya menerima surat pemecatan, saat isteri saya menyampaikan surat penolakan pemecatan tiga hari kemudian, tidak ada kata permintaan maaf dari Kompas atas tindak kekerasan yang saya alami. Sampai hari ini. Yang dilakukan justru sebaliknya. Seluruh karyawan Kompas dikumpulkan, dibriefing oleh Pemimpin Redaksi Suryopratomo, dan disuruh mendengarkan bantahan Wakil Ketua Satpam Kariman Sinambela bahwa mereka tidak melakukan kekerasan. Pertemuan intern itu diberitakan oleh wartawan senior Robert Adhi KSP yang kredibilitasnya tidak diragukan ketika menjabat sebagai wakil kepala biro di Semarang, melalui Kompas Online. Berita itu jelas tidak berimbang, menyalahi kode etik, dan ketika saya berkali-kali menghubungi pimpinan Kompas untuk minta hak jawab, mereka mengabaikan. Lagi-lagi ini merupakan blunder yang dilakukan pimpinan Kompas. Mereka seharusnya tahu kode etik, tahu hak jawab, apalagi Pak Jakob selama bertahun-tahun selama pemerintahan Orde Baru pernah memimpin Dewan Pers. Saya akan segera mengadukan pelanggaran kode etik ini ke Dewan Pers.

***
MENGAPA para pejabat Kompas enggan menjelaskan langsung kepada publik terhadap peristiwa kekerasan dan pemecatan yang erat terkait dengan aktivitas saya sebagai pengurus serikat pekerja? Saya paham betul betapa mereka menghadap situasi yang dilematis. Suratkabar Kompas menjadi besar seperti sekarang karena berhasil membangun citra diri sebagai pengemban amanat hati nurani rakyat, sebagai pembela hak asasi manusia, dan pembela demokrasi. Kata hati, mata hati. Namun peristiwa yang menimpa diri saya telah memutarbalikkan citra yang dibangun selama ini. Ternyata institusi Kompas tidak lebih dan tidak kurang memperlakukan pekerjanya seperti buruh pabrik sandal jepit. Istilah sandal jepit pernah dipakai Pak Ojong, almarhum pendiri Kompas, untuk membedakan antara karakteristik pabrik dan perusahaan suratkabar.

Sampai hari ini saya belum merasa dipecat dari Kompas. Saya merasa seperti wartawan Kompas yang sedang mengambil cuti. Kalau saya kini berjuang, mengadukan Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo ke polisi, mengungkapkan kasus-kasus yang terkait pembungkaman serikat pekerja di Kompas kepada publik, itu semua dalam rangka upaya saya memperjuangkan hak-hak saya dan untuk mendorong perubahan internal Kompas dari luar. Saya pernah memimpikan Kompas. Banyak anak muda saat ini yang juga memimpikan bisa bekerja. Saya sama sekali tidak membenci Kompas. Akan tetapi saya tidak suka dengan tindakan sekelompok orang yang tengah melakukan pembusukan terhadap Kompas dari dalam, dengan menciptakan ketakutan di ruang redaksi dan dengan memberangus kritisisme di ruang redaksi. Pilar intelektualisme yang menjadi penyangga utama suratkabar ini telah lama dirobohkan, digantikan dengan tuntutan loyalitas buruh yang tidak merdeka.

Keputusan kini tinggal di tangan Pak Jakob. Apakah Pak Jakob sebagai Pemimpin Umum Kompas mau atau tidak menarik atau merevisi kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan manajemen Kompas, meminta maaf kepada publik atas kekerasan dan aksi pemberangusan terhadap kebebasan berserikat yang telah terjadi. Bila pilihan kedua yang dipilih, inilah kematian bagi Kompas. Sikap antiunion dan sikap antidemokrasi akan menjadi citra baru suratkabar yang pernah dihormati di negeri ini dan akan segera mengantarkannya ke liang kubur. Saya kira masih ada sedikit sisa waktu bagi Pak Jakob dan orang-orang kritis di dalam untuk menyelamatkan Kompas. (P Bambang Wisudo)

Penulis adalah Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas dan Ketua Divisi Etik dan Profesi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
posted by KOMPAS @ 12:23 AM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
Previous Post
Archives
Powered by

Hit Counter
Hit Counter

Free Blogger Templates
BLOGGER

http://rpc.technorati.com/rpc/ping <