Anggota Koalisi
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Aliansi Buruh Menggugat/ABM (KASBI, SBSI 1992, SPOI, SBTPI, FNPBI, PPMI, PPMI 98, SBMSK, FSBMI, FSBI, SBMI, SPMI, FSPEK, SP PAR REF, FKBL Lampung, SSPA NTB, KB FAN Solo, AJI Jakarta, SBJ, FKSBT, FPBC, FBS Surabaya, PC KEP SPSI Karawang, GASPERMINDO, ALBUM Magelang, FKB Andalas), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, IKOHI, KONTRAS, PPR, Somasi-Unas, SPR, Arus Pelangi, GMS, LPM Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Praksis, Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ), FMKJ, Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), FSPI, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Repdem Jakarta, SPN, OPSI, SP LIATA, SPTN Blue Bird Grup
Links
Media
Saturday, February 3, 2007
Lagi; Kompas dan Serikat Pekerja
Oleh : Liston P Siregar

"Perusahaan atau pengusaha yang takut pada Serikat Buruh adalah perusahaan atau pengusaha yang punya kecenderungan mengeksploitir pekerjanya."

Sistem perekonomian kapital yang berorientasi pada profit jelas akan menggunakan hukum ekonomi yang paling sederhana; mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya. Itu hukum ekonomi yang akan dilakukan oleh setiap orang -sebodoh apapun dia- jika ingin menjalankan usaha. Bedanya, yang bodoh akan gagal sedangkan yang tidak bodoh bisa juga tetap gagal, berhubung di Indonesia faktor non ekonomis amat penting dalam keberhasilan usaha.

Tapi ini bukan soal ekonomi. Soalnya adalah serikat buruh; sistem perwakilan untuk menjamin hak-hak buruh berdasarkan sistem yang baku.

Hak-hak buruh atau pekerja tidak akan bisa diserahkan kepada belas kasihan pengusaha, perusahaan, atau pemodal. Hak-hak pekerja harusselalu merupakan kesepakatan resmi kedua belah pihak -buruh dan pemodal.

Singkatnya, ini adalah soal (mantan) seorang pekerja dan Harian Kompas.

Sudah lama diyakini bahwa seorang karyawan atau buruh, sebutlah, Bambang Wisudo tidak akan bisa berunding dalam posisi sama kuat dengan seorang pemodal, sebutlah, Jakob Oetama. Itulah sebabnya sebuah serikat buruhdiperlukan untuk, paling tidak, menyeimbangkan jurang besar dalam kekuatan tawar-menawar.

REVOLUSI INDUSTRI
Sekedar mengulang kembali, serikat buruh merupakan reaksi atas Revolusi Industri ketika teknologi mesin uap menggeser perekonomian sektor agraria. Mulailah diperlukan modal besar untuk pengadaan teknologi dansekaligus pula pengerahan buruh massal untuk operasi tekonologi sertapasokan sumber energi batu bara.

Para bangsawan --yang sebelumnya cuma duduk bengong menunggu setoran dari para petani penyewa-- maupun pionir yang berani mengambil resiko, berorientasi semata-mata pada pengembalian modal dalam waktu secepatnya.

Untuk menjamin pengembalian modal dan perolehan keuntungan, maka dibuatlah peraturan kerja yang ketat dan berat sehingga para buruh yang tidak mampu mengikutinya akan mendapat sanksi. Satu menit tiba-tiba menjadi amat berarti dalam roda produksi mekanis yang masih membutuhkan pengerahan massal buruh. Sementara harga-harga di pasar meningkat --akibat investasi untuk teknologi produksi-- para buruh berpenghasilan rendah karena tekanan kalkulasi pengeluaran dan pemasukan yang harus rapi.

Mungkin kita masih ingat prinsip Manifesto Komunis-nya Karl Marx yang menggolongkan masyarakat ke dalam kelas borjuis dan proletar.

Sederhananya, Marx mendefinisikan borjuis sebagai pemilik pabrik dan material yang diproses, sedang proletar yang menjual tenaga kepada pemilik pabrik. Keduanya memiliki kepentingan yang amat berbeda. Dan mari kita berhenti total pada gagasan tersebut; tidak usah sampai pada keyakinan bahwa konflik keduanya akin menghasilkan sebuah revolusi, yang akan dimenangkan kaum proletar. Gagasan berhenti pada kepentingan berbeda antara borjuis dan proletar.

Yang menjadi inti adalah bagaimana menyeimbangkan kekuatan borjuis dan proletar dalam mengejar kepentingan masing-masing sehingga dicapai sebuah sintesis. Oleh karena itu diperlukan collective bargaining --perundingan kolektif-- yang menjadi prinsip utama dari serikat buruh, berhubung kaum proletar secara individual amat lemah dan membutuhkan penggalangan kekuatan bersama.

Bahkan dengan collective bargaining sekalipun, dirasakan kekuatan para buruh masih juga kurang sehingga ditambah dengan hak mogok --sebagai jalan terakhir jika perundingan gagal dan mayoritas anggota serikat buruh, melalui voting, memutuskan untuk mogok.

SERIKAT BURUH
Serikat buruh tidak lepas dari perjuangan gaji, waktu kerja, dan keselamatan maupun kesehatan kerja. Tapi apakah sebuah perusahaan yang sudah memenuhi UMR dan mematuhi jam kerja, boleh bebas dari serikat buruh? Di Inggris, salah satu contoh saja, cikal bakal serikat buruh sudah ada sejak tahun 1830-an dan tetap masih ada hingga abad ke 21.

Masalah perburuhan berubah tapi kaum proletar tetap memerlukan kekuatan bersama untuk menyeimbangkan posisi tawar dengan kaum borjuis.

Di sisi lain hubungan serikat buruh dengan manajemen perusahaan sudah melewati evolusi yang panjang sehingga tidak lagi semata-mata sebagai tesis dan antitesis. Rencana General Motors untuk mem-PHK 25.000 pekerjanya jelas mendapat bantuan dari serikat buruh sehingga perampingan sekitar 40 % angkatan kerja itu --demi upaya membalikkan kerugian menjadi keuntungan-- tidak ditanggapi dengan unjuk rasa besar yang diwarnai kekerasan, seperti masa penutupan tambang batu bara di Inggris oleh Perdana Menteri Margaret Thatcher --yang tak mau bergeming pada serikat buruh.

Beberapa perusahaan besar di negara maju bahkan melepas satu dua karyawan dari pekerjaan rutin sehari-hari untuk menjadi chaplain --semacam wakil serikat buruh di perusahaan tersebut. Mereka bukanlah pengurus yayasan karyawan --yang sekedar mengurus sumbangan kelahiran, perkawinan, dan kematian atau jalan-jalan bareng maupun pertandingan tarik tambang futsal-- tapi sebagai penghubung antara sebuah kesatuan yang lebih kuat dengan manajemen perusahaan.

Pemahaman chaplain tentang perusahaan dan misi mereka dalam mencapai tujuan kesejahteraan buruh membuat hubungan serikat buruh dan manajemen sebagai symbioses mutualism, atau dalam bahasa jaman sekarang win and win solution.

Mungkin perusahaan di Indonesia yang berbasis keluarga atau individual --besar maupun kecil-menolak anti serikat buruh dengan pemikiran bahwa kesejahteraan para buruh sudah terjamin oleh niat baik pemodal.

Keyakinannya adalah serikat buruh tidak diperlukan jika tujuannya sekedar kesejahteraan -yang didefinisikan secara terbuka oleh si pemilik modal dan individu-individu pekerja- karena sudah tercapai.

Tapi kepentingan proletar -demikian pula halnya pemilik modal-- bergerak terus sesuai perkembangan jaman. Dan tanpa serikat buruh tak ada jaminan kepentingan pekerja akan bisa dicapai lewat sebuah sistem yang baku.

Seorang pemodal mungkin memberikan bonus 200% ketika istrinya ulang tahun, namun tidak bersedia meningkatkan gaji pekerja sesuai tingkat inflasi, walaupun perusahaan mampu tapi akan mengurangi tingkat keuntungan. Dan serikat buruh bisa menjadi mitra berunding untuk tidak menaikkan gaji sesuai inflasi berhubung kenaikan harga BBM telah meroketkan biaya operasi --jadi bukan karena putra sulung Direktur Utama tabrakan di Jagorawi.

HARIAN KOMPAS
Apa yang terjadi di Kompas saat ini --yaitu unjuk rasa dengan pengeras suara yang mengganggu dan pernyataan bersama karyawan tentang misi dan tujuan Kompas yang mulia, plus saling menghantam dan bertahan- cuma kosmetik saja.

Isu pokoknya adalah apakah Kompas bersedia menerima serikat buruh beroperasi di dalam sistem manajemen atau tidak. Jika tidak, memang bisa disederhanakan sebagai pilihan bebas dari pemilik modal, tapi prinsipnya itu adalah pilihan yang tidak bertanggung-jawab -atau beberapa orang mungkin lebih suka memilih 'tidak bermoral.'

Inti dari sebuah perusahaan yang 'mulia' adalah mengakui keberadaan serikat buruh, terlepas dari misi, visi, dan sejarah perusahaan -yang bisa ditulis dalam pernyataan kosong dengan polesan perusahaan PR di brosur yang indah.

Bahwa tak satupun kemudian pekerja yang bergabung dengan serikat buruh merupakan sebuah pilihan bebas individu pekerja.

Jelas pula bahwa tujuan serikat buruh di industri pers Indonesia bukanlah sekedar memperjuangan perolehan saham 20%. Tapi masih ada perpanjangan masa cuti tahunan, misalnya, uang transport untuk pekerja yang pulang dari kantor di atas jam 22.00 WIB, atau pemberantasan diskriminasi jenis kelamin, misalnya.

Serikat buruh juga jelas bukan alat untuk anarki proletar dengan mengabaikan sama sekali faktor manajemen dan kultur perusahaan. Intinya adalah semua keputusan di dalam sebuah perusahaan seharusnya merupakan sintesis dari tesis dan antitesis; kesepakatan borjuis dan proletar.

Maka, amatlah berlebihan tindakan PHK atas seorang pekerja dengan alasan manajemen telah kehilangan kepercayaan atas pekerja bersangkutan --karena menempel selebaran di kamar mandi atau melakukan rapat di lingkungan perusahaan dengan melibatkan pihak luar. Tindakan ini seperti mengingatkan pada kisah-kisah yang dialami warga Indonesia di jaman kolonialisme Belanda dulu.

Masalah yang terjadi di Harian Kompas bisa dikatakan sebagai hasil dari tidak adanya serikat buruh yang mampu menegur karyawan yang melanggar peraturan ketenaga-kerjaan perusahaan --yang merupakan kesepakatan bersama antara serikat buruh dan manajemen. Di sisi lain, juga karena tidak adanya serikat buruh yang mampu membela karyawan ketika di PHK oleh Departemen Sumber Daya Manusia secara sepihak.

Tanpa serikat buruh, yang terjadi adalah perselisihan atau pertengkaran serabutan dengan mengandalkan kekuatan masing-masing --kapital melawananarki. Hasilnya kira-kira; borjuis menang secara legal formal --di dalam sebuah iklim penerapan undang-undang Ketenaga-kerjaan yang lemah--dan proletar menang dalam mengungkapkan kemarahan -di dalam iklim masyarakat yang lebih peduli pada citra diri.

Seperti yang melanda Harian Kompas belakangan ini.

Terlepas dari kemarahan atau radikalisme orang per-orang, dan juga terlepas dari nilai luhur, misi mulia, dan sejarah terhormat Harian Kompas --yang dianggap sebagai salah satu lembaga demokrasi di Indonesia-sudah saatnya semua pihak yang berkepentingan mengembalikan persoalan ke inti dasarnya; eksistensi serikat buruh di sebuah perusahaan yang secara keuangan tergolong amat sehat.

"Perusahaan atau pengusaha yang secara keuangan sehat tapi tidak mempunyai serikat buruh adalah perusahaan atau pengusaha yang sakit,"


1 Februari 2007,
Liston Siregar,Wartawan BBC sekarang menetap di London, Inggris

posted by KOMPAS @ 10:36 PM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
Previous Post
Archives
Powered by

Hit Counter
Hit Counter

Free Blogger Templates
BLOGGER

http://rpc.technorati.com/rpc/ping <