Anggota Koalisi
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Aliansi Buruh Menggugat/ABM (KASBI, SBSI 1992, SPOI, SBTPI, FNPBI, PPMI, PPMI 98, SBMSK, FSBMI, FSBI, SBMI, SPMI, FSPEK, SP PAR REF, FKBL Lampung, SSPA NTB, KB FAN Solo, AJI Jakarta, SBJ, FKSBT, FPBC, FBS Surabaya, PC KEP SPSI Karawang, GASPERMINDO, ALBUM Magelang, FKB Andalas), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, IKOHI, KONTRAS, PPR, Somasi-Unas, SPR, Arus Pelangi, GMS, LPM Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Praksis, Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ), FMKJ, Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), FSPI, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Repdem Jakarta, SPN, OPSI, SP LIATA, SPTN Blue Bird Grup
Links
Media
Thursday, April 26, 2007
Suara Karya: Kompas Digugat Rp 500 Miliar


Rabu, 18 April 2007

JAKARTA (Suara Karya): Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (Kompas) mengajukan gugatan perdata "anti union" terhadap PT Kompas Media Nusantara (KMN), penerbit Harian Umum Kompas, sebesar Rp500 miliar, terkait dugaan penghalangan kegiatan serikat pekerja harian itu.

"Tindakan penghalang-halangan kegiatan Serikat Pekerja dilakukan oleh pengusaha dengan tindakan mutasi dan pemutusan hubungan kerja secara sepihak terhadap Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas, Bambang Wisudo," kata Koordinator Non-Litigasi Kompas, Winuranto Adi di Jakarta, Rabu.

Kompas, kata Winuranto, mendaftarkan gugatan perdatanya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (18/4) dan dicatat oleh panitera dengan No.149/PDT.G/2007/PN Jakarta Pusat.

Dikatakannya, tindakan mutasi dan PHK sepihak kepada Bambang tersebut, merupakan tindakan balas dendam akibat adanya kesepakatan jaminan alokasi 20 persen deviden dari PT Kompas selama perusahaan berdiri.

Ketentuan tersebut akan mengikat pemegang saham saat ini dan di masa akan datang dan harus dicantumkan dalam Anggaran Dasar PT KMN dan perubahan ketentuan itu harus melalui persetujuan karyawan.

"Kesepakatan itu merugikan karyawan karena mereka kehilangan 20 persen saham atas PT KMN yang diwariskan PK Ojong selaku pendiri Kompas," kata Winuranto.

Pada 15 Nopember 2006, rapat redaksi Kompas mengumumkan mutasi terhadap, keduanya adalah Bambang Wisudo dan Syahnan Rangkuti yang merupakan tim perunding perwakilan PKK. Keputusan itu tanpa pemberitahuan.

Dia menambahkan, jika gugatan itu dikabulkan dan Kompas harus membayar Rp500 miliar maka ganti rugi immateriil ini akan dikembalikan untuk gerakan Serikat Pekerja, baik di dalam maupun di luar Kompas.

Kompas antara lain terdiri Lembaga Bantuan Hukum Pers, Aliansi Jurnalis Independen, Aliansi Buruh Menggugat, Kontras, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Serikat Mahasiswa Indonesia dan sejumlah forum yang mendukung Serikat Pekerja. (Antara)

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=171051
posted by KOMPAS @ 11:37 PM   0 comments
Police Watch: Kompas Digugat Rp 500 Miliar
Indonesia Police Watch

Indonesia-policewatch.com:Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (Kompas) mengajukan gugatan perdata "anti union" terhadap PT Kompas Media Nusantara (KMN), penerbit Harian Umum Kompas, sebesar Rp500 miliar, terkait dugaan penghalangan kegiatan serikat pekerja harian itu.

"Tindakan penghalang-halangan kegiatan Serikat Pekerja dilakukan oleh pengusaha dengan tindakan mutasi dan pemutusan hubungan kerja secara sepihak terhadap Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas, Bambang Wisudo," kata Koordinator Non-Litigasi Kompas, Winuranto Adi di Jakarta, Rabu (18/4).

Kompas, kata Winuranto, mendaftarkan gugatan perdatanya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (18/4) dan dicatat oleh panitera dengan No.149/PDT.G/2007/PN Jakarta Pusat.

Dikatakannya, tindakan mutasi dan PHK sepihak kepada Bambang tersebut, merupakan tindakan balas dendam akibat adanya kesepakatan jaminan alokasi 20 persen deviden dari PT Kompas selama perusahaan berdiri.

Ketentuan tersebut akan mengikat pemegang saham saat ini dan di masa akan datang dan harus dicantumkan dalam Anggaran Dasar PT KMN dan perubahan ketentuan itu harus melalui persetujuan karyawan.

"Kesepakatan itu merugikan karyawan karena mereka kehilangan 20 persen saham atas PT KMN yang diwariskan PK Ojong selaku pendiri Kompas," kata Winuranto.

Pada 15 Nopember 2006, rapat redaksi Kompas mengumumkan mutasi terhadap, keduanya adalah Bambang Wisudo dan Syahnan Rangkuti yang merupakan tim perunding perwakilan PKK. Keputusan itu tanpa pemberitahuan.

Dia menambahkan, jika gugatan itu dikabulkan dan Kompas harus membayar Rp500 miliar maka ganti rugi immateriil ini akan dikembalikan untuk gerakan Serikat Pekerja, baik di dalam maupun di luar Kompas.

Kompas antara lain terdiri Lembaga Bantuan Hukum Pers, Aliansi Jurnalis Independen, Aliansi Buruh Menggugat, Kontras, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Serikat Mahasiswa Indonesia dan sejumlah forum yang mendukung Serikat Pekerja. (IPW/ANT)

http://indonesia-policewatch.com/adil/pengadilan.php?act=open&idberita=9977
posted by KOMPAS @ 11:36 PM   0 comments
Wikimu: Kompas Digugat 500 Milyar
Sumber: Wikimu
Rabu, 18-04-2007
17:31:48
oleh: bajoe
Kanal: Peristiwa

Rabu siang (18/4) , sebuah gugatan “anti union” (union busting) didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pihak yang tergugat adalah Harian Kompas, dengan besar gugatan Rp 500 milyar.

Pihak penggugat adalah KOMPAS , yang merupakan kependekan dari Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja. Komite ini adalah aliansi dari berbagai organisasi seperti YLBHI, LBH APIK, AJI, ABM (Aliansi Buruh Menggugat) , dan sekian banyak organisasi lainnya. Apa yang melatarbelakangi komite mengajukan gugatan ini adalah buntut dari kasus pemecatan wartawan Kompas Bambang Wisudo. Pemecatan Bambang Wisudo dianggap oleh Komite sebagian dari tindakan anti serikat buruh dari perusahaan, dalam hal ini harian Kompas.

Gugatan anti union ini adalah untuk pertama kalinya terjadi di Indonesia, di mana tindakan sebuah perusahaan yang menghalang-halangi aktivitas serikat buruh adalah masalah pelanggaran hukum yang serius. Harian Kompas dianggap anti union karena memutasikan beberapa pengurus serikat buruh Kompas yang bernama Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK). Syahnan Rangkuti selaku ketua PKK dan Bambang Wisuda sebagai sekretaris PKK, pada awal Desember tahun lalu dimutasikan begitu saja ke Padang dan Ambon oleh manajemen Kompas. Padahal sebagai pengurus serikat buruh, mereka mempunyai hak menolak (dilindungi UU) mutasi tersebut, selama masih menjabat dengan alasan dapat mengganggu roda organisasi serikat. Karena Bambang Wisudo menolak mutasi tersebut, maka dia mendapat sanksi berupa pemecatan atau PHK. Hal inilah yang mendorong banyak organisasi, terutama yang bersinggungan dengan masalah perburuhan, bersatu dalam komite untuk membela hak-hak Bambang Wisudo.

Namun karena ini merupakan gugatan “union busting” pertama kalinya di Indonesia, masih menyisakan tanda tanya apakah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat mengakomodir hal ini? Seperti juga beberapa tahun yang lalu, ketika gugatan “class action” pertama kali di Indonesia diajukan ke pengadilan, hasil akhirnya adalah penolakan majelis hakim dengan alasan tidak ada dasar hukumnya. Apakah gugatan union busting ini akan menjalani cerita yang sama?

http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?ID=2104
posted by KOMPAS @ 11:33 PM   0 comments
Tuesday, April 24, 2007
Halangi Serikat Pekerja, Harian Kompas Digugat
Kapanlagi.com - Mantan karyawan Kompas P Bambang Wisudo menggugat manajemen Harian Umum Kompas, Peminpin Umum Kompas, Jakob Oetama, dan Pemimpin Redaksi Kompas, Suryopratomo, untuk membayar ganti rugi imateriil sebesar Rp500 miliar.

