Anggota Koalisi
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Aliansi Buruh Menggugat/ABM (KASBI, SBSI 1992, SPOI, SBTPI, FNPBI, PPMI, PPMI 98, SBMSK, FSBMI, FSBI, SBMI, SPMI, FSPEK, SP PAR REF, FKBL Lampung, SSPA NTB, KB FAN Solo, AJI Jakarta, SBJ, FKSBT, FPBC, FBS Surabaya, PC KEP SPSI Karawang, GASPERMINDO, ALBUM Magelang, FKB Andalas), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, IKOHI, KONTRAS, PPR, Somasi-Unas, SPR, Arus Pelangi, GMS, LPM Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Praksis, Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ), FMKJ, Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), FSPI, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Repdem Jakarta, SPN, OPSI, SP LIATA, SPTN Blue Bird Grup
Links
Media
Thursday, September 27, 2007
Manajemen Kompas Hentikan Gaji Wisudo
Pengantar Redaksi: Kendati belum ada keputusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dari pengadilan --karena Bambang Wisudo masih mengajukan Kasasi ke MA--PT Kompas Media Nusantara nekat menghentikan upah Bambang Wisudo per September 2007. Sebuah sikap yang sangat patut disayangkan. Inilah salinan surat PT KMN yang ditandatangani oleh Bambang Sukartiono, General Manager SDM-Umum. Diduga, terbongkarnya keterlibatan Hakim PHI dalam upaya penghentian Kasasi dan anehnya jalan persidangan PHI yang memutus kemenangan Kompas menjadi pemicu utama keluarnya surat penghentian upah ini. Padahal menurut UU Ketenagakerjaan, perusahaan wajib membayar upah pekerja selama belum ada putusan tetap.
====================


Jakarta, 21 September 2007

No. 082/SDM-U/IX/2007
Hal: Pemberitahuan

Kepada Yth.
Sdr. Paulus Bambang Wisudo
Villa Pamulang Mas
Jalan Palem Mas Blok D7 N0. 12 A
Pamulang-Ciputat 15415

Dengan hormat,

Sehubungan adanya Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 158/PHI.G/2007/PN.JKT.PST yang diucapkan oleh majelis hakim tersebut pada tanggal 30 Agustus 2007, dimana amar putusannya berbunyi sebagai berikut:

Mengadili
Dalam Konpensi
- Menolak eksepsi Tergugat

Dalam Pokok Perkara
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus dan berakhir sejak putusan ini diucapkan;
- Menghukum Penggugat untuk membayar kompensasi pemutusan hubungan kerja kepada Tergugat yang terdiri dari uang pesangon sesuai 1 kali pasal 156 ayat (2) uang penggantian hak sesuai 1 kali pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai dengan pasal 156 ayat (4), hak cuti yang belum diambil yang seluruhnya berjumlah Rp 167.408.150;
- Menghukum Penggugat untuk membayar upah yang belum dibayar kepada Tergugat hingga putusan ini diucapkan;
- Membebankan biaya perkara kepada Penggugat dan Tergugat masing-masing seperuh yang seluruhnya berjumlah Rp 400.000 (empat ratus ribu rupiah);
- Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;

Dalam Rekonpensi
1. Menolak gugatan Penggugat Rekonpensi untuk seluruhnya;
2. Menetapkan biaya perkara sejumlah nihil;


Berdasarkan hal tersebut diatas, dengan ini diberitahukan bahwa sejak dibacakannya Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut, PT Kompas Media Nusantara menghentikan pembayaran Upah Saudara terhitung untuk dan sejak bulan September 2007 serta untuk selanjutnya;

Demikian pemberitahuan ini disampaikan agar menjadi maklum.

Hormat kami,
PT Kompas Media Nusantara


Bambang Sukartiono
General manager SDM-Umum


Tembusan:
- Yth. Bp. Agung Adiprasetyo, Direktur/CEO KKG;
- Yth. Bp Suryopratomo, Direktur/Pemimpin Redaksi;
- Yth. Bp. St. Sularto, Wakil Pemimpin Umum;
- Yth. Bp. T. Sumardji, Manajer Remkes SDM-Umum;
- Yth. Pihak-pihak yang berkepentingan;
- Arsip


Baca juga:
Rekaman Hakim PHI dan Tim Litigasi Komite


Ada Apa Dibalik Pengadilan Kompas?

Pernyataan Sikap FSP soal Putusan PHI

Gugatan Wartawan Kompas Kalah di PHI

Disnaker Peringatkan Union Busting Kompas

Komisi IX DPR Desak Kompas Pekerjakan Bambang Wisudo

Disnaker Anjurkan Kompas Pekerjakan Bambang Wisudo

Isi Putusan Disnaker DKI soal Permohonan PHK Suryopratomo

Kompas: Amanat Hati Nurani Karyawan?
posted by KOMPAS @ 1:22 AM   0 comments
Tuesday, September 25, 2007
Transkrip Rekaman Hakim PHI dan Tim Litigasi Komite
KOMITE ANTI PEMBERANGUSAN SERIKAT PEKERJA
( K O M P A S )

Jl. Dr. Soepomo No.1A Komplek BIER Menteng Dalam Jakarta Selatan 12870
Tlp. 021-8295372/ 83702660 Fax. 021-8295701/83702660
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Transkrip Rekaman Percakapan

Sholeh Ali (Koorninator Litigasi Komite) dengan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, Tri Endro Budianto yang menawarkan penghentian kasasi kasus Bambang Wisudo ke MA, pada hari Selasa, 11 September 2007.


Tri Endro: Halo Pak Sholeh
Sholeh Ali: Halo pak, apa kabar pak…?

Tri Endro: Ya… baik-baik…
Sholeh Ali: Maaf mengganggu….

Tri Endro: Ya, gimana…
Sholeh Ali: Mengganggu gak pak?

Tri Endro: Nggak, nggak papa….
Sholeh Ali: Enggak ya..

Tri Endro: Nggak..
Sholeh Ali: Ini, tentang pembicaraan yang kemarin dengan bapak itu, saya sudah sampaikan ke klien kami, tapi klien kami kok bingung itu…maksudnya bagaimana ya kira-kira…?

Tri Endro: Maksudnya gimana?
Sholeh Ali: Em… saya sudah sampaikan ke klien kami Mas Bambang yang kemarin bicara sama aku itu, jadi klien kami itu bingung, bisa nggak dijelaskan lagi gitu?

Tri Endro: O.. gitu..
Sholeh Ali: he….em..

Tri Endro: Teman saya itu kemarin kan menawarkan damai atau dading untuk Kasasi ya…masalah itu kan bisa dinego lagi…

Sholeh Ali: Jadi Kompas menawarkan ke bapak gitu ya..
Tri Endro: Ha…?

Sholeh Ali: Kompas bertemu bapak gitu ya…?
Tri Endro: Iya…


Sholeh Ali: Itu kapan pak ya….
Tri Endro: A.. itu dari teman saya juga…

Sholeh Ali: Dari teman bapak ya…
Tri Endro: Mereka itu teman-teman saya..

Sholeh Ali: O…. manajemennya teman bapak ya…
Tri Endro: Iya…

Sholeh Ali: O.. siapa pak ya….
Tri Endro: Saya tidak tahu manajemennya itu siapa…pokoknya manajemennya itu ketemu teman saya gitu…mereka ketemu teman saya..

Sholeh Ali: Kapan itu pak ya…
Tri Endro: Kemarin…

Sholeh Ali: O… kemarin
Tri Endro: Kemarin, iya…

Sholeh Ali: Ketemunya dimana pak…
Tri Endro: Biasa lewat telepon..

Sholeh Ali: O… lewat telepon
Tri Endro: Lewat telepon, iya…kan dia bilang saya dari SP, kalau saya dari SP kan mungkin saya lebih dekat, “Kamu kenalkan sama Pak Ali?” oya saya kenal dengan Pak Sholeh, “mungkin lewat pak Tri lah… mungkin bisa bantu saya…”

Sholeh Ali: Kenapa tidak ke Majelis Hakim gitu pak ya… bapak kan bukan majelis hakimnya, itu kira-kira apa pandangan Kompas? Karena kedekatan bapak atau kenapa ngga lewat majelis hakim gitulah kira-kira?
Tri Endro: Ya itu kan perkara sudah diputus…. Ini hanya upaya perdamaian aja, upaya perdamaian, kan maksudnya Kompas dari pada itu lama, kemudian kasasinya juga mungkin belum tentu, ya kan kita tidak bisa mengira menang atau kalah, putusan itu dikuatkan hakim atau tidak dikuatkan, nah… daripada menunggu lama, dari manajemen kompas itu.. kan kenal sama teman-teman saya…kebetulan saya dari SP “kenal Pak ali” lho saya kenal Pak Sholeh Ali, “Mbok saya dibantu, ditawarkan perdamaian”, lha kemarin saya bilang ke Pak Sholeh Ali kan? Gimana baiknya, terserah gimana baiknya… gitu kan…ngga ada masalah apa-apa, kan memang itu dari pada itu belum tentu di Mahkamah Agung.., ya kita juga tidak berandai-andai, ya itu kan lama… belum tentu juga dikabulkan…, rugi semua kan? Lha ini ditawarkan .. sudahlah … ga usah mlalui proses kasasi…tapi diclearkan untuk uang pesangonnya ditambah 2 kali lipat…. Itu pun kalau mau…


Sholeh Ali: Pak, kalau boleh tahu, putusan yang anti union itu, pertimbangannya seperti apa pak ya kalau boleh saya tahu…? Atau bagaimana pertimbangan majelis hakim yang mengalahkan Bambang Wisudo dalam tanda kutip, kira-kira bapak tahu penjelasannya secara hukum?
Tri Endro: Saya ini kan ndak ngikuti pak….saya kan ga’ ngikuti putusan majelis lainnya kan….lagian itu kan ada kode etiknya kan…jadi saya tidak mau mencampuri urusan lain untuk itu…. Cuma ini kan sudah putus…saya juga belum tahu putusannya seperti apa pak.. saya belum tahu kan masih difile-in… cuman dari salah satu pihak itu, kemarin kan majelisnya Pak Heru, Pak Saut sama Anton ya? Mungkin itu juga dari majelis itu yang nawarin, nelpon saya

Sholeh Ali: Oh…majelis itu ngomong sama bapak juga ya…
Tri Endro: Iya…iya yang nelpon saya…tapi bukan Pak Heru ya… bukan Pak Heru… tapi dari salah satu majelisnya…itu dari majelisnya sendiri yang ngomong saya..

Sholeh Ali: Itu ngomongnya sejak Kompas telepon atao sebelumnya pak….?
Tri Endro: O Saya tidak tahu…itu sudah putus itu, putus minggu kemarin, baru minggu kemarin hubungi saya…itu teman saya sesama mejelis juga

Sholeh Ali: Tapi sempat minta pertimbangan ke bapak juga majelis hakim?
Tri Endro: Tidak… saya juga tidak mau… saya juga tidak mau ikut campur… itu mutlak kewenangan majelis… saya gak mau ikut campur…Cuma saya seperti itu.. kalo bisa itu Bantu saya pak untuk itu, dan saya juga ga’ tau manajemennya siapa, saya dapetin dari majelisnya juga…

Sholeh Ali: Mungkin gini pak ya … mungkin dari Kompas nelpon ke majelis terus suruh menyampaikan ke bapak terus untuk jadi mediator?
Tri Endro: O saya tidak tahu juga itu

Sholeh Ali: Tapi bapak dari Kompas kira-kira seperti itu?
Tri Endro: Iya betul… dari Kompas ditawarkan untuk apa namanya membantu menyelesaiakan masalah ini… kalo dari Pak Bambang ga’ mau ya ga papa…

Sholeh Ali: Baik pak saya terima kasih banyak bapak sudah memberikan alternatif dan tawaran dan saya sudah sampaikan biar ini jelas aja pertanyaan dari klien terus saya sampaikan lagi ke beliau kan begitu… untuk kemarin itu masih bingung mikir-mikir, kira-kira seperti itu… jadi saya terima kasih … terus sudah mengganggu ngobrol-ngobrol gitu ya… bapak sebagai guru saya lah… bagaimanapun saya harus berkoordinasi sama bapak..
Tri Endro: Iya, ngga papa…

Sholeh Ali: Terima kasih Pak Endro…
Tri Endro: Jadi gimana belum ada itu.. dari Pak Bambang-nya belum ada informasi pikir-pikir…?

Sholeh Ali: Dari Pak Bambang masih pikir-pikir bapak… dan apa…dalam menyatakan kasasi ini masih mikir-mikir dan kayaknya mau langsung… ga tau deh apa keputusannya mo kasasi atau belum itu belum jelas… jadi masih mikir-mikir.. ini harus bertanya dulu ke Pak Indro biar jelas gitu…
Tri Endro: Iya.. jadi ini masih bisa…terbuka untuk bernegosiasi lagi… jadi terbuka menghubungi lagi… kalo bisa berunding ya berunding lagi…soal PHK

Sholeh Ali: Kalo klien kami dari dulu ingin bertemu dengan “dedengkot” Kompas yang namanya Jakob Oetama selama sampai gugatan ini masuk (saat ini) tidak bisa bertemu, pinginnya ketemu juga sama Pak Jakob Oetama itu… mungkin… , tapi ga juga mungkin jalan keluar nanti akan ketemu juga … mungkin… dari dulu dia pengen ketemu ngobrol sama Pak Jakob Oetama, pemilik uatama (kompas) pak…
Tri Endro: Begitu ya…

Sholeh Ali: Iya…kira-kira seperti itu, dan ini saya terima kasih sudah mengganggu bapak.. dan saya terima kasih sekali…
Tri Endro: Iya…sama-sama saya ga papa kok…ini untuk kedua belah pihak…dan memang, memang ini dari sana, saya Cuma perantara saja, karena mungkinkan (pertimbangnnya) saya dari SP, nah… dan kebetulan kenal Pak Soleh Ali juga.. maka dari itu saya diminta mendamaikan… terus terang saya tidak ada kepentingan, kalau dari Pak Bambang menolak ya ga papa, tidak ada pemaksaan, semua kembali pada Pak Bambang sendiri, dan Pak Sholeh Ali sebagai kuasa hukmnya untuk menerangkan mengenai upaya perdamaian atau dading…cuman selama ini… upaya ke MA kan lama waktunya… terus kemudian dari segi menang kalahnya kan belum tentu…bisa juga dikuatkan bisa dilemahkan putusan PHI…kalau begitu kan akhirnya dirugikan semua… itu aja, pertimbangan saya itu saja…

Sholeh Ali: Iya pak terima kasih banyak pak…
Tri Endro: Iya…

Sholeh Ali: Assalamualaikum..
Tri Endro: Pak Ali, ada lagi… tolong saya dikabari lagi kalau ada perkembangan baru saya dikabari lagi….

Sholeh Ali: Baik pak… ini kan keputusan bukan ke kami…. Kita hanya penyambung lidah, seperti saya bilang kita hanya melayani klien saja…
Tri Endro: Oke yang penting ada koordinasi saja..kalo ada perkembangan hubungi saya lagi…

Sholeh Ali: Baik-baik… saya sama Kompas juga cukup punya apa….kita punya kedekatan asal dalam hal yang prinsip kita tetap saja ada garis-garis tertentu kan pak…
Tri Endro: Oke…

Sholeh Ali: Terima kasih banyak, wassalamualaikum…
Tri Endro: Waalaikum salam… sama-sama Pak Ali ya…




Baca juga:

Ada Apa Dibalik Pengadilan Kompas?

Pernyataan Sikap FSP soal Putusan PHI

Gugatan Wartawan Kompas Kalah di PHI

Disnaker Peringatkan Union Busting Kompas

Komisi IX DPR Desak Kompas Pekerjakan Bambang Wisudo

Disnaker Anjurkan Kompas Pekerjakan Bambang Wisudo

Isi Putusan Disnaker DKI soal Permohonan PHK Suryopratomo

Kompas: Amanat Hati Nurani Karyawan?
posted by KOMPAS @ 11:43 PM   1 comments
Bambang Wisudo Adukan Hakim PHI ke KY
www.hukumonline.com
[24/9/07]

"Saya hanya berniat baik, saya tidak menerima imbalan apapun."

Jika kita punya niat baik, belum tentu bakal berbuah manis seperti yang diharapkan. Nampaknya tamsil itulah yang bisa dipetik oleh Tri Endro Budianto. Lantaran 'inisiatifnya' mendamaikan dua kubu yang tengah berperkara inilah, dia diadukan salah satu pihak ke Komisi Yudisial (KY).

Loh kok bisa? Begini ceritanya. Ini masih kisah tentang pemecatan wartawan Harian Kompas, Bambang Wisudo. Kasus ini sudah bergulir ke meja Pengadilan Hubungan Industrial DKI Jakarta (PHI). Per 30 Agustus lalu, PHI memenangkan Kompas yang mem-PHK Bambang. Kala itu, majelis hakim dilakoni oleh Heru Pramono (ketua), Anton Sumartono, dan Saut Manalu (anggota).

Seusai ketuk palu, selama 14 hari, kedua pihak beroleh kesempatan menimbang; apakah menerima putusan tersebut, atau kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Rupanya, dalam 'masa tenang' tersebut, Tri Endro, salah satu hakim PHI dari unsur serikat pekerja, mengontak kuasa hukum Bambang, Sholeh Ali. "Dia mengaku dihubungi seorang dari manajemen Kompas yang juga temannya," tutur Sholeh yang dari Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) dari sambungan telepon, Senin (24/9).

Sholeh mengaku tiga kali berhubungan dengan Tri Endro. Senin (10/9) lalu, Tri Endro bercakap dengan Sholeh lewat saluran telepon. Intinya, Tri Endro menyampaikan pesan dari manajemen Kompas, supaya Bambang tak perlu mengajukan kasasi. Masalah cukup diselesaikan secara kekeluargaan. Esok harinya (11/9), giliran Sholeh yang menghubungi Tri Endro untuk mengklarifikasi maksud tersebut. Kamis (13/9), kembali Tri Endro menelepon Sholeh. Pembicaraan masih pada hal yang sama. "Saya hanya berniat baik, saya tidak menerima imbalan apapun," aku Tri Endro kepada hukumonline, via saluran telepon seluler (24/9).

Tri Endro emoh dituding merecoki proses hukum. "Saya tidak mengintervensi. Saya mengontak Pak Sholeh Ali setelah adanya putusan PHI," tuturnya. Menurut Tri Endro, semuanya demi kebaikan dua belah pihak. "Saya hanya ingin mendamaikan. Lagipula jalan ke MA (kasasi) butuh waktu berapa lama lagi?" timpalnya.

Tidak memaksa
Tri Endro menegaskan, dari sejumlah hubungan telepon tersebut, tak ada satu pun unsur paksaan kepada pihak Bambang untuk menerima tawarannya. "Semua kembali kepada Pak Bambang. Kalau mau lanjut mencari keadilan ke MA, yah silakan."

Dalam percakapan tersebut Sholeh pun tak merasa dalam keadaan dipaksa. "Kalau memaksa sih enggak. Tapi ini tetaplah menjadi hal yang aneh. Seorang hakim seolah-olah mewakili salah satu pihak untuk mendamaikan. Kalau dia kuasa hukum Kompas masih wajar," sambung Sholeh.

Meski tidak ada paksaan, tetap saja Bambang kurang terima. Mengadulah Bambang ke KY, Jumat silam (21/9). Bambang saat itu didampingi oleh beberapa aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI), advokat publik LBH Jakarta Resta Hutabarat, serta kuasa hukum Johnson Panjaitan dari PBHI dan Endar Sumarsono dari LBH Pers. Rombongan Bambang diterima oleh Ketua KY Busyro Muqoddas dan Anggota KY Koordinator Bidang Pelayanan Masyarakat Zainal Arifin.

Johnson menengarai adanya pelanggaran atas perilaku Tri Endro itu. "Ini adalah tindakan hakim yang menjadi broker atau kurir. Tentu tidak ada yang gratis," tandasnya. Kecurigaan senada juga dilontarkan Resta.

Dalam laporan tertulisnya kepada KY, Bambang mengaku dalam hubungan telepon Tri Endro-Sholeh tersebut, Kompas menawari kompensasi materiil dua kali lipat dari apa yang diputuskan PHI. Majelis hakim waktu itu memutuskan satu kali pesangon, uang penghargaan masa kerja, serta uang penggantian hak dengan total Rp167.408.150 untuk Bambang.

KY bakal menangani aduan ini. "Laporan yang kami terima ini akan kami telaah lebih lanjut. Menyelidiki seorang hakim tidak sulit kok. Tanyakan saja satu per satu, mulai dari panitera hingga koleganya sesama hakim. Pasti semua tahu mana hakim yang baik mana yang buruk," timpal Zainal yang pernah menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Bukittinggi ini.

Busyro menjamin KY sangat serius menyorot tingkah laku hakim. "Kami punya jaringan di 30 provinsi. Kami selalu menginvestigasi perilaku hakim serta meneliti putusan-putusan para hakim," ungkapnya.

Bambang menegaskan, meski ditawari damai, dia tetap melangkah ke MA. "Memori kasasi kami ajukan ke MA melalui PHI DKI Jakarta pada 19 September. Anehnya, sore itu juga tim legal Kompas Saudara Deni mengontak kami agar mencabut kasasi. Kami menanyakan dari mana Deni tahu bahwa hari itu kami mengajukan kasasi, dia tidak mau menjawab," tuturnya. Sebelumnya, 6 September, Bambang sudah mengajukan permohonan kasasinya.

Kompas menampik
Sementara itu, kuasa hukum Kompas Untung Herminanto menolak jika pihaknya meminta jasa Tri Endro. "Saya tidak kenal beliau secara pribadi. Pak Tri Endro sendiri bukan anggota majelis kasus Bambang. Kami tak pernah memintanya, apalagi itu sudah keluar dari etika," tuturnya dari balik telepon (24/9).

Untung menjelaskan, mekanisme 'kekeluargaan' memang corak warna Kelompok Kompas Gramedia (KKG). "Kami menganggap karyawan adalah anak sendiri. Jalur hukum adalah upaya terakhir. Meski demikian, akan tetap kita layani jika pihak Bambang meneruskan ke kasasi MA."

Untung menambahkan, kalaupun mengusahakan jembatan damai, dia bakal mengontak langsung kubu lawan. "Lebih baik saya menemui langsung kuasa hukum Bambang atau dia sendiri. Tak perlu perantara seorang hakim," tukasnya. (Ycb)

Baca juga:

Ada Apa Dibalik Pengadilan Kompas?

Pernyataan Sikap FSP soal Putusan PHI

Gugatan Wartawan Kompas Kalah di PHI

Disnaker Peringatkan Union Busting Kompas

Komisi IX DPR Desak Kompas Pekerjakan Bambang Wisudo

Disnaker Anjurkan Kompas Pekerjakan Bambang Wisudo

Isi Putusan Disnaker DKI soal Permohonan PHK Suryopratomo

Kompas: Amanat Hati Nurani Karyawan?
posted by KOMPAS @ 2:39 AM   0 comments
Sunday, September 23, 2007
Bambang Wisudo Adukan Hakim PHI
21 September 2007 - 17:49 WIB
sumber: www.vhr.com

Kurniawan Tri Yunanto

VHRmedia.com, Jakarta - Komisi Yudisial akan segera menindaklanjuti dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial, Tri Endro Budiyanto. Hakim itu diduga melakukan intervensi terhadap rencana pengajuan kasasi yang akan dilakukan Bambang Wisudo, wartawan yang dipecat manajemen PT Kompas Media Nusantara, penerbit harian Kompas.

Bambang Wisudo mengatakan, tidak lama setelah PHI memberikan putusan, Tri Endro Budiyanto tiga kali menghubungi kuasa hukumnya, Soleh Ali, untuk menyampaikan tawaran pemberian kompensasi dua kali lipat dari Kompas Media Nusantara jika bersedia membatalkan kasasi ke Mahkamah Agung. Padahal, Tri Endro bukan majelis hakim PHI yang menangani perkara pemecatan Bambang Wisudho.

"Hakim yang bukan anggota hakim majelis tersebut telah menelepon Sholeh Ali, salah satu kuasa hukum. Intinya saya akan diberi dua kali kompensasi jika tidak mengajukan kasasi ke M,A" kata Bambang saat melaporkan pelanggaran kode etik hakim tersebut ke Komisi Yudisial, Jumat (21/9).

Johnson Panjaitan, anggota tim kuasa hukum Bambang, menyatakan perilaku hakim Tri Endro Budiyanto sudah melebihi kewenangannya. Apalagi Tri Endro bukan anggota majelis hakim yang menangani perkara gugatan pemecatan antara PT Kompas Media Nusantara dan Bambang Wisudo.

Menurut Johnson, pengaduan pelanggaran kode etik Tri Endro Budiyanto juga dimaksudkan agar Komisi Yudisial menyelidiki serta membongkar jaringan dan praktik mafia peradilan. "Sama saja hakim itu menjadi broker dan jaringan apa di belakangnya harus diungkap."

Koordinator pelayananan masyarakat Komisi Yudisial Zainal Arifin berjanji memprioritaskan kasus ini setelah bukti-bukti pelanggaran hakim tersebut diserahkan oleh pelapor. Ketua KY Busyro Muqoddas menyatakan akan membawa kasus ini ke sidang pleno yang rencananya digelar Selasa depan. "Hasil sidang pleno itu akan kami beri tahukan kepada pelapor secara tertulis," ujarnya.

Dalam laporan itu Bambang Wisudo juga memperdengarkan bukti rekaman pembicaraan telepon Tri Endro dengan Sholeh Ali. Dalam rekaman percakapan itu Tri Endro menyatakan dia diminta manajemen PT Kompas Media Nusantara untuk menyampaikan kepada kuasa hukum Bambang Wisudo agar tidak mengajukan kasasi. Sebagai imbalan Bambang Wisudo akan diberi kompensasi materiil dua kali lipat dari besar kompensasi yang diputuskan majelis hakim PHI.

Pada 30 Agustus lalu Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta memenangkan gugatan PT Kompas Media Nusantara terhadap Bambang Wisudo. Akibat putusan tersebut, wartawan senior harian Kompas itu gagal memperjuangkan haknya untuk kembali dipekerjakan dan hanya mendapatkan kompensasi Rp 167 juta. (E1)


Baca juga:

Ada Apa Dibalik Pengadilan Kompas?

Pernyataan Sikap FSP soal Putusan PHI

Gugatan Wartawan Kompas Kalah di PHI

Disnaker Peringatkan Union Busting Kompas

Komisi IX DPR Desak Kompas Pekerjakan Bambang Wisudo

Disnaker Anjurkan Kompas Pekerjakan Bambang Wisudo

Isi Putusan Disnaker DKI soal Permohonan PHK Suryopratomo

Kompas: Amanat Hati Nurani Karyawan?
posted by KOMPAS @ 11:05 PM   0 comments
Sikap Komite soal Penawaran Damai Hakim PHI
Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS)
Sekretariat: Jl Prof Dr Soepomo, Komplek BIER No 1A, Menteng Dalam, Jakarta
CP: 081585160177 (Sholeh Ali), 08155517333 (Winuranto Adhi),
0811932683 (Bambang Wisudo)
------------ --------- --------- --------- --------- --------- --------- ---------
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, Aliansi Buruh Menggugat (ABM), LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, PPR, Somasi-Unas, Arus Pelangi, IKOHI, Kontras, STN, GMS, LPM Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Praxis, Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ), FMKJ, Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), Sanggar Ciliwung, FSPI, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), OPSI, SP LIATA, SPTN Blue Bird Grup
---------------------------------------------------------------------------------

Pernyataan Sikap:
Usut Hakim PHI "Penghubung"
PT Kompas Media Nusantara


Integritas dan profesionalitas hakim di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) DKI Jakarta, patut dipertanyakan. Seorang hakim ad hoc di pengadilan ini, Senin, 10 September lalu tiba-tiba menelepon Sholeh Ali SH, Koordinator Litigasi Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS). Kepada Ali, hakim tersebut menyampaikan tawaran dari manajemen Kompas agar Bambang Wisudo—jurnalis harian Kompas yang dipecat karena aktivitasnya di serikat pekerja—tidak mengajukan kasasi atas putusan majelis hakim PHI DKI yang telah memenangkan gugatan PT Kompas Media Nusantara. Sebagai kompensasinya, menurut hakim tersebut, manajemen Kompas akan memberikan dua kali nilai pesangon dari putusan majelis PHI, atau total sekitar Rp 335 juta, kepada Bambang Wisudo.

Keesokan harinya, Selasa, 12 September, atas permintaan Bambang Wisudo dan Winuranto Adhi, Ali mencoba menanyakan kembali maksud sebenarnya dari pesan hakim itu. Terkonfirmasi, hakim mengulangi tawaran dari manajemen Kompas tersebut. Jumat, 14 September, sang hakim kembali menelepon Ali yang saat itu sedang berada di Semarang, untuk menanyakan tentang keputusan Bambang Wisudo.

Sikap hakim ini jelas mengejutkan. Di tengah sorotan atas lemahnya independensi lembaga peradilan, justru muncul sikap yang tidak etis dari aparat penegak hukumnya sendiri. Atas dasar moral hukum apa hakim ini bisa menjadi "penyambung" manajemen Kompas?

Jika yang menjadi pertimbangan hakim tersebut adalah dua kali nilai pesangon yang akan diterima Wisudo, sungguh, perjuangan serikat buruh di negeri ini masih harus meretas jalan panjang nan terjal. Serikat buruh tidak hanya berhadapan dengan manajemen perusahaan yang antiunion, tapi juga dihadapkan pada mentalitas aparat penegak hukum yang masih berpikir ekonomis dan pragmatis. Padahal, perjuangan serikat buruh adalah perjuangan berbasis politik. Perjuangan menegakkan martabat kelas pekerja di hadapan pemilik modal. Dan itulah yang dilakukan Wisudo. Ia menolak mutasi sepihak terhadap para pengurus Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) yang telah berhasil memaksa manajemen PT Kompas untuk memberikan deviden saham kepada karyawan.

Di luar itu, yang paling membahayakan adalah jika terjadi perselingkuhan antara aparat penegak hukum dengan kaum pemodal. Bila ini yang terjadi, dapat dipastikan, pengadilan hanya akan menjadi pintu gerbang kematian bagi pencari keadilan. Tentunya hal semacam ini harus dilawan bersama-sama.

Berdasarkan Pedoman dan Etika Perilaku Hakim yang ditetapkan oleh Komisi Yudisial, setidaknya ada 11 prinsip yang harus dimiliki oleh seorang hakim. Prinsip itu antara lain: adil, menjunjung tinggi kesetaraan di hadapan hukum, jujur, arif dan bijaksana, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berintegritas tinggi, berdisiplin tinggi, rendah hati, mandiri, dan profesional.

Karena itulah, kami yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (Kompas), meminta Komisi Yudisial yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan demi menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, untuk mengusut secara tuntas masalah ini.


Bersatu, Lawan Pemberangusan Serikat Pekerja!


Jakarta, 21 September 2007


Winuranto Adhi
Koordinator


Baca juga:

Ada Apa Dibalik Pengadilan Kompas?

Pernyataan Sikap FSP soal Putusan PHI

Gugatan Wartawan Kompas Kalah di PHI

Disnaker Peringatkan Union Busting Kompas

Komisi IX DPR Desak Kompas Pekerjakan Bambang Wisudo

Disnaker Anjurkan Kompