Anggota Koalisi |
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Aliansi Buruh Menggugat/ABM (KASBI, SBSI 1992, SPOI, SBTPI, FNPBI, PPMI, PPMI 98, SBMSK, FSBMI, FSBI, SBMI, SPMI, FSPEK, SP PAR REF, FKBL Lampung, SSPA NTB, KB FAN Solo, AJI Jakarta, SBJ, FKSBT, FPBC, FBS Surabaya, PC KEP SPSI Karawang, GASPERMINDO, ALBUM Magelang, FKB Andalas), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, IKOHI, KONTRAS, PPR, Somasi-Unas, SPR, Arus Pelangi, GMS, LPM Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Praksis, Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ), FMKJ, Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), FSPI, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Repdem Jakarta, SPN, OPSI, SP LIATA, SPTN Blue Bird Grup |
Links |
|
Media |
|
|
Saturday, February 3, 2007
|
Surat Wisudo buat Wartawan Kompas
|
(ctt: Setelah Seruan Wartawan Kompas muncul, seperti diduga, mobilisasi dukungan yang dilakukan oleh kelompok Suryopratomo Cs dilakukan. Mereka yang tidak mau tandatangan dipojokkan, seolah-olah mereka "musuh" Kompas. Akan tetapi ada sedikit wartawan Kompas yang masih bertahan tidak mau ikut mobilisasi gombal-gombalan itu. Tidak diketahui apakah dalam situasi intimidatif mereka bisa bertahan dan tetap selamat. Di tengah histeria itu, Bambang Wisudo diminta oleh beberapa orang di dalam Kompas yang masih bisa berkepala dingin untuk menulis. Maka Bambang Wisudo menulis respon atas "Seruan Wartawan Kompas" ini pada Senin (29/1/2007) malam. Akhirnya surat Bambang Wisudo di posting, Rabu (31/1/2007) siang. Mudah-mudahan wartawan Kompas yang mendukung manajemen untuk memberangus serikat pekerja di harian terbesar itu segera kembali memperoleh rasionalitas, humanisme, dan bisa mendengar hati nuraninya. Berikut surat Bambang Wisudo yang dikirim untuk kawan-kawannya di Kompas.)
Salam untuk kawan-kawan semua,
Sebenarnya sudah lama saya ingin berkomunikasi lewat kawan-kawan di milis karyawan ini tetapi tidak kesampaian. Saya sudah membuat tulisan pendek yang saya kirimkan kepada beberapa kawan pengurus agar keanggotaan saya di milis diperbarui tetapi e-mail saya mungkin tidak sempat mereka sampaikan melalui forum ini. Saya pernah minta kepada Sdr. Alam, co-moderator milis ini, agar keanggotaan saya di milis diperbarui juga tidak ditindaklanjuti. Sdr. Alam hanya mengatakan akan menyampaikan kepada Sdr. Ush selaku pemilik milis ini.
Untuk tidak berpanjang lebar saya akan memfokuskan pada pembelaan diri saya terhadap apa yang saya lakukan, apa yang dilakukan oleh kawan-kawan yang mengadvokasi diri saya yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) untuk merespon "Seruan Wartawan Kompas" yang telah tersebar di domain publik. Saya sebenarnya ingin menanggapi seruan ini secara terbuka di publik, tetapi saya disarankan oleh beberapa kawan di Kompas untuk menyampaikan tanggapan ini dalam forum internal terlebih dahulu.
Sebelum saya membaca seruan ini saya telah mendengar bahwa ada gerakan yang katanya dipelopori oleh Mas Bre, Efix, dan Mbak Maria. Salah satu sms yang masuk ke ponsel saya mengatakan bahwa di milis karyawan baru ada "seruan lucu-lucuan". Waktu saya hadir dalam rapat PKK, Senin (29/1) kemarin, saya sempat melihat sekilas seruan itu tetapi belum membaca lengkap. Ketika malam harinya saya bertemu dengan kawan-kawan AJI Indonesia di Plangi, ternyata mereka sudah memperoleh seruan itu dalam bentuk soft copy. Saya baru membaca lengkap malam hari, baik isi maupun penandatangannya membuat saya tercengang-cengang. Saya merasa dekat dan berhutang budi dengan Mas Bre, Mas Efix, dan Mbak Maria dan tidak pernah merasa memiliki persoalan pribadi dengan mereka. Saya menghormati mereka sebagai sedikit dari wartawan Kompas yang masih dihormati dari tulisan-tulisannya, yang masih menyisakan spirit dan intelektualisme Kompas dalam tulisan-tulisannya. Saya masih tidak percaya bahwa naskah seruan ini ditulis oleh Mas Bre yang masih boleh disebut aktivis dalam gerakan budaya.
Saya baru sempat menghubungi Mbak Maria melalui sms. Saya bisa memahami mengapa Mbak Maria ikut menandatangani seruan ini. Keiikutsertaan Mbak Maria dalam Petisi 50 -- yang kabarnya dalam waktu singkat sudah menjadi 100, dan saya yakin tidak lama lagi menjadi 1.000 sama sekali tidak menghapuskan kebaikan-kebaikan Mbak Maria terhadap saya selama ini. Begitu juga Mas Bre dan Mas Efix. Saya belajar banyak dari Mas Bre, Mas Efix, dan Mas Xjb dalam menulis dan membuat liputan jurnalistik. Ketika saya mengalami kekerasan, disekap, dan dipecat sepihak malam 8 Desember, saya hampir menangis karena melihat Mbak Maria menangis dan matanya sembab. Saya berusaha membela ketika banyak kawan-kawan saya mempertanyakan posisi Mbak Maria dalam kaitan pelanggaran hak asasi yang saya alami. Mbak Maria mungkin tidak bisa mengungkapkan sikapnya secara terbuka dalam kata-kata, tapi empati pada malam hari itu sudah mengungkapkan sikapnya pada diri saya. Begitu juga Mas Efix. Saya masih menyimpan foto ketika Mas Efix menerima leaflet di depan lift dan saat-saat perpisahan di lantai dasar setelah saya menerima surat pemecatan secara sepihak yang ditandatangani Mas Tom.
Kalau saya menyesalkan seruan yang dibuat oleh kawan-kawan, itu karena saya merasa malu bahwa sejumlah wartawan yang sangat dihormati terjebak untuk membuat atau menandatangani seruan yang hanya memperkuat posisi beberapa orang di manajemen untuk menutup pintu dialog dalam penyelesaian kasus saya. Saya sangat sedih ketika aksi-aksi legal yang sah dimata negara yang dilakukan oleh teman-teman saya aktivis yang sebagian besar kredibel disebut sebagai petualangan. Saya juga sempat mendengar bahwa sejumlah orang di Kompas mengatakan saya hampir bangkrut karena harus membayar orang-orang yang ikut aksi. Kalau ada anak-anak muda yang berpenampilan kumal dalam aksi-aksi itu tolong jangan diartikan bahwa mereka bergerak karena dibayar. Mereka pernah menginap di rumah saya, bersama mereka saya berdiskusi sampai ke Balaraja, mereka makan satu meja dengan saya. Mereka adalah barisan anjal alias anak jalanan dari sebuah organisasi mahasiswa dan pemuda yang saya hormati. Johnson Pandjaitan, Ichsan Malik, Hasudungan Sirait, Jajang, sangat gegabah bila disebut sebagai petualang. Saya pernah ke rumah Johnson, jauh di pelosok Tangerang, yang secara materiil jauh dari pencapaian seorang wartawan Kompas atau pengacara-pengacara korporat.
Apakah yang saya lakukan dan apa yang dilakukan Komite adalah untuk memusuhi Kompas? Saya bukan memusuhi Kompas, saya bukan memusuhi orang-orang, tetapi saya memusuhi tindakan-tindakan yang tidak pantas dan melawan hukum yang pernah dilakukan sejumlah orang terhadap saya. Dari awal, sampai detik ini, saya masih memandang bahwa penyelesaian melalui dialog damai adalah cara yang paling baik. Ketika mutasi dilakukan, bukankah itu yang pertama-tama saya lakukan? Bukankah pengurus Perkumpulan Karyawan Kompas juga telah mencoba mengingatkan manajemen? Saya telah mengirim surat ke Pak Jakob tetapi Pak Jakob menutup diri. Saya dengar itu karena ditekan beberapa orang dalam manajemen. Ketika saya berteriak-teriak, ketika saya minta bantuan tidak ada yang membantu, apa yang harus saya lakukan? Pada waktu itu secuil pun tidak ada seruan dari teman-teman wartawan Kompas agar mutasi dibatalkan. Padahal jelas ini ada kaitannya dengan pelanggaran pidana.
Lantas ketika saya mengalami kekerasan, ketika saya dipecat secara semena-mena, apakah ada seruan serupa? Di sinilah yang membuat tiga alinea pertama yang menjadi latarbelakang seruan ini seharusnya dihapus. Tidak perlu mengatasnamakan kemanusiaan, profesionalisme, panggilan, dan membawa-bawa nama Tuhan sekedar untuk melegitimasi tindakan-tindakan anti union yang telah dilakukan di perusahaan ini. Ketika saya memberika pernyataan seperti ini lantas saya disebut sebagai "a super-empowered angry indivual" dan disejajarkan dengan Osama bin Laden. Edan tenan.
Seruan ini sayangnya datang ketika ada tanda-tanda Pak Jakob mau membuka diri untuk dialog. Bahkan menurut informasi yang saya dengar, seruan ini dibuat setelah Pak Jakob bertemu muka dengan Mas Efix. Pak Jakob pada waktu itu mengemukakan kegelisahannya terhadap aksi-aksi di luar, mengharapkan ada yang berbuat sesuatu, agar jalan damai bisa dilakukan. Rupanya Mas Efix salah tangkap. Itu informasi yang saya dengar, mungkin ada sebagian yang benar ada juga sebagian yang salah. Kalau pun ada bias tolong dimaklumi karena saya terlalu lama dibiarkan di luar pagar, duduk di jalan aspal di Palmerah Selatan, atau nongkrong di halte bersama tukang ojek dan seorang bernama Iblis tetapi hatinya mulia.