Gugatan "anti union" akibat perbuatan manajemen Kompas yang dinilai menghalang-halangi kegiatan serikat pekerja itu didaftarkan pada panitera muda perdata Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu.

Kuasa hukum Wisudo, Sholeh Ali, dari LBH Pers mengatakan gugatan "anti union" merupakan gugatan perdata pertama kali yang diajukan di Indonesia.

"Selama ini serikat pekerja dianggap musuh dari pengusaha. Untuk itu, kami meminta agar PN Jakarta Pusat bersikap adil dalam memutus perkara ini," katanya.

Manajemen Kompas dinilai melakukan perbuatan melawan hukum karena melakukan mutasi, dan kemudian memberhentikan Wisudo, agar wartawan itu tidak dapat lagi melakukan aktivitasnya sebagai Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK).

Akibat perbuatan manajemen Kompas itu, Wisudo mengklaim, menderita kerugian materiil senilai Rp7,84 juta yang di antaranya adalah biaya komunikasi seluler yang dikeluarkan sejak Desember 2006, biaya pengajuan gugatan dan biaya transportasi untuk mengurus perkaranya.

Sedangkan kerugian immateriil yang diderita, di antaranya adalah ketidakpastian masa depan keluarga dan tercemarnya nama baik sebagai wartawan senior Kompas.

Dalam gugatannya, Wisudo menyatakan ganti rugi imateriil yang dituntutnya sebesar Rp500 miliar itu tidak akan membuat bangkrut Kompas, karena nilai itu hanya setara dengan keuntungan Kompas selama satu tahun.

Wisudo juga menjanjikan, apabila gugatannya dikabulkan, ganti rugi imateriil itu akan dihibahkan untuk kemajuan pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia karyawan Kompas dan anak-anak Kompas yang akan dikelola oleh Serikat Pekerja Independen di Harian Kompas.

Selain itu, dana tersebut juga akan digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kapasitas organisasi serikat-serikat pekerja dan lembaga advokasi serikat pekerja di Indonesia. (*/rsd)

http://www.kapanlagi.com/h/0000167529.html
posted by KOMPAS @ 10:04 PM   0 comments
Kabar Dari Koran Analisa Medan
Bambang Wisudo Gugat ‘Kompas’ Rp500 Miliar

Jakarta, (Analisa) Mantan karyawan Kompas P Bambang Wisudo menggugat manajemen Harian Umum Kompas, Pemimpin Umum Kompas, Jakob Oetama, dan Pemimpin Redaksi Kompas, Suryopratomo, untuk membayar ganti rugi imateriil sebesar Rp500 miliar.

Gugatan "anti union" akibat perbuatan manajemen Kompas yang dinilai menghalang-halangi kegiatan serikat pekerja itu didaftarkan pada panitera muda perdata Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (18/4).

Kuasa hukum Wisudo, Sholeh Ali, dari LBH Pers mengatakan gugatan "anti union" merupakan gugatan perdata pertama kali yang diajukan di Indonesia.

"Selama ini serikat pekerja dianggap musuh dari pengusaha. Untuk itu, kami meminta agar PN Jakarta Pusat bersikap adil dalam memutus perkara ini," katanya.

Manajemen Kompas dinilai melakukan perbuatan melawan hukum karena melakukan mutasi, dan kemudian memberhentikan Wisudo, agar wartawan itu tidak dapat lagi melakukan aktivitasnya sebagai Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK).

Akibat perbuatan manajemen Kompas itu, Wisudo mengklaim, menderita kerugian materiil senilai Rp7,84 juta yang di antaranya adalah biaya komunikasi seluler yang dikeluarkan sejak Desember 2006, biaya pengajuan gugatan dan biaya transportasi untuk mengurus perkaranya.

Sedangkan kerugian immateriil yang diderita, di antaranya adalah ketidakpastian masa depan keluarga dan tercemarnya nama baik sebagai wartawan senior Kompas.

Dalam gugatannya, Wisudo menyatakan ganti rugi imateriil yang dituntutnya sebesar Rp500 miliar itu tidak akan membuat bangkrut Kompas, karena nilai itu hanya setara dengan keuntungan Kompas selama satu tahun.

Wisudo juga menjanjikan, apabila gugatannya dikabulkan, ganti rugi imateriil itu akan dihibahkan untuk kemajuan pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia karyawan Kompas dan anak-anak Kompas yang akan dikelola oleh Serikat Pekerja Independen di Harian Kompas.

Selain itu, dana tersebut juga akan digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kapasitas organisasi serikat-serikat pekerja dan lembaga advokasi serikat pekerja di Indonesia. (Ant)

http://72.14.253.104/search?q=cache:tfoJD8CwcCUJ:www.analisadaily.com/4-2.htm+Bambang+Wisudo&hl=en&ct=clnk&cd=33
posted by KOMPAS @ 9:54 PM   0 comments
Sunday, April 22, 2007
Panik Digugat, Tommy Keluarkan Pemecatan Kedua
Jakarta, Kompas Inside. Di luar dugaan, gugatan Bambang Wisudo sebesar 500 milyar terhadap Kompas mendapat sambutan hangat dari rekan-rekannya di harian tersebut.

Ironisnya karena panik digugat, Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo alias Tommy, malah mengeluarkan surat pemecatan ke Bambang Wisudo untuk kedua kalinya.

Dalam dua hari terakhir, Bambang Wisudo memang banyak memperoleh pesan singkat (SMS) berisi komentar atas gugatan tersebut.

"Malah dengan berseloroh, ada sebagian yang 'meminta bagian' bila saya memenangkan gugatan tersebut," aku Bambang saat dihubungi Senin, (23/4/2007) pagi ini.

Wisudo sendiri dengan tegas kembali menyatakan komitmennya untuk mengembalikan 60 persen gugatan ganti rugi itu ke karyawan Kompas. Ia akan menyerahkan dana itu untuk jaminan pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia karyawan Kompas beserta anak-anaknya.

Sedangkan 40 persen ganti rugi immateriil lainnya, akan dialokasikan Bambang Wisudo untuk pengembangan kapasitas serikat buruh dan lembaga-lembaga advokasi peruburuhan di luar Kompas.

Surat PHK Kedua
Sebaliknya, reaksi Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo alias Tommy terkesan murka dan panik dengan gugatan tersebut.

Lucunya, kepanikan itu malah ditunjukkan Tommy dengan mengeluarkan surat pemecatan kedua kalinya ke Bambang Wisudo, Kamis (19/3/2007) pekan lalu.

Tanggal surat itu memang hanya terpaut sehari setelah tim pengacara Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja mendaftarkan gugatan tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Menurut Wisudo, dalam surat yang diserahkan sekretaris Tommy, Agatha Dei, kali ini, Suryopratomo melakukan sedikit koreksi. Ia tidak lagi memerankan dirinya sebagai Pemimpin Redaksi, tapi sebagai Direktur PT Kompas Media Nusantara.

Berbeda dengan surat pemecatan pertama yang masih bersembunyi dibalik kata-kata 'pemberitahuan,' kali ini surat ini diberi judul "Keputusan tentang Penegasan dan Penguatan Kembali Pemutusan Hubungan Kerja Sdr. Paulus Bambang Wisudo, Wartawan Harian Kompas PT Kompas Meda Nusantara."

Nomer Satu
Ironisnya, surat keputusan yang ditanda-tangani Tommy itu pun mendapatkan kehormatan angka satu. Yakni No. 01/PHK/Dr/KMN/IV/2007.

Maklum, pemecatan terhadap Bambang Wisudo ini memang istimewa. Pemecatan ini merupakan PHK pertama kali selama 41 tahun perjalanan harian Kompas.

Keluarnya surat PHK sebanyak dua kali ini memang semakin menegaskan adanya itikad buruk manajemen untuk memberangus serikat pekerja (union busting) di harian itu.

Pasalnya, orang bodoh pun tahu Bambang Wisudo dipecat dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas, sebuah serikat pekerja yang sah dan terdaftar di negara.

Lobi Menaker

Namun, berbeda dengan surat pemecatan yang diterima Wisudo pada 8 Desember 2006, kali ini Suryopratomo mencoba melegitimasi tindakannya sudah sesuai dengan hukum yang berlaku.

Dalam surat PHK edisi 'revisi' itu, Tommy juga mengutip sejumlah Undang-Undang (UU). Antara lain UU KUHPerdata, UU Ketenagakerjaan, dan UU Penyelesaian Hubungan Industrial. Selain itu ia juga mengutip Surat Edaran Menaker tahun 2005 tentang PHK karena alasan mendesak.

