Anggota Koalisi
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Aliansi Buruh Menggugat/ABM (KASBI, SBSI 1992, SPOI, SBTPI, FNPBI, PPMI, PPMI 98, SBMSK, FSBMI, FSBI, SBMI, SPMI, FSPEK, SP PAR REF, FKBL Lampung, SSPA NTB, KB FAN Solo, AJI Jakarta, SBJ, FKSBT, FPBC, FBS Surabaya, PC KEP SPSI Karawang, GASPERMINDO, ALBUM Magelang, FKB Andalas), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, IKOHI, KONTRAS, PPR, Somasi-Unas, SPR, Arus Pelangi, GMS, LPM Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Praksis, Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ), FMKJ, Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), FSPI, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Repdem Jakarta, SPN, OPSI, SP LIATA, SPTN Blue Bird Grup
Links
Media
Thursday, December 14, 2006
Lily: "Wisudo Pernah Menolong Saya..."
(pengantar redaksi: seorang mantan wartawan Kompas dengan segala ketulusan dan keberaniannya menyatakan dukungan atas Bambang Wisudo di sebuah milis. Bambang sendiri kini tengah diserang kanan-kiri di berbagai milist, terutama oleh mereka yang merasa terganggu dan terancam kemapanannya. Surat dukungan ini merupakan setetes air segar di tengah upaya disinformasi yang dilakukan beberapa orang untuk membenarkan tindak kekerasan manajemen Kompas terhadap Bambang Wisudo).

Salam,

Saya Lily Yulianti Farid, mantan wartawati Kompas di Makassar (1996-2000), memilih keluar dari Kompas setelah mendapat SK Karyawan penuh, dengan alasan: mendapat beasiswa ke Australia sementara Pihak Manajemen tidak mengijinkan bersekolah ke luar negeri. Alasannya karena dianggap terlalu muda dan masih karyawan baru (menurut ucapan lisan seorang petinggi Kompas waktu itu kepada saya, saat menanyakan alasannya). "Anda kalau bekerja lama di sini nanti juga akan bisa disekolahkan oleh perusahaan.. .tapi kalau dapat beasiswa wah itu lain lagi.." (kalimat ini saya catat baik-baik di tahun 2000)

Waktu itu Mas Wisudo yang mengangkat persoalan kasus saya ini lewat serikat pekerja. Mas Wis juga yang membahasnya di milis internal karyawan Kompas secara panjang lebar.

Seingat saya hanya Mas Wis dan segelintir orang yang memberi dukungan terbuka dan mempertanyakan soal aturan wartawan bersekolah ke luar negeri (well, dalam kasus saya lebih tepatnya: wartawan daerah yang sekolah ke luar negeri). Beberapa wartawan senior lain menunjukkan simpati. Di hari terakhir bekerja, kebetulan saat itu saya bertugas di Jakarta, Mas Wis mendatangi saya dan bertanya apakah keputusan saya sudah bulat meninggalkan Kompas, dan mengatakan tidak seharusnya Kompas bersikap sekaku ini dalam kasus wartawan yang ingin sekolah ke luar negeri dengan beasiswa yang sama sekali tidak membebani perusahaan satu sen pun. Waktu itu tawaran saya cuti di luar tanggungan selama sekolah pun tidak dipertimbangkan. Pilihannya: tetap bersama Kompas atau memilih tawaran beasiswa itu.

Saya memilih sekolah. Dan ini membuat teman-teman seangkatan saya waktu itu terperangah. Di zaman saya, menjadi wartawan daerah itu penuh penderitaan. Kami meniti karir dari calon koresponden, lalu menjadi koresponden, baru kemudian diangkat wartawan/karyawan penuh. Saya mulai bergabung dengan Kompas di Makassar Oktober 1996 baru diangkat karyawan penuh tahun 2000. Nasib wartawan daerah ini pun menjadi agenda perjuangan Mas Wisudo. Berbeda dengan teman-teman di Jakarta yang jenjang karirnya jelas, nasib kami terkatung-katung serba tak jelas. Dengar-dengar sekarang kondisinya sudah jauh lebih baik, karyawan baru diangkat pun sudah bisa ikut short-course ke luar negeri...Syukurlah kalau memang benar begitu.

