Anggota Koalisi
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Aliansi Buruh Menggugat/ABM (KASBI, SBSI 1992, SPOI, SBTPI, FNPBI, PPMI, PPMI 98, SBMSK, FSBMI, FSBI, SBMI, SPMI, FSPEK, SP PAR REF, FKBL Lampung, SSPA NTB, KB FAN Solo, AJI Jakarta, SBJ, FKSBT, FPBC, FBS Surabaya, PC KEP SPSI Karawang, GASPERMINDO, ALBUM Magelang, FKB Andalas), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, IKOHI, KONTRAS, PPR, Somasi-Unas, SPR, Arus Pelangi, GMS, LPM Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Praksis, Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ), FMKJ, Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), FSPI, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Repdem Jakarta, SPN, OPSI, SP LIATA, SPTN Blue Bird Grup
Links
Media
Friday, December 15, 2006
Kompas Tolak Hak Jawab Wisudo
Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja(KOMPAS)
Sekretariat: Jl Prof Dr Soepomo, Komplek BIER No 1A, Menteng Dalam, Jakarta.
081310274674 (Edy Haryadi), 081585160177 (Sholeh Ali), 08155517333 (Winuranto Adhi),
0811932683 (Bambang Wisudo)
=-------------------------------------------------------------------------------------------
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Paguyuban Korban Kelompok Kompas Gramedia (Pakorba-KKG), Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, Aliansi Buruh Menggugat (ABM), LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), FPPI, Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, PPR, Somasi-Unas, LMND, Papernas, Serikat Pengacara Rakyat, Arus Pelangi, KontraS, YLBHI, STN, GMS, Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) --------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Press Release

Kompas Tolak Hak Jawab Bambang Wisudo
Kami yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (Kompas) mengecam keras pemberitaan di Kompas online (http://www.kompas.com/) dengan judul "Satpam Tidak Menyandera dan Menganiaya Wartawan."
Berita yang ditulis wartawan senior Kompas R Adhi Kusumaputra dan dirilis pada hari Senin (11/12/2006) sore ini, tak hanya bertentangan dengan fakta di lapangan, namun juga tidak dilakukan secara berimbang (cover both sides). Sebab, berita ini tidak mencoba mengkonfirmasi Bambang Wisudo sebagai subyek berita.
Bambang Wisudo sendiri baru mengetahui berita itu pada hari Selasa (12/12/2006) petang. Bambang sudah menghubungi beberapa petinggi Harian Kompas untuk mendapat hak jawab. Sebab, Bambang percaya sebuah institusi pers mestinya bisa memenuhi Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dan Undang-Undang Pers No 40/1999.
Karena itu dalam salah satu SMS yang ia kirim ke St Sularto, Wakil Pimpinan Umum Harian Kompas Bambang menulis "Mas sk dan sts (St Sularto) yth, mestinya kompasonline menghubungi saya bila memberitakan kasus saya. Ini kan perusahaan pers bukan pamflet."
Untuk itu hari Rabu (13/12) saat Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) menggelar testimoni saudara Bambang Wisudo di LBH Jakarta, reporter Kompas Online turut diundang. Salah satu tujuannya adalah menggunakan hak jawab Bambang Wisudo seperti yang diatur dalam UU No 40/1999 tentang Pers secara beradab. Dan pada pelaksanaan acara itu, salah seorang reporter Kompas Online memang terlihat hadir.
Namun hingga hari ini ternyata Kompas Online tidak juga memuat hak jawab dari saudara Bambang Wisudo. Karena itu, bisa dipastikan telah terjadi pelanggaran serius yang dilakukan manajemen Kompas terhadap Kode Etik Wartawan Indonesia dan UU No 40/1999 mengenai hak jawab.
Jelas ini merupakan sebuah pelanggaran serius yang disengaja. Dengan demikian, manajemen Kompas secara sadar telah merubah dirinya menjadi sebuah pamflet yang dilegalisasi dengan menyabot kebebasan pers yang dibangun atas pengorbanan nyawa mahasiswa beserta rakyat pada Mei 1998.
Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) sendiri menegaskan, bahwa fakta kekerasan dan penyanderaan Bambang Wisudo memang terjadi.
Tapi di luar kebohongan yang dibangun, tulisan wartawan senior Kompas itu tanpa sadar telah mengkonfirmasi beberapa fakta penting.
Pertama, dalam tulisan yang dibuat wartawan Kompas itu, Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo menyatakan membenarkan prosedur yang dilakukan oleh Satpam terhadap Bambang Wisudo. "Satpam telah melakukan prosedur yang benar. Mereka bertanya kepada Wisudo, ini ada apa, mari kita bicarakan di pos," kata Suryopratomo. Dengan demikian Pemred Kompas menyetujui aksi pemitingan dan pembekukan secara paksa oleh satpam pada Bambang Wisudo.
Kedua, Kiraman Sinambela, Wakil Kepala Satpam harian Kompas di berita itu juga membenarkan bahwa sempat terjadi tarik-menarik antara dirinya dengan Bambang Wisudo. Sehingga Bambang Wisudo terjatuh ke lantai sebelum ditenteng ke pos satpam. Apakah ini bukan kekerasan?
Di pos Satpam, sekalipun di berita itu satpam membantah, Bambang Wisudo memang sempat disandera dua jam. Tim advokasi yang datang untuk menemui Wisudo, faktanya memang tak boleh menemui saudara Wisudo. Sehingga hal ini sempat memicu perdebatan panas antara Satpam Kompas dan tim advokasi. Tapi seorang Satpam bernama Markus mengatakan dia dan teman-temannya hanya menjalani perintah atasan. Bahkan seorang staf PSDM-U Kompas bernama Suharno sempat menyatakan ke tim advokasi untuk melapor ke polisi.
Dengan demikian, berita itu menegaskan telah terjadi kekerasan dan perampasan kemerdekaan terhadap Bambang Wisudo yang dilakukan oleh satpam dan disetujui oleh Pemimpin Redaksi Kompas.
Selain itu, pada hari Senin (4/12) petang, kami juga mendapat informasi bahwa Pemimpin Redaksi Suryopratomo telah menelepon Pemimpin-Pemimpin Redaksi media massa lainnya agar tidak memuat berita demo di Kantor Kompas pada siang harinya. Alasannya, ini masalah internal dan tidak terkait dengan soal saham dan pemberangusan aktivis serikat pekerja.
Bagi kami, "Solidaritas Hitam" yang coba dibangun pemimpin Kompas ini amat menyesatkan. Sebab, hal itu sama saja dengan membangun sebuah blokade pemberitaan dan merupakan pelangaran hak masyarakat untuk tahu yang dijamin oleh konstitusi khususnya amandemen pasal 28F UUD 45 yang berbunyi: "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."
Terlebih dalam pasal 6 (a) UU No 40/19 juga secara tegas dikatakan, bahwa fungsi pers bertujuan: "(a): memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;"
Selain itu, kami menolak upaya Pemimpin Redaksi Kompas yang mencoba mengalihkan isu bahwa pemecatan Bambang Wisudo merupakan urusan internal dan tidak terkait dengan pemberangusan Bambang Wisudo selaku aktivis serikat pekerja.
Jelas, pemecatan dan kekerasan yang dialami Bambang Wisudo terkait dengan aktivitasnya sebagai aktivis Serikat Pekerja Perkumpulan Karyawan Kompas. Karena itu ini merupakan masalah publik dan bukan soal internal.
Dan, amatlah sulit dipungkiri, bahwa mutasi saudara Wisudo yang diakhiri dengan kekerasan dan pemecatan pada Jumat (8/12/2006) malam lalu, terkait dengan kegiatan Bambang Wisudo sebagai aktivis serikat pekerja saat ia menyebarkan leaflet yang berisi surat penolakannya dimutasi.
Sebab, jelas mutasi itu dilakukan sebagai upaya balas dendam manajemen Kompas karena selaku Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas, sebuah serikat pekerja yang resmi terdaftar di Dapnaker, Bambang Wisudo dkk berhasil memaksa manajemen Kompas menjelaskan saham kepemilikan karyawan sebesar 20 persen.
Apalagi seorang pimpinan Kompas lebih dari sekali mengatakan bahwa ini adalah upaya ”rehabilitasi” terhadap saudara Bambang Wisudo. Apalagi mutasi itu dilakukan mulai 1 Desember 2006, sementara masa kepengurusan Bambang Wisudo sebagai sekretaris PKK baru berakhir Februari 2007.
Bambang sadar dalam pasal 28 UU No 21/2000 Serikat Pekerja disebutkan: Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja untuk tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja dengan cara (a) melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara atau melakukan mutasi dan (c) melakukan intimidasi dalam bentuk apapun.
Sementara sanksi hukuman atas pelanggaran pasal 28 seperti diatur dalam Pasal 43 UU Serikat Pekerja adalah pidana penjara dengan ancaman maksimal 5 tahun dan denda Rp 500 juta.
Dengan sejumlah pelanggaran yang secara telanjang dilakukan manajemen Kompas baik secara pidana, ketenagakerjaan, UU Serikat Pekerja, UU Pers, maka Komite Aksi Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) dengan ini menegaskan:
1. Mengecam keras penolakan hak jawab dan upaya pemblokadean berita oleh pemimpin redaksi Kompas
2.Mengutuk kekerasan dan penyanderaan yang dilakukan manajemen Kompas terhadap Bambang Wisudo.
3.Mengutuk tindakan anti demokrasi dan anti serikat pekerja yang dilakukan manajemen Kompas terhadap Bambang Wisudo.
4. Mendesak aparat kepolisian untuk mengusut dan menangkap pelaku kekerasan terhadap Bambang Wisudo, termasuk para pimpinan Kompas yang memberi instruksi aksi kekerasan tersebut
5. Menolak PHK sepihak yang dilakukan manajemen Kompas terhadap Bambang Wisudo karena aktivitasnya sebagai pengurus serikat pekerja di Harian Kompas.
6. Mendesak aparat kepolisian untuk menindak secara hukum sikap antiserikat pekerja yang dipraktikkan manajemen Kompas.
7. Menyerukan kepada seluruh komponen masyarakat untuk bergabung melawan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh manajemen Kompas.
Sebelum semua tuntutan ini dipenuhi, Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) akan tetap meneruskan aksi. Baik itu berupa aksi massa, mengadukan kasus ini ke Dewan Pers, DPR, Depnaker, serta melakukan gugatan hukum baik itu gugatan pidana, perdata dan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial.
Jakarta, 16 Desember 2006
Edy Haryadi
Kordinator
posted by KOMPAS @ 11:56 PM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
Previous Post
Archives
Powered by

Hit Counter
Hit Counter

Free Blogger Templates
BLOGGER

http://rpc.technorati.com/rpc/ping <