Meski demikian, menghadapi desakan yang makin kuat dari luar, Tommy kabarnya telah melakukan lobi pribadi ke Menaker Erman Suparno.

Bahkan kabarnya, secara khusus Tommy meminta desk Opini Kompas agar memuat tulisan Menaker Erman Suparno. Kabarnya lagi, Tommy juga menempuh segala cara agar penyelidikan kasus kriminal yang sedang ditangani pihak kepolisian dihentikan.

Sementara itu, reaksi tim litigasi Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) justru tenang-tenang saja saat diberitahu ada surat pemecatan Wisudo untuk kedua kalinya itu.

Tim litigasi Komite menilai surat itu hanya mencerminkan kepanikan Tommy dan manajemen Kompas terhadap gugatan tersebut. (tom/E1)
posted by KOMPAS @ 7:28 PM   0 comments
Friday, April 20, 2007
Kompas Digugat Rp 500 Miliar
Jum'at, 20 April 2007
sumber: hukum online,

Kompas beserta pemimpin umum dan pemimpin redaksinya dinilai anti serikat pekerja (Anti Union). Inilah gugatan Anti Union pertama di negeri ini.

Sekali bendera dikibarkan, pantang untuk diturunkan. Serupa itulah tekad yang mendiami dada mantan wartawan Kompas Bambang Wisudo. Dengan mengusung bala bantuan dari sejumlah LSM yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS), Rabu (18/4), Bambang mendatangi PN Jakarta Pusat.

Kedatangan Bambang tak lain untuk melayangkan gugatan perdata kepada Kompas—perusahaan yang telah mempekerjakannya selama 16 tahun. Sekitar pukul 10.45 WIB, gugatan itu resmi didaftarkan dengan register No. 149/Pdt.G/2007.

PT Kompas Media Nusantara (PT KMN) selaku penerbit harian Kompas menjadi tergugat utama. Tergugat lainnya adalah Jakob Oetama selaku Pemimpin Umum Harian Kompas dan Suryopratomo selaku Pemimpin Redaksi Harian Kompas.

Bambang dan tim advokasinya menamai gugatan itu sebagai gugatan Anti Serikat Pekerja (Anti Union). Disebut demikian karena mereka berpendirian telah terjadi tindakan penghalang-halangan kegiatan Bambang yang tergabung dalam Perkumpulan Karyawan Kompas oleh PT KMN, Jakob Oetama dan Suryopratomo. Tindakan tersebut, bagi Bambang, merupakan pelanggaran terhadap Pasal 28 UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Pasal 28 UU No. 21/2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh


Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara:
a.melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;
b.tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c.melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;
d.melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.


Di berkas gugatan yang diterima Hukumonline dijelaskan, kesalahan Suryopratomo adalah sengaja melakukan intimidasi, mutasi dan PHK terhadap Bambang. Setidaknya, dia mengetahui dan menghendaki tindakannya. Sementara itu, Jakob Oetama bersalah karena membiarkan perbuatan melawan hukum itu terjadi.

Tim advokasi Bambang mendasarkan gugatannya pada Pasal 1367c KUHPerdata. Dalam pasal itu dinyatakan, "Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya."

Tanpa ragu, Bambang menuntut ganti rugi Rp 500 miliar. Angka sebesar itu untuk ganti rugi immaterial. Sedangkan ganti rugi material justru hanya sebesar Rp7,8 juta. "Ganti rugi itu nanti dialokasikan untuk pengembangan SDM karyawan Kompas dan beasiswa untuk menjamin karyawan kompas yang tidak mampu menyekolahkan anaknya ke Perguruan Tinggi. Selain itu juga untuk pengembangan SDM serikat pekerja dan organisasi advokasi serikat pekerja di tanah air," kata Bambang.

Selain menuntut ganti rugi, Bambang juga meminta para tergugat memulihkan kembali statusnya seperti sedia kala sebagai wartawan untuk posisi reporter utama bidang pendidikan. Bambang juga menuntut agar pada tergugat meminta maaf di sejumlah media massa, baik cetak maupun elektronik. Pada intinya, permintaan maaf itu berisi pengakuan bersalah telah melakukan kekerasan, perampasan kemerdekaan, dan pemecatan secara sepihak kepada Bambang.

Diselesaikan 'Secara Adat'?
Jika segalanya berjalan lancar, dua pekan mendatang gugatan ini akan mulai disidangkan. Baik pihak Bambang maupun Kompas sudah siap beradu argumen dan bukti di persidangan. "Kami sudah tahu adanya gugatan ini. Tentu kami sudah siap," kata Untung Herminanto, Kepala Bidang Hukum dan Hubungan Industrial Kelompok Kompas Gramedia (KKG).

Lantas, tidak terlalu berlebihan-kah tuntutan ganti rugi Rp500 miliar itu? Bambang sendiri yakin tidak berlebihan, sebab tuntutan sejumlah itu tak akan membuat bangkrut Kompas. "Jumlah itu setara dengan keuntungan Kompas selama satu tahun," ujar Bambang.

Namun Untung berpendapat lain. Meski diakuinya jumlah ganti rugi pada dasarnya unlimited, ganti rugi yang diminta Bambang menurutnya di luar kewajaran. "Jumlah itu tidak realistis. Belum pernah KKG digugat segitu," ungkapnya.

Meski demikian, Untung merasa tak perlu memusingkan soal angka. "Yang penting pokok perkara. Soal angka, itu persoalan kedua," ujarnya sembari menambahkan belum membaca berkas gugatan Bambang.

Pada prinsipnya, imbuh Untung, pihak Kompas akan menempuh jalur musyawarah. Biarpun perkara ini sudah digelar di meja hijau, musyawarah tetap akan ditempuhnya. "Hal itu tidak lain untuk mendapatkan win-win solution," lanjut Untung.

Penyelesaian 'secara adat' itulah yang tampaknya bakal dipilih Kompas. Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Agung Adiprasetyo sudah memberikan sinyal itu. "Kami ingin selesai dengan baik-baik," ujarnya ketika ditemui dalam sebuah acara di Plaza Bank Mandiri pekan silam (10/4).

Bambang sendiri berharap tuntutannya bakal dipenuhi. Bagi dia, gugatan ini punya makna bagi perjuangan buruh, sebab gugatan ini merupakan gugatan Anti Union pertama di Indonesia. (Her/Ycb)
posted by KOMPAS @ 3:40 AM   0 comments
Wednesday, April 18, 2007
Gugatan Rp 500 M ke Kompas Buat Serikat Buruh
Sumber: Kantor Berita Antara
8/04/07 18:30

Jakarta (ANTARA News) - Mantan karyawan Kompas P Bambang Wisudo menggugat manajemen Harian Umum Kompas, Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama, dan Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo, untuk membayar ganti rugi imateriil sebesar Rp 500 miliar.

Gugatan "anti union" akibat perbuatan manajemen Kompas yang dinilai menghalang-halangi kegiatan serikat pekerja itu didaftarkan pada panitera muda perdata Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu.

Kuasa hukum Wisudo, Sholeh Ali dari LBH Pers mengatakan gugatan "anti union" merupakan gugatan perdata pertama kali yang diajukan di Indonesia.

"Selama ini serikat pekerja dianggap musuh dari pengusaha. Untuk itu, kami meminta agar PN Jakarta Pusat bersikap adil dalam memutus perkara ini," katanya.

Manajemen Kompas dinilai melakukan perbuatan melawan hukum karena melakukan mutasi, dan kemudian memberhentikan Wisudo, agar wartawan itu tidak dapat lagi melakukan aktivitasnya sebagai Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK).

Akibat perbuatan manajemen Kompas itu, Wisudo mengklaim, menderita kerugian materiil senilai Rp7,84 juta yang di antaranya adalah biaya komunikasi seluler yang dikeluarkan sejak Desember 2006, biaya pengajuan gugatan dan biaya transportasi untuk mengurus perkaranya.

Sedangkan kerugian immateriil yang diderita, di antaranya adalah ketidakpastian masa depan keluarga dan tercemarnya nama baik sebagai wartawan senior Kompas.

Dalam gugatannya, Wisudo menyatakan ganti rugi imateriil yang dituntutnya sebesar Rp500 miliar itu tidak akan membuat bangkrut Kompas, karena nilai itu hanya setara dengan keuntungan Kompas selama satu tahun.

Wisudo juga menjanjikan apabila gugatannya dikabulkan, ganti rugi imateriil itu akan dihibahkan untuk kemajuan pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia karyawan Kompas dan anak-anak Kompas yang akan dikelola oleh Serikat Pekerja Independen di Harian Kompas.