Banyak informasi yang membuat bingung. Ketika saya bersama Komite ke Komisi IX jelas-jelas Mbak Ning mengatakan mendapat telepon dari Pak Jakob. Akan tetapi besoknya saya mendengar kabar bahwa dalam rapat pagi Pak Jakob mengatakan tidak pernah menelepon Mbak Ning. Lantas mana yang benar. Ketika kawan-kawan Komite ke rumah Pak Jakob, dikatakan Pak Jakob tidak bisa menemui mereka hari itu tetapi berjanji menemui perwakilan dalam waktu dekat. Bukan di rumah tetapi di kantor. Akan tetapi belakangan saya mendengar informasi bahwa Pak Jakob hari itu ada di kantor dan Pak Jakob sudah berada dalam mobil menuju Jalan Sriwijaya untuk menemui kawan-kawan Komite.
Saya kira kebingungan saya sama dengan kebingungan banyak orang tentang peristiwa kekerasan dan penyekapan yang menimpa diri saya. Kekerasan terhadap diri saya telah dibantah, padahal saya mengalami sendiri. Saya justru dituduh menjatuhkan diri, bermain drama, sementara sedikitpun saya tidak punya bakat akting. Betapa nekat saya bila melakukan kebohongan sampai berani-beraninya saya melaporkan ke polisi dan meminta Komnas HAM melakukan investigasi.
Itu pula yang membuat saya heran mengapa aksi-aksi demonstrasi, pengaduan saya ke Komnas HAM, ke DPR, dan lain-lainnya diangap sebagai aksi "petualangan." Apakah kita wartawan Kompas dalam keadaan begitu panik sehingga buta dan tidak bisa lagi melihat dengan mata jernih?
Saya juga harus mengatakan di sini bahwa kasus yang menimpa diri saya, serangan-serangan yang saya lakukan yang mungkin mencederai lembaga perlu dilihat sebagai akibat bukan sebab. Saya pernah berhutang dalam urusan penyelesaian saham kolektif dan hutang itu sudah saya lunasi dengan kesepakatan 13 September. Justru pihak manajemenlah yang bernisiatif memasukkan klausul pada ayat tujuh yang mengatakan "para pihak dengan itikad baik berlandaskan kemitraan berupaya memelihara dan menjaga suasana kerja dan dapat berkarya dengan tenang, baik, serta secara bersama-sama bahu membahu memastikan Harian Kompas terbit setiap hari dengan kualtias baik dan tepat waktu." Dua bulan setelah ditandatangani, kesepakatan ini dijegal keinginan saya untuk berkarya dengan tenang hanya menjadi impian. Kalau tidak salah, saya juga pernah mengatakan di milis ini, bahwa saya sempat ditanya kok tidak ada suaranya? Saya bilang radio sedang saya matikan. Sehari sebelumnya dokumen-dokumen telah saya masukkan dalam kardus dan hampir saya lakban. Ternyata sore hari itu saya mendapat berita dibuang ke Ambon.
Sedikit banyak, pembelaan diri saya baik yang saya lakukan sendiri maupun yang dilakukan oleh Komite, pasti menyangkut juga institusi. Bagaimana bisa dihindarkan karena orang-orang yang melakukan tindakan kekerasan dan antiunion bertindak atas nama institusi. Kalau wartawan Kompas mau sedikit adil, seruan itu juga sebagian harus ditujukan pada mereka.
Saya bisa bicara sangat panjang karena saya lagi tidak punya kerjaan. Pendek kata seruan ini menurut saya tidak memecahkan persoalan. Seruan ini justru bisa digunakan sebagai senjata baru beberapa orang di manajemen untuk menutup pintu dialog dan untuk membenarkan pemecatan yang tidak absah dan tidak memenuhi syarat kepatutan. Seruan ini justru akan makin mendorong manajemen Kompas dan saya yang didukung kekuatan demokrasi dan serikat pekerja untuk beradu kepala dan mengobarkan total war. Saya tidak ingin itu terjadi. Saya pendukung perdamaian, saya belajar konflik dan masuk dalam jaringan aktivis resolusi konflik, sehingga saya yakin cara dialog damai merupakan cara penyelesaian yang baik. Saya tidak mematok harga mati tetapi jangan saya dibujuk dengan pesangon dua puluh tahun masa kerja. Saya ingin membesarkan anak saya dengan keringat saya, bukan dari uang hasil gambling. Dan seperti yang telah diberitahukan melalui para pengacara saya, saya akan masuk kerja lagi per 1 Februari 2007. Mudah-mudahan mulai hari itu kita bisa berkarya dalam damai demi kemajuan kita bersama.
Salam saya dari luar pagar,
P. Bambang Wisudo |
posted by KOMPAS @
11:02 PM
|
|
|
|
Previous Post |
|
Archives |
|
Powered by |
|
|
This comment has been removed by a blog administrator.