Anggota Koalisi
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Aliansi Buruh Menggugat/ABM (KASBI, SBSI 1992, SPOI, SBTPI, FNPBI, PPMI, PPMI 98, SBMSK, FSBMI, FSBI, SBMI, SPMI, FSPEK, SP PAR REF, FKBL Lampung, SSPA NTB, KB FAN Solo, AJI Jakarta, SBJ, FKSBT, FPBC, FBS Surabaya, PC KEP SPSI Karawang, GASPERMINDO, ALBUM Magelang, FKB Andalas), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, IKOHI, KONTRAS, PPR, Somasi-Unas, SPR, Arus Pelangi, GMS, LPM Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Praksis, Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ), FMKJ, Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), FSPI, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Repdem Jakarta, SPN, OPSI, SP LIATA, SPTN Blue Bird Grup
Links
Media
Monday, February 26, 2007
Imbuan ke JO Tentang Nilai-Nilai Kompas
sumber: http://satrioarismunandar6.blogspot.com

Saya mendapat e-mail dari Sri Yanuarti (Yanu), peneliti LIPI, pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia), dan istri dari wartawan Kompas Bambang Wisodo, via milis AIPI. Isinya berkenaan dengan kasus pemecatan Bambang Wisudo oleh manajemen Kompas, Desember 2006, terkait soal serikat pekerja di Kompas.

Yanu adalah rekan saya di AIPI, sedangkan Wisudo adalah juga rekan sesama pendiri AJI (Aliansi Jurnalis Independen), dan dulu juga saya pernah sama-sama kerja di Kompas. Saya sangat terkesan, bahwa menghadapi saat-saat sulit dan penuh tekanan, Yanu, Wisudo dan keluarga tetap tenang dan tabah. Artinya, perjuangan serikat pekerja ini bukan semata-mata urusan Wisudo, tetapi sejak awal sudah disadari dan didukung penuh oleh istri/keluarga. Tentu dengan berbagai risikonya.

Dalam kondisi ekonomi dan politik sekarang, di mana nuansa pragmatisme dan oportunisme, kepentingan mau enak sendiri, masih sangat kuat, saya merasa salut bahwa masih ada orang-orang yang berjuang untuk idealismenya. Kalau Wisudo mau hidup enak dan nyaman di Kompas, perusahaan media yang sudah sangat mapan di Indonesia (koran terbesar dan paling berpengaruh), sebetulnya bisa saja. Kompas adalah salah satu dari sedikit media yang menyediakan pensiun buat karyawannya.

Namun, Wisudo memilih jalan lain, dan kini dia menanggung risiko perjuangannya. Yakni, dipecat oleh manajemen Kompas. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian, dan tidak ingin menduga-duga. Yang jelas, Wisudo dkk akan terus berjuang, di dalam Kompas maupun di luar Kompas. Salah satu alternatifnya tentu lewat jalur hukum (LBH).

Di sini saya menilai, tindakan represif terhadap aspirasi karyawan yang sah, seperti dialami Wisudo, tidak akan menghasilkan dampak yang baik bagi perusahaan. Namun, yang jauh lebih merugikan Kompas sebetulnya adalah masalah reputasi dan image, yang terkait dengan visi dan misi Kompas, yang merupakan akar keberadaan perusahaan yang didirikan PK Oyong (alm) dan Jakob Oetama ini.

Bukankah Kompas adalah perusahaan media yang selama ini (lihat tajuk rencana/editorialnya) sering mengangkat isu-isu demokratisasi, keterbukaan, hak-hak asasi, dan sebagainya? Bukankah Kompas menganut dan meyakini nilai-nilai "humanisme transendental"? Apakah itu sekadar gincu, dan bukan genuine values yang dianut Kompas, mengingat secara internal ternyata nilai-nilai itu masih dipertanyakan, karena tidak terimplementasi?

Jika demikian halnya, bagaimana Kompas sebagai institusi dan bagian utama/tulang punggung KKG (Kelompok Kompas Gramedia) akan melangkah memasuki abad baru dunia informasi dan globalisasi, dengan segala dinamika perubahan, tantangan, ancaman, jika tanpa dukungan akar nilai-nilai mendasar, yang memberi makna pada keberadaannya?

Selama ini, perekat yang mempertahankan keutuhan KKG adalah figur Pak Jakob Oetama (JO), sebagai generasi pendiri yang memiliki wawasan kuat ke depan, nasionalisme, kharisma, wibawa dan intelektualitas. Namun, dengan segala hormat atas kekuatan manajerialnya, JO tidak akan memimpin KKG selama-lamanya.

Lalu bagaimana KKG dan Kompas akan melangkah jika nanti ditinggalkan JO, sementara core values yang menjadi landasan berdirinya dan suksesnya lembaga Kompas, justru mengalami erosi karena langkah-langkah "pragmatis-oportinistis" jangka pendek? Bukan tidak mungkin, langkah-langkah semacam ini akan diteruskan oleh para pimpinan Kompas/KKG pasca JO nanti. Mereka adalah generasi baru, yang mungkin kurang menghayati nilai-nilai awal yang ditanamkan generasi pendiri.

Mempertimbangkan hal itu, saya berharap, Pak Jakob dengan segala kearifannya, sebagai figur yang menjadi panutan dan dihormati di KKG dan Kompas, dapat ikut campur tangan melakukan intervensi. Karena yang dipertaruhkan di sini BUKAN cuma nasib Wisudo, Yanu dan keluarga, tetapi nasib dan survivabilitas dari KKG, Kompas, dan nilai-nilai luhur (core values) yang selama ini dianut, diyakini, dihayati, dan terbukti telah membesarkan Kompas.

Selain itu, yang dipertaruhkan bahkan juga bukan nasib sekian ribu karyawan Kompas dan KKG, tetapi jutaan stakeholders yang berkaitan dengan keberadaan institusi media besar ini, termasuk para pembaca Kompas di seluruh pelosok Indonesia. Peran media sangat penting untuk kemajuan negeri ini. Peran vital media seperti Kompas masih amat dibutuhkan, untuk ikut menggalang dukungan dari jutaan rakyat Indonesia -- yakni, mereka yang masih punya idealisme dan niat baik-- untuk bersama-sama menyelamatkan Indonesia.

Sekali lagi, saya berharap, agar Pak Jakob, yang saya anggap sebagai salah satu guru saya dalam ilmu jurnalistik dan wawasan kewartawanan, bersedia untuk turun tangan langsung, demi kebaikan dan kelangsungan institusi KKG dan Kompas, beserta nilai-nilai luhur yang selama ini memberi makna pada keberadannya.

Wasalam,


Satrio Arismunandar
(mantan jurnalis Kompas, yang dibesarkan di Kompas pada 1988-1995, dan selama itu banyak belajar tentang ilmu jurnalistik dan kearifan dari guru-guru saya di Kompas)


_____oO0_____

(Dari milis AIPI, ditulis oleh Sri Yanuarti, istri Bambang Wisudo:)

Saya ucapkan terimakasih atas dukungan yang diberikan Mas Rio terhadap saya dan keluarga. Perlakuan yang diberikan jajaran manajemen Kompas terhadap suami saya, adalah satu resiko yang sudah kami hitung sejak lama.

Perjuangan suami saya Wis (Bambang Wisudo) tentang pemilikan saham karyawan bukanlah perjuangan yang dilakukan dalam hitungan hari. Delapan tahun sudah, ia dan teman-temannya di Perkumpulan karyawan Kompas melakukan perjuangan untuk menuntut pengembalian saham 20% yang diambil oleh perusahaan tanpa sepengetahuan karyawan.

Selama itu pula, kami sudah terbiasa dengan berbagai kebijakan dari management Kompas untuk melakukan berbagai penjegalan atas apa yang diperjuangkan suami saya dan kawan-kawan. Berkaca dari kasus Albert Kuhon, Mas Rio dan Mas Yudha, saya sadar betul bahwa pemecatan terhadap suami saya bukan tidak mungkin akan terjadi.

Namun perlakuan dan tindakan para jajaran pimpinan kompas yang menggunakan cara-cara kekerasan yang brutal dan primitif adalah jauh dari bayangan kami. Sebagai salah satu pilar demokrasi sekaligus institusi yang menyuarakan serta menggembar-gemborkan persoalan HAM dan Demokrasi, maka tidak sepantasnya Kompas melakukan tindakan brutal dan primitif (dengan melakukan penyeretan dan penyekapan) dalam proses pemutusan hubungan kerja.

Bahkan sejauh yang saya tahu, pemecatan terhadap buruh linting di pabrik rokok pun masih dilakukan dengan cara-cara yang sangat sopan.
Sungguh suatu hal yang sangat ironis bagi Kompas yang bangga dengan logonya "Menyuarakan Amanat Hati Nurani Rakyat", perlakuan dan tindakan terhadap karyawannya justru jauh dari apa yang selama ini ditulis besar-besar di bawah kata KOMPAS.

Jika saya sedih terhadap kasus suami saya, itu bukanlah karena suami saya dipecat dari Kompas tapi justru karena gambaran Kompas sebagai media tempat suami saya berkarya selama ini adalah Kompas telah mengkhianati nilai-nilainya sendiri. Kompas yang diimpikan oleh suami saya, yang pernah menjadi cita-cita suami saya, ternyata tidak lebih dan tidak kurang dibandingkan pabrik sandal jepit.

Saya justru bangga bahwa karena ditengah gemerlapnya fasilitas materi yang bisa dinikmati wartawan Kompas, suami saya masih kukuh untuk menyatakan kebenaran, untuk menggugat hak-hak karyawan yang telah dirampas oleh perusahaan. Dengan itu pula kami dapat tetap melangkah dengan kepala tegak dan hati ringan, saat kami meninggalkan kantor Kompas malam itu, karena Kompas tidak lebih dan tidak kurang dibandingkan pabrik sandal jepit.

Salam
Yanu (Istri Bambang Wisudo)
posted by KOMPAS @ 12:16 AM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
Previous Post
Archives
Powered by

Hit Counter
Hit Counter

Free Blogger Templates
BLOGGER

http://rpc.technorati.com/rpc/ping <