Selain itu, dana tersebut juga akan digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kapasitas organisasi serikat-serikat pekerja dan lembaga advokasi serikat pekerja di Indonesia.(*)

http://www.antara.co.id/arc/2007/4/18/bambang-wisudo-gugat-kompas-rp500-miliar/
posted by KOMPAS @ 4:52 AM   0 comments
Bambang Wisudo Gugat Kompas Rp 500 Miliar
Sholahudin Achmad - Okezone

JAKARTA - Bambang Wisudo mendaftarkan gugatan terhadap Kompas, Jacob Oetama, dan Suryopratomo, di PN Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Rabu (18/4/2007). Tuntutan ganti rugi immaterial sebesar Rp 500 miliar dicantumkan dalam gugatan ‘anti union’ tersebut.

Wartawan plus pengurus serikat karyawan Kompas ini mengatakan, gugatan hukum itu muncul setelah sebelumnya anjuran dari Dinas Tenaga Kerja DKI kepada Kompas, untuk mempekerjakan kembali dirinya, tak digubris pihak Kompas.

Dalam siaran persnya, Wisudo mengatakan, ganti rugi immaterial kelak akan dialokasikan untuk keperluan pengembangan SDM karyawan Kompas, dan beasiswa untuk menjamin karyawan Kompas yang tidak mampu menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi.

Dana itu, akan dikelola serikat pekerja independen di Kompas. Selain itu, akan dialokasikan untuk pengembangan kapasitas organisasi dan SDM serikat pekerja, dan organisasi-organisasi advokasi serikat pekerja di tanah air.

"Gugatan ini untuk mengukur apakah Kompas berat ke nilai uangnya, atau berat untuk mempekerjakan saya kembali," ujar Wisudo, saat dihubungi okezone, usai mendaftarkan gugatan.

Seperti diketahui, Wisudo dipecat akhir tahun lalu, dengan tuduhan menimbulkan keresahan di kalangan karyawan. Sebelum dipecat, wartawan yang sudah bekerja 15 tahun di Kompas itu mengaku sempat disekap oleh satpam perusahaannya.

Sebagai Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas, Wisudo juga menolak mutasi atas dirinya, yang dinilai sebagai upaya membungkam sikap kritis dirinya yang mempertanyakan soal saham kolektif milik karyawan Kompas.

Pemecatan Wisudo menuai kecaman dari berbagai kalangan di dalam dan luar negeri, dikarenakan PHK tersebut berkaitan dengan upaya memberangus keberadaan serikat pekerja perusahaan media. (adi)

http://www.okezone.com/index.php?option=com_content&task=view&id=14426&Itemid=67
posted by KOMPAS @ 4:07 AM   0 comments
Lakukan Union Busting, Jakob Oetama Cs Digugat
"Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara a) melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara; b) menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi; c ) tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh; d) melakukan intimidasi dalam bentuk apapun."


Jakarta, Kompas Inside.
Hari ini, Rabu (18/4/2007) pukul 11.00 WIB, Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) atas nama Bambang Wisudo, resmi mengajukan gugatan anti union di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan tuntutan ganti rugi imateriil sebesar Rp 500 milyar ke manajemen harian Kompas.

Tuntutan atas nama Bambang Wisudo itu ditujukan terhadap PT. Kompas Media Nusantara (selaku penerbit Harian Umum Kompas), Jakob Oetama (Pemimpin Umum Harian Umum Kompas), dan Suryopratomo (Pemimpin Redaksi Harian Umum Kompas).

Tuntutan ganti rugi immateriil sebesar Rp 500 Miliar ini kelak akan dikembalikan pada gerakan serikat pekerja baik di dalam maupun di luar Kompas. Sementara, untuk ganti rugi materiil, Bambang cuma meminta Rp 7 jutaan.

Dasar gugatan anti union ini adalah karena telah terjadi pemberangusan dan tindakan penghalang-halangan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh terhadap wartawan Kompas/Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas, Bambang Wisudo. Tindakan itu dilakukan pengusaha yang dalam hal ini diwakili oleh PT. Kompas Media Nusantara (PT. KMN), Jakob Oetama dan Suryopratomo.

Tindakan penghalang-halangan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh ini dilakukan oleh pengusaha dengan cara melakukan tindakan mutasi. Dan kemudian melakukan PHK secara sepihak terhadap Bambang Wisudo selaku Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK), sebuah serikat pekerja/serikat buruh yang terdaftar secara resmi di Disnaker Jakarta Pusat pada November 2001.

Tindakan mutasi dan PHK secara sepihak terhadap sekretaris PKK, Bambang Wisudo merupakan suatu tindakan balas dendam akibat adanya kesepakatan jaminan alokasi 20 persen deviden (keuntungan yang dibagi) dari PT. KMN selama perusahaan berdiri ke seluruh karyawan.

Ketentuan ini akan mengikat pemegang saham PT KMN saat ini dan di masa datang, yang kemudian harus dicantumkan dalam Anggaran Dasar PT. KMN. Dalam perjanjian itu, ditegaskan perubahan ketentuan itu harus melalui persetujuan karyawan.

Kesepakatan itu sebenarnya merugikan karyawan. Karena, karyawan kehilangan hak 20 persen saham atas PT KMN yang diwariskan oleh almarhum P.K. Ojong, salah satu pendiri Kompas sejak tahun 1980.

Keinginan PK Ojong itu telah diamanatkan jauh hari. Jauh sebelum ada keputusan Menpen Peraturan Menteri Penerangan RI No 1 tahun 1984 tentang Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang mewajibkan perusahaan pers memberikan saham 20 persen kepada karyawannya.

Berawal Dari Mutasi
Setelah menyepakati perjanjian saham antara PKK tersebut, manajemen Kompas memang melakukan aksi balas dendam.

Pada tanggal 15 November 2006, rapat redaksi Kompas mengumumkan mutasi, rotasi, pengalihan tugas di lingkungan redaksi. Beberapa pengurus PKK mengalami mutasi keluar kota dan pindah liputan. Bambang Wisudo dan Syahnan Rangkuti, keduanya tim perunding perwakilan PKK, dimutasikan ke luar kota.

Keputusan mutasi tersebut dilakukan tanpa ada pemberitahuan sebelumnya kepada para karyawan yang bersangkutan, termasuk Bambang Wisudo. Tindakan diskriminatif ini tampaknya sengaja dilakukan untuk memecah-belah pengurus.

Dari sederet nama yang dimutasi, tampak secara substansial bahwa sekretaris dan ketua PKK dibuang. Bambang Wisudo memang hendak disingkirkan dari Kompas. Dalam hal ini diwakili oleh PT. Kompas Media Nusantara (PT. KMN), Jakob Oetama dan Suryopratomo.

Mutasi itu menegaskan bahwa hal itu dilakukan oleh Pengusaha karena aktivitas Bambang Wisudo dalam kepengurusan PKK saat mengutak-atik saham karyawan sejak tahun 1998. Sehingga apa yang dilakukan Pengusaha merupakan pemberangusan aktivis serikat pekerja.

Rp 500 M Buat Buruh
Gugatan tentang 'anti union' ini merupakan gugatan perdata pertama kali di Indonesia dalam kasus anti-union (union busting). Oleh karena itu, Komite meminta agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk bersikap adil dalam memutuskan perkara ini.

Kordinator tim litigasi Komite Sholeh Ali mengatakan, selama ini serikat pekerja dianggap musuh dari pengusaha. Sekalipun undang-undang menjamin hak dan kebebasan pekerja untuk berserikat, akan tetapi di lapangan hak-hak union para pekerja dengan gampang dilanggar oleh pengusaha.

"Gugatan ini mempunyai arti penting untuk menguji sejauh mana di depan hukum, aktivis dan organisasi serikat pekerja mempunyai kekuatan dalam mempertahankan eksistensinya," kata Sholeh Ali.

Menurut Bambang Wisudo, ganti rugi immaterial sebesar Rp 500 M yang diajukan kelak akan dialokasikan untuk keperluan pengembangan sumber daya manusia karyawan Kompas dan beasiswa untuk menjamin karyawan Kompas yang tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi. Dana ini akan dikelola melalui serikat pekerja independent yang ada di suratkabar Kompas.

Ganti rugi imateriil juga akan diberikan untuk pengembangan kapasitas organisasi dan pengembangan SDM serikat pekerja dan organisasi-organisasi advokasi serikat pekerja di tanah air. (jan/E7)
posted by KOMPAS @ 3:41 AM   0 comments
Tuesday, April 17, 2007
Kompas Tak Akui Serikat Pekerja


Jakarta, Kompas Inside. Satu lagi bukti pemberangusan serikat pekerja (union busting) yang dilakukan oleh manajemen Kompas, kembali terungkap, Selasa (17/4/2007) petang.

Kali ini aksi pemberangusan itu dilakukan dengan melibatkan sejumlah karyawan yang mencoba memanfaatkan situasi. Mereka kini tengah bersekongkol untuk tidak mengakui keberadaan serikat pekerja maupun pengurus serikat pekerja Kompas yang sah dan diakui negara.

Salah satu aksi mereka adalah dengan memanfaatkan kemelut di kepengurusan Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) akhir-akhir ini. Diam-diam, manajemen Kompas dan sejumlah 'karyawan pilihan' melakukan manuver untuk menggolkan Peraturan Perusahaan (PP) Kompas yang baru, tanpa melibatkan PKK sebagai serikat pekerja yang sah.

Padahal PP tersebut jelas-jelas merugikan karyawan. Salah satu pasal yang kontroversial adalah, bagi karyawan Kompas yang bergaji Rp 3juta ke atas, maka mereka tak akan menerima pesangon saat diberhentikan.

Keruan saja aksi manajemen tersebut mengejutkan karyawan Kompas. Termasuk juga beberapa wartawan yang ikut serta dalam penandatangan 'Seruan Wartawan Kompas.' Mereka merasa telah diperalat segelintir karyawan penjilat untuk memuluskan aturan ngawur tersebut.

Ironisnya, perpanjangan PP itu dilakukan ketika masa kepengurusan PKK belum berakhir. Semula, kepengurusan PKK mestinya berakhir 28 Februari 2007.

Tapi empat hari sebelumnya, yakni pada tanggal 24 Februari, General Manajer Sumber Daya Manusia Kompas Bambang Sukartiono diam-diam mengajukan pengesahan PP Kompas ke Departemen Tenaga Kerja pusat.

Celakanya, rencana tersebut tidak pernah diberitahu apalagi didialogkan oleh Direktorat SDM Kompas ke pengurus PKK.

Padahal, sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja, rancangan Peraturan Perusahaan harus dibicarakan dengan serikat pekerja sebelum diajukan pengesahannya pada pemerintah.

Kolom SP Dikosongkan
Dalam dokumen pengesahan PP yang baru itu ke Depnaker, manajemen Kompas malah mengosongkan kolom isian serikat pekerja serta nomor pencatatannya. Sementara manajemen Kompas tahu persis bahwa PKK adalah serikat pekerja resmi yang diakui oleh negara.

Sebaliknya, perusahaan Kompas malah mengundang beberapa wakil karyawan untuk hadir dalam acara sosialisasi ala 'kelompencapir.' Pertemuan itu kemudian dipakai untuk melegitimasi seolah-olah naskah PP itu telah dibicarakan dengan wakil-wakil karyawan.

Dalam bocoran dokumen pendaftaran PP Kompas ke Depnakertrans, terdapat delapan nama 'karyawan pilihan' yang muncul. Yakni Triagung Kristanto, Martinus Rivanto, Widodo Teguh Raharjo, Maria Magdalena, Aghata Modesta, Jannes Endes Wawa, Harjani, dan Wisnuaji.

Manajemen Kompas bahkan tidak segan-segan memanipulasi data yang disampaikan ke Depnaker. Dalam salah satu surat pernyataan tentang hak cuti yang ditandatangani oleh Bambang Sukartiono bahkan disebut bahwa sejumlah wakil-wakil pekerja menyetujui dipilih secara demokratis.

Padahal, jelas tidak mungkin ada demokrasi bila main tunjuk. Ada sejumlah nama karyawan yang dipakai untuk mengesahkan PP tersebut. Lagi-lagi nama Triagung Kristanto, mantan wakil ketua Perkumpulan Karyawan Kompas yang saat ini menjadi jurubicara manajemen Kompas, berada di urutan teratas.

Berikutnya ada nama Lucia Sinta, Aria Magdalena, Arbain Rambey, Jannes Endes Wawa, dan T Suardji.

Kompas Tak Akui PKK
Anehnya, Depnaker tidak menyelidiki prosedur pengajuan peraturan perusahaan yang tidak prosedural itu.

Pada 5 Maret, Peraturan Perusahaan Kompas itu disahkan oleh Depnaker. Tentu saja pengesahan ini disambut suka cita oleh manajemen Kompas yang sebelumnya mendapat teguran dari Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta karena tidak memiliki peraturan perusahaan sejak 2004.

Karena tahu belakangan, pengurus PKK mengaku terkejut. Pengurus PKK sendiri langsung melayangkan surat protes keras ke Depnakertrans.

Baru sebulan kemudian, pekan pertama bulan April, pengurus Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) dipanggil Depnakertrans untuk mengklarifikasi surat protes mereka terhadap pengajuan pengesahan PP tanpa melibatkan mereka sebagai serikat pekerja yang sah.

Dalam pertemuan dengan Kepala Seksi Perjanjian Kerja Bersama John Daniel Saragih dan Kepala Seksi Peraturan Perusahaan Sayono, terungkap bahwa manajemen Kompas memang tidak mengakui keberadaan PKK sebagai serikat pekerja.

Manajemen Kompas pada waktu itu diwakili oleh Frans Lakaseru, Agung Yuwono, dan Untung Herminanto. Hanya Untung yang bicara dalam pertemuan itu.

Untung sempat menyodorkan surat tanda terima draft peraturan perusahaan oleh Ketua Pengurus Perkumpulan Karyawan Kompas Syahnan Rangkuti pada tahun 2005. Padahal pembicaraan pada tahun itu terputus, setelah tidak satupun dari sekitar 40 butir masukan dari pengurus PKK diterima oleh manajemen. Ternyata draft yang diajukan ke Depnaker setahun tahun kemudian merupakan draft berbeda.

Dalam pertemuan itu, Untung mencoba dalih lain. Ia ngotot bahwa kepengurusan PKK telah berakhir. Padahal kepengurusan PKK sejatinya baru berakhir pada 28 Februari, sementara pendaftaran dilakukan GM SDM tanggal 24 Februari, empat hari sebelum kepengurusan PKK resmi berakhir.

Patah dengan argumen itu, Untung mengatakan Perkumpulan Karyawan Kompas bukan serikat pekerja resmi. Argumen Untung lagi-lagi patah setelah pengurus menunjukkan dokumen pencatatan serikat pekerja dari Kandep Tenaga Kerja dengan nomer 140/I/P/XI/2001.

Masih ngotot lagi, Untung mengatakan perusahaan tidak pernah diberitahu soal pendaftaran itu. Padahal pengurus PKK sudah menyampaikan pemberitahuan soal pendaftaran tersebut tahun 2001.

Perdebatan panas dalam pertemuan itu sampai-sampai membuat petugas Depnakertrans berkali-kali menanyakan apakah hubungan karyawan, serikat pekerja dan manajemen di Kompas tidak harmonis lagi. Akhirnya, Sayono menyarankan agar PP Kompas itu dibicarakan lagi secara internal.

Tak Libatkan Pengurus PKK
Akan tetapi saran Depnaker tetap tak dijalankan manajemen. Niat baik manajemen Kompas terhadap pengurus PKK memang sudah tidak ada lagi.

Pada hari Sabtu dan Minggu 14-15 April lalu, Wakil Pemimpin Umum Kompas St Sularto dan GM SDMU Bambang Sukartiono menginapkan sejumlah "karyawan pilihan" di Hotel Santika. Tidak satupun pengurus serikat pekerja Perkumpulan Karyawan Kompas diberitahu atau diundang.

Alasan manajemen, kepengurusan PKK sudah berakhir. Padahal pengurus PKK sudah memperpanjang pengurusan sampai bulan Agustus 2007. Malah, perpanjangan ini sudah diberitahu ke seluruh karyawan, termasuk instansi terkait.

Seperti pernah diberitakan, perpanjangan kepengurusan PKK karena adanya situasi darurat yang dihadapi pengurus. Utamanya setelah Ketua dan Sekretarisnya dimutasi. Terlebih lagi disusul penyanderaan dan pemecatan terhadap Bambang Wisudo selaku Sekretaris PKK.

Pengurus Perkumpulan Karyawan Kompas belum bersikap terhadap aksi anti-serikat dalam kaitan peraturan perusahaan terakhir ini.

Namun, aksi main tunjuk 'karyawan pilihan' memang sudah biasa dilakukan dalam institusi Kelompok Kompas-Gramedia. Baik dalam kepengurus koperasi maupun Yayasan Kompas Sejahtera yang dulu mengelola saham karyawan Kompas.

Aksi main tunjuk itu pula yang membuat penghilangan saham karyawan selama bertahun-tahun bisa berlangsung mulus tanpa perlawanan berarti. (tra/E6)
posted by KOMPAS @ 4:47 AM   0 comments
Wednesday, April 11, 2007
Kompas Perpanjang Pelanggaran HAM RI
(catatan redaksi: setiap tahun, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengeluarkan evaluasi tahunan tentang praktek pelanggaran HAM di seluruh negara. Walau telah coba ditutupi oleh pimpinan Kompas dengan cara memblokade pemberitaan media untuk pemberangusan serikat pekerja, namun untuk tahun 2006 Kompas telah memperpanjang daftar pelanggaran HAM RI. Khususnya ketika Pemred Kompas Suryopratomo memecat Sekretaris Serikat Pekerja Perkumpulan Karyawan Kompas, Bambang Wisudo. Bahan catatan ini merupakan rujukan penting bagi anggota Kongres AS maupun Konfederasi Serikat Buruh Internasional terhadap masalah HAM dan perburuhan Indonesia. Berikut petikan assesment dan penilaian Deplu AS tentang kondisi HAM di Indonesia, khususnya masalah perburuhan, yang dipublikasi tanggal 6 Maret 2007.)

Released by the Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor
March 6, 2007
sumber: http://www.state.gov/g/drl/rls/hrrpt/2006/78774.htm


Indonesia

Country Reports on Human Rights Practices - 2006


Indonesia is a multiparty republic with a population of approximately 245 million. In 2004 Susilo Bambang Yudhoyono became the country's first directly elected president in elections that international observers judged to be free and fair. Voters also chose two national legislative bodies in 2004: the House of Representatives (DPR) and the newly created House of Regional Representatives (DPD). While civilian authorities generally maintained effective control of the security forces, in some instances elements of the security forces acted independently of civilian authority.

The government generally has been unable to adequately address serious human rights abuses committed in the past. Inadequate resources, weak leadership, and limited accountability contributed to continued abuses by security force personnel, although with sharply reduced frequency and gravity than under past governments. The following human rights problems occurred during the year: unlawful killings by security force personnel, terrorists, vigilante groups, and mobs; torture; harsh prison conditions; arbitrary detentions; a corrupt judicial system; warrantless searches; infringements on free speech; restrictions on peaceful assembly; interference with freedom of religion by private parties, sometimes with complicity of local officials; intercommunal religious violence; violence and sexual abuse against women and children; trafficking in persons; failure to enforce labor standards and violations of worker rights, including forced child labor.

During the year the implementation of the Aceh peace accord, signed in 2005, continued to yield substantial legal and judicial improvements. No unlawful disappearances occurred; human rights observers were given open access to the province; and the year marked the election of a former Free Aceh Movement (GAM) leader as governor. Domestic and international observers judged the elections to be free and fair. In the legal area the government added Confucianism to the list of officially recognized faiths; a new law gave important citizenship rights to foreign spouses of citizens and the children of such marriages; court decisions applied the more expansive press law rather than the more punitive criminal law in press freedom cases; and the Constitutional Court declared articles of the penal code criminalizing defamation of the president and vice president unconstitutional.

Section 6 Worker Rights

a. The Right of Association

The law provides broad rights of association for workers, and workers exercised these rights. The law allows workers to form and join unions of their choice without previous authorization or excessive requirements, and workers did so in practice.The law stipulates that 10 or more workers have the right to form a union, with membership open to all workers, regardless of political affiliation, religion, ethnicity, or gender. Private sector workers are by law free to form worker organizations without prior authorization, and unions may draw up their own constitutions and rules and elect representatives. The Ministry of Manpower and Transmigration (the manpower ministry) records, rather than approves, the formation of a union, federation, or confederation and provides it with a registration number. During the year, some unions reported local manpower ministry offices prejudicially recommended denial of registration. During the year one union federation registered with the manpower ministry, bringing the total number of registered federations to 88. Ministry officials noted that only 64 federations recorded by the ministry had verifiable members. The vast majority of union members belonged to one of three union confederations: the All-Indonesia Trade Union Confederation (KSPSI), the Indonesian Prosperity Trade Union Confederation (KSBSI), and the Indonesian Trade Union Congress. In addition more than 11,000 workplace-level units were registered with the manpower ministry, a drop from the 18,000 reported in 2005, which were based on unions' self-reported data.

According to the government, the country's total labor force consisted of approximately 110 million workers, 42 percent of whom worked in the agricultural and forestry sector. From April to September 2005, the manpower ministry conducted a survey of union membership, the results of which indicated a significantly reduced number of union members compared with previous estimates. In the past, the government had relied upon unions' self-reported membership statistics. The manpower ministry estimated total trade union membership at 3.4 million workers, less than 4 percent of the total workforce. However, this figure of 3.4 million union members is 14 percent of the regular, formal sector workforce of 23.8 million (a category that excludes the self-employed, employers, casual workers, and unpaid workers).

The law recognizes civil servants' freedom of association and right to organize, and employees of several ministries formed employee associations; union organizations sought to organize these workers. Unions also sought to organize state-owned enterprise (SOE) employees, although they encountered resistance from enterprise management, and the legal basis for registering unions in SOEs remained unclear.

The law allows the government to petition the courts to dissolve a union if it conflicts with the state ideology of Pancasila or the constitution, or if a union's leaders or members, in the name of the union, commit crimes against the security of the state and are sentenced to at least five years in prison. Once a union is dissolved, its leaders and members may not form another union for at least three years. There were no reports that the government dissolved any unions during the year. The law prohibits anti-union discrimination by employers and others against union organizers and members and provides penalties for violations; however, the government did not effectively enforce the law in many cases. There were frequent, credible reports of employer retribution against union organizers, including dismissals and violence that were not prevented effectively or remedied in practice. Some employers warned employees against contact with union organizers. Some unions claimed that strike leaders were singled out for layoffs when companies downsized. Legal requirements existed for employers to reinstate workers fired for union activity, although in many cases the government did not enforce this effectively.

On May 19, the Supreme Court upheld the decision of the State Administrative High Court and the lower courts that the workers dismissed following an April 2005 strike be reinstated and receive back pay. On July 19, the union and company reached an agreement whereby the company would compensate the workers for back pay and provide a severance payment. In turn the workers renounced their right to be re-hired. The workers at a private security firm in Jakarta, Group4/Securicor, went on strike over the firm's plans to reduce benefits following a merger. According to the NGO Solidarity Center, in May 2005, Jakarta police called in for questioning and intimidated four union leaders. The police reportedly explained that they were investigating the union leaders for possible charges of defamation and asked them to identify other workers from photographs taken at a lawful union demonstration in April 2005. The company terminated 200 workers and refused to rehire them, despite a decision by the local manpower officer that the strike was legal and the strikers should be rehired. In October 2005 a labor dispute resolution committee awarded the workers two months' salary.

On March 13, the independent Indonesian Union Federation (IUF) held a mass rally in Surabaya to demand government intervention against anti-union activities at PTPN X, and to ensure inclusion of the federation's locals in collective bargaining at both state-owned complexes, and to reinstate IUF-affiliated Federation of Sugar Plantation and Mill Workers president Daud Sukamto, who was fired from his job at a plantation in Central Lampung in 2005 for "gross misconduct" after recommending that his union reject a management wage proposal during labor negotiations. In June the ILO's Freedom of Association Committee concluded that Sukamto's termination violated the right to conduct legitimate trade union activity and called on the government to reinstate him.

In August Amnesty International called on the government to release six imprisoned trade union leaders, who were arrested following a strike and demonstration at a palm oil plantation in Riau Province in September 2005.

In September the state-owned workers' insurance company, PT Jamsostek, demoted two Jamsostek union members and transferred twelve others in connection with a union vote of no confidence in company management. More than 40 workers at a branch office in Banten staged a demonstration at the company's main office in Jakarta, demanding the cancellation of the demotions and transfers. In October legislators called on the government to end the labor conflict. All the affected workers sued the company seeking reinstatement. At year's end the cases were still pending.

On October 30, KSBSI filed 20 complaints with the manpower ministry on behalf of workers who claimed they had been denied the right to form unions. Many of them had been reportedly dismissed without severance payment or demoted despite their having cases pending in the labor court.

The Industrial Relations Disputes Settlement Act together with the Trade Union Act and the Manpower Act constitute the revised legal basis for industrial relations and worker rights. The Disputes Settlement Act stipulates a system of tripartite labor courts, replacing the previous tripartite committees. The act also outlines settlement procedures through mediation and arbitration. The ILO provided assistance in the development of the law. By the end of 2005, the government had established the new labor courts in all 33 provinces.

b. The Right to Organize and Bargain Collectively

The law allows unions to conduct their activities without interference; however, the government often did not protect this right in practice. The law provides for collective bargaining and allows workers' organizations that register with the government to conclude legally binding collective labor agreements (CLAs) with employers and to exercise other trade union functions.The law includes some restrictions on collective bargaining, including a requirement that a union or unions represent more than 50 percent of the company workforce to negotiate a CLA. The Manpower Development and Protection Act (Manpower Act), which regulates collective bargaining, the right to strike, and general employment conditions does not apply to SOEs. Although the law was written with ILO technical assistance, some unions claimed that it contains inadequate severance benefits and protection against arbitrary terminations and does not sufficiently restrict against outsourcing and child labor. The government continued to issue implementing decrees for the Manpower Act.

The government planned to revise the 2003 Labor Law to make Indonesia more competitive and attractive to foreign investors. However, labor unions voiced opposition to the plan, and on May 1, international Labor Day, tens of thousands of workers protested peacefully on the streets of Jakarta and other cities against the proposed revisions, which would have made it easier for employers to hire and fire workers by reducing severance payments and allowing companies to employ workers for up to five years without a contract. On May 3, tens of thousands of workers again took to the streets in opposition to modifying the labor law. The rally turned violent when protesters took down the main gate of the parliament compound, set fire to tires and threw stones at the police. In response, police fired tear gas and water cannons. Police also detained 13 members of the KSPSI.

On September 13, the Minister of Manpower and Transmigration announced that the government had dropped its plan to revise the labor law and instead would issue government regulations detailing termination procedures and severance payments for workers to give them more job certainty.

According to the manpower ministry, during the year there were 9,168 CLAs in effect between unions and private companies. Company regulations, allowed for under government regulations, substituted for CLAs in another 36,652 companies, many of which did not have union representation. The Manpower Act requires that employers and workers form joint employer/worker committees in companies with 50 or more workers, a measure to institutionalize communication and consensus building. However, the number of such bodies did not increase significantly after passage of the act. All workers, whether or not union members, have the legal right to strike, except for public sector workers and those involved in public safety activities. The law allows workers in these latter categories to carry out strikes if they are arranged so as not to disrupt public interests or endanger public safety. Private sector workers exercised their right to strike, as did those in state enterprises, although the latter did so with less frequency. The large majority of government-recorded strikes involved nonunion workers. Unions or workers' representatives must provide seven days' notice to carry out a legal strike. The law calls for mediation by local manpower ministry officials but does not require government approval of strikes. Workers and employers rarely followed dispute settlement procedures, and workers rarely gave formal notice of the intent to strike because manpower ministry procedures were slow and had little credibility among workers. The number of government-recorded strikes had declined in recent years, from 220 strikes involving more than 97,000 workers in 2002, to 125 strikes involving some 56,082 workers in 2005. During the year, the number of strikes rose to 282 involving 595,783 workers. According to the manpower ministry, the increase was due to protests of the government's proposed labor law reform.

The underpayment or nonpayment of legally required severance packages precipitated strikes and labor protests. The Solidarity Center documented cases in which foreign employers in the garment and footwear industry, faced with falling orders and plant closures, fled the country to avoid making legally required severance payments. Labor activists also reported that factory managers in some locations employed thugs to intimidate and assault trade union members who attempted to organize legal strike actions.

At times the police intervened inappropriately and with force in labor matters, usually to protect employers' interests. In April 2005 the national police adopted new guidelines for "handling law and order in industrial disputes," developed with the assistance of the ILO.

On July 31, police shot labor leader Samsir Hasibuan during a labor dispute near Medan at P.T. Cipta Mebelindo Lestari, a furniture manufacturer. According to Hasibuan, police dragged him from his house after the demonstration ended. The police maintained he was shot in front of the factory gate after protesters became violent. According to Medan human rights advocates, police later coerced Hasibuan into signing a document accepting representation by a police-provided attorney by police beating on his injured knee. He and two other labor leaders remained in jail but were allowed to have their own attorney. Other strikers whom the company could identify were all fired.

In September 2005 the management of a palm oil plantation in Riau province, P.T. Musim Mas, fired approximately 700 workers for striking in protest of the termination of nine union leaders. In June the Indonesian Union of Wood and Forestry Workers signed an agreement with the company to provide severance pay to strikers, but the workers were not rehired.

On December 8, Kompas newspaper fired union activist Bambang Wisudo. Kompas claimed that Wisudo was fired on grounds that he refused a transfer to Ambon, but the Association of Independent Journalists stated that he was fired for demanding that the newspaper respect the right of employees to profit-sharing.

There are no special laws or exemptions from regular labor laws in special economic zones (SEZs). However, nongovernmental observers, including the Solidarity Center, described stronger antiunion sentiment and actions by employers in SEZs. ***
posted by KOMPAS @ 12:42 AM   50 comments
Tuesday, April 10, 2007
ILO Prihatinkan 'Union Busting' Kompas


Jakarta, Kompas Inside. Kasus pemberangusan serikat pekerja (union busting) yang menimpa wartawan Kompas P. Bambang Wisudo akhirnya dibawa ke International Labour Organization (ILO).

Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bersama-sama pengurus AJI Jakarta dan Bambang Wisudo selaku korban diterima langsung oleh Direktur ILO Jakarta, Alan J. Boulton, Selasa (10/4/2007) pagi.

Dalam pertemuan itu Bambang Wisudo didampingi Jajang Jamaludin (Ketua AJI Jakarta), Margiono (Sekretaris AJI Jakarta), Wirunanto Adhi (Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta), Ulin Niam Yusron (Koordinator Divisi Serikat Kerja AJI Indonesia) dan Eko Maryadi (Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia).

Di pertemuan itu Bambang Wisudo menjelaskan secara singkat kronologi peristiwa yang dialaminya. Termasuk juga peristiwa kekerasan, penahanan, dan pemecatan karena perjuangannya sebagai aktivis serikat kerja Harian Kompas.

Wisudo juga menjelaskan perkembangan terakhir kasusnya, termasuk kemenangannya dalam mediasi tripartit di Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta dan kasus penyanderaan yang kini masih dalam proses penyelidikan polisi.

Wisudo mengemukakan bahwa Dinas Tenaga Kerja telah menyampaikan surat peringatan kepada manajemen Kompas perihal tindakan anti-union. Termasuk juga peraturan perusahaan harian Kompas yang kedaluwarsa sebagai dasar pembuangannya ke Ambon.

Boulton yang pernah menjadi hakim dan mediator kasus-kasus ketenagakerjaan di Australia menyatakan simpati sekaligus merasa prihatin melihat union busting di harian Kompas.

Boulton mengakui banyak aktivis serikat pekerja Indonesia menghadapi situasi sulit. Pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak serikat pekerja masih saja terjadi di Indonesia meskipun tidak seburuk sepuluh tahun lalu.

Boulton juga mengingatkan perusahaan media memiliki posisi sangat kuat dalam hubungan industrial. Karena, selain memiliki kekuatan keuangan juga bisa menggunakan pengaruh politik yang dimilikinya.

Wisudo dalam kesempatan itu meminta agar ILO memonitor proses penanganan kasus pemberangusan serikat pekerja yang dilakukan oleh lembaga pemerintah dan proses pengadilan industrial maupun pengadilan perdata yang akan berlangsung dalam waktu dekat.

Wisudo menyatakan kekhawatirannya bahwa manajemen Kompas akan menggunakan segala cara untuk memenangkan kasus itu. Kepada Boulton, Wisudo juga mengemukakan bahwa Pemred Kompas Suryopratomo telah menemui Menteri Tenaga Kerja dan memuat tulisannya di halaman opini Kompas untuk melancarkan kasus ini.

Eko Maryadi dan Margiono mengharapkan agar ILO mengawasi proses kasus ini dan membantu kampanye internasional untuk menggalang solidaritas kasus ini.

Boulton berjanji akan merespon kasus ini dan mempersilahkan agar kasus ini dibawa dalam mekanisme pengaduan terhadap pelanggaran kebebasan berserikat.

Akan tetapi Boulton juga mengingatkan, bahwa mesin ILO biasanya berjalan lambat sehingga tidak bisa diharapkan hasilnya cepat terlihat. (tom/E2)
posted by KOMPAS @ 3:40 AM   0 comments
Thursday, April 5, 2007
KKG Instruksikan Seluruh Anak Perusahaan Miliki PP
Jakarta, Kompas Inside. Vonis Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta yang memenangkan Bambang Wisudo dan membatalkan pemecatan sepihak harian Kompas beberapa waktu lalu, rupanya berbuntut panjang.

CEO Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang baru, Agung Adiprasetyo, kabarnya meminta seluruh perusahaan penerbitan yang ada dalam grup KKG untuk memiliki Peraturan Perusahaan yang baru.

Kebetulan pula, kebanyakan perusahaan di KKG belum memperpanjang Peraturan Perusahaan. Sehingga banyak perusahaan KKG mempekerjakan karyawannya tanpa peraturan yang sah.

Sayangnya, perpanjangan Peraturan Perusahaan itu dilakukan tanpa melibatkan Serikat Pekerja yang telah berdiri di dalam anak perusahaan.

KKG hanya meminta wakil karyawan dari masing-masing divisi untuk menandatangani sebuah surat persetujuan.

"Ini instruksi langsung dari pusat, pokoknya di perpanjang aja dahulu," kata seorang karyawan menirukan salah satu staf bagian SDM di salah satu anak perusahaan KKG.

Memiliki peraturan perusahaan memang langkah yang baik. Tetapi kalau tak melibatkan karyawan, jelas sebuah langkah yang tidak terpuji.

Apalagi jika tidak melibatkan SP yang telah berdiri, itu bisa dikatakan melawan hukum. Yakni, Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang tentang Serikat Pekerja. (tom/E5)
posted by KOMPAS @ 2:43 AM   0 comments
Kompas dan Lorena Air
SUARA PEMBACA

Saya terkejut sekali melihat Harian KOMPAS minggu, tanggal 25 Maret 2007 lalu. Rubrik Urban edisi hari itu memuat satu halaman penuh Presiden Direktur Lorena Air, Eka Sari Lorena Soerbakti. Lorena Air adalah bagian dari Lorena Group yang terkenal dengan bus super eksekutifnya, Lorena. Tetapi bukan itu yang menyebabkan saya terkejut.

Saya terkejut karena KOMPAS memberi satu halaman penuh kepada pimpinan perusahaan penerbangan yang ketika tulisan itu terbit perusahaannya sedang menghadapi "dispute" dengan pihak otoritas yakni, Departemen Perhubungan. Apalagi judul yang digunakan KOMPAS ialah "Dan Lorena Pun Menyentuh Langit".

Asal tahu saja, saat tulisan tersebut muncul di KOMPAS hingga saat ini, Departemen Perhubungan sebenarnya sedang menagih janji Lorena Air untuk segera menerbangkan pesawat. Surat ijin usaha penerbangan (SIUP) yang telah Lorena kantongi akan hangus jika selama dua tahun tidak digunakan untuk menerbangkan pesawat.

Tarik ulur mengenai izin yang akan habis masa berlakunya itu sudah sering terjadi antara Lorena Air dan Departemen Perhubungan. Minggu ini saya membaca di salah satu media harian (saya berjanji akan mencari nama media dan kapan dimuatnya) bahwa Lorena Air masih kesulitan menyewa pesawat dari Air Buss di Eropa karena kondisi cuaca sedang musim dingin. Pada sisi lain, pihak otoritas pada minggu ini pula mengancam akan mencabut izin Lorena.

Namun, dengan berani Harian KOMPAS memasang judul, "Dan Lorena pun Menyentuh Langit". Coba lihat, apakah Lorena benar-benar sudah terbang dan dapat kita lihat di langit? Tidak ada. Buat yang masih memiliki akal sehat, tentu judul tersebut sangat mengganggu. Bahkan, lebih jauh lagi, tulisan ini tampaknya bertujuan membentuk citra tertentu yang bisa membodohi pembaca KOMPAS. Kecurigaan saya bisa saja salah, tetapi secara pribadi saya sangat kecewa dengan munculnya tulisan satu halaman penuh yang bias. Mengapa KOMPAS tidak menunggu sampai Lorena Air benar-benar terbang.

Kemudian, wartawan yang mewawancarai dan menulis tulisan itu tak menyebut-nyebut "dispute" antara Lorena dan Departemen Perhubungan, walau satu paragraf pun. Tentu saja sangat tidak adil bagi pembaca.

Siapakah wartawannya? Kebetulan ditulis oleh Frans Sartono dan Arbain Rambay. Mengapa di sebut kebetulan, karena saya ingin jujur kepada siapa saja yang membaca blog ini. Kedua wartawan tersebut adalah penandatangan petisi yang mengecam advokasi Komite sebagai cara-cara kaum petualang. Saya menulis komentar ini, jujur, bukan karena artikel itu ditulis oleh orang yang bermasalah dengan Komite. Tulisan itu sendiri memang mengganggu akal sehat pembaca KOMPAS.

Amri
nama dan alamat ada pada redaksi
posted by KOMPAS @ 1:42 AM   1 comments
Sunday, April 1, 2007
Di Mana Hati Nurani Kompas?
SUARA PEMBACA

Salam hangat untuk semua rekan jurnalis,

Rasanya getir membaca kasus Bang Wisudo. Media sekaya dan sementereng Kompas bisa berlaku murahan seperti itu. Sungguh "tak beradab". Kalau media sebesar Kompas saja sudah begitu, apa jadinya kami yang bekerja di koran daerah.

Di mana hati nurani Kompas? Boro-boro mengemban amanat hati nurani rakyat; nurani sendiri tak bisa diurus. Maka memang betul: harus dilawan!

Perlawanan rekan-rekan di Jakarta secara tidak langsung akan berdampak bagi kami di daerah. Minimal, bos-bos media daerah akan berpikir satu setengah kali untuk bersikap sama.

Aku ingin sekali ikut menyebarkan berita perlawanan ini jika pengelola Kompas Inside berkenan mengirimkan informasi terbaru untuk blog BatakNews . Memang sempat ada niat untuk langsung mengutip dari blog Kompas Inside. Atau bagaimana sebaiknya?

Atas nama BatakNews, aku juga menyatakan bersedia ikut ke dalam koalisi ini -- walaupun tidak bisa terlibat secara fisik.

Pada kesempatan ini aku juga mohon dukungan kawan-kawan [sebelumnya aku minta maaf bila keluhanku ini kurang cocok sampai ke forum ini]. Aku seorang jurnalis di Balige, sebuah kampung di tepi Danau Toba. Aku pernah redaktur di Grup Jawa Pos dan anggota AJI Medan.

Sudah 12 tahun menulis untuk koran terbitan Medan dan sering berpindah media -- semuanya karena satu hal; aku tak sanggup bekerja pada media yang korup dan penuh kebohongan.

Kupikir, sama seperti Kompas, semua [sekali lagi: semua] koran daerah lebih mementingkan [media sebagai lembaga] bisnis ketimbang [media sebagai lembaga] demokrasi. Kita wartawan harus memilih: bertahan ikut arus besar yang arahnya keliru [sembari berkhianat pada nurani] atau menelikung mengikuti arus kecil tapi arahnya benar.

Batinku selalu tersiksa selama bekerja di koran. Aku tak sanggup lagi terlalu lama membohongi nuraniku. Aku tak sanggup lagi bekerja dalam sistem yang korup.

Sebab itu, dua hari lalu, tepatnya 20 Maret, kuputuskan menjadi wartawan independen-penuh dengan membuat sebuah blog berita. Dan sejak hari itu kutekadkan: tidak akan pernah kembali bekerja di koran dan media lainnya [walaupun sebenarnya ada tawaran dengan posisi redaktur].

Di sinilah aku butuh bantuan/dukungan kawan-kawan Jakarta. Mungkin hanya dengan "apa kabar" atau menulis catatan pendek di blogku. Itu akan sangat bermakna. Itu akan menjadi suntikan darah segar buat nadiku. Di kampungku ini, AKU KESEPIAN. Betul: aku kesepian. Tak ada satu pun wartawan yang sepaham. Semua adalah pengikut arus besar itu.

Aku tahu, membuat sebuah blog berita dari kampung kecil adalah ide gila. Tapi itu lebih baik daripada harus terus membohongi hati nurani. Aku dan istriku pun sudah sepakat; kami tak berharap uang lagi dari profesi wartawan. Blog ini hanyalah semacam kertas di mana aku bisa menggoreskan pikiranku; karena aku tak bisa lepas dari menulis.

Kini aku bekerja membantu usaha istriku berjualan oli-campur becak [rumahku di samping pom bensin] dan voucher elektrik di depan rumah kami. Inilah profesi yang akan kujalani seterusnya untuk menghidupi dua anakku: berdagang. Menulis [di blog] bukan lagi demi honor yang sangat kecil itu; tapi semata-mata demi hasrat menyampaikan kebenaran.

Ingin rasanya terus menumpahkan isi hati ini. Tapi aku takut menjadi "gila" kembali dan "memaki-maki" banyak bos media.

Setulus hati kuminta dukungan moral dari kawan-kawan di mana pun berada. Kutitipkan salam khusus untuk Bang Wisudo dan keluarga.

Wassalam,

Jarar Siahaan di Balige
http://bataknews.wordpress.com
posted by KOMPAS @ 9:10 PM   0 comments
Previous Post
Archives
Powered by

Hit Counter
Hit Counter

Free Blogger Templates
BLOGGER

http://rpc.technorati.com/rpc/ping <