Waktu itu saya katakan ke Mas Wis, bila saya disuruh memilih, saya ingin sekolah, saya ingin tumbuh sebagai manusia, tidak ingin sekadar menjadi kode di akhir berita, di halaman surat kabar paling berpengaruh di Indonesia dan berpuas diri dengan itu. Saya ingin berkembang. Dan untuk itu saya memilih melanjutkan sekolah. Apakah saya kecewa terhadap Kompas? Saya kecewa tapi tidak dendam :)

Waktu mengambil keputusan itu ya, saya sedih luar biasa bukan karena harus keluar dari Kompas (padahal baru diangkat sebagai karyawan penuh setelah mengabdi 5 tahun sbg karyawan lepas!), tapi lebih karena citra Kompas yang waktu itu saya anggap pasti mendorong setiap wartawannya mengembangkan diri, memperdalam ilmu, dan betul-betul mewujudkan sosok wartawan-intelektua l, yang rasanya makin sulit dilahirkan dalam kondisi kerja industri pers di Indonesia seperti sekarang ini. Tidak diizinkan bersekolah adalah sesuatu yang tidak pernah terpikir dalam benak saya, waktu itu.

Jadi betul kata Mas Satrio, ini soal image, soal citra KOMPAS. Kasus Mas Wis kembali akan menggarisbawahi lagi persoalan citra ini. Saya tentu berusaha melihat persoalan Mas Wis dengan jernih. Kita harus melihat perkembangan kasusnya, Mas Tom (Suryopratomo) sudah bicara ke pers membantah semua tudingan Mas Wis. Dan kemarin sore saya menelepon Mas Wis memberi dukungan moral atas pilihannya untuk terus melawan, ia mengeluh: "Saya diisukan melakukan ini semua demi uang, demi pesangon yang besar..apa iya saya semurah itu?"

Untuk kabar miring seperti itu, saya akan membantu Mas Wis membantah dugaan murahan seperti itu. Saya kenal Mas Wis sebagai wartawan senior idealis yang masih mau rela berlelah-lelah menyisihkan waktu menyuarakan hak pekerja, di saat kami semua, wartawan lainnya lebih senang tidur nyaman di "comfort zone" : cukuplah menjadi kode (eh sekarang sudah by line ya..) di koran terkemuka dan paling berpengaruh di tanah air. Kalau pun ingin menggerutu soal manajemen dan segala sengkarutnya, ya cukup gerutuan lirih yang jangan sampai menimbulkan resiko dan menghambat karir serta promosi jabatan.

Teman-teman Kompas tentu terbelah-belah, ada yang menyalahkan sikap keterlaluan Mas Wis yang membagi-bagikan foto copy suratnya ke Pak JO, ada yang mendukung tapi dalam hati saja, ada yang diam saja ikut arah angin. Jadi untuk orang-orang di luar Kompas, melihat persoalan ini sangat tergantung dari mana anda mendapatkan informasi. Saya mendapat masukan dari karyawan yang tidak mengikuti jejak jatuh bangunnya serikat pekerja di Kompas, dan celotehannya adalah: "Lah..dipindah tugas ke Ambon kok gak mau, sekarang malah menjelek-jelekkan perusahaan.. kan Mas Wis sendiri yang harus patuh pada kontrak kerja karyawan..."

Tapi dari sejumlah wartawan senior yang diam-diam dan terang-terangan mendukung Mas Wis, saya mendapat komentar "Drama hari Jumat itu memang luar biasa. Rasanya tidak percaya manajemen harus bertindak sejauh ini..."

Dari pihak manajemen Kompas sendiri, mereka sudah punya setumpuk alasan mengapa tiba pada keputusan memecat Mas Wis. Kita baca di media massa: masalah internal biasa, masalah ketidakdisiplinan dan ketidakpatutan.

Untuk Mas Wis, selamat berjuang. Untuk Manajemen Kompas: Mata hati, kata hati, (mengutip mottonya..hehehe)

salam,
ly
Tokyo
posted by KOMPAS @ 9:31 PM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
Previous Post
Archives
Powered by

Hit Counter
Hit Counter

Free Blogger Templates
BLOGGER

http://rpc.technorati.com/rpc/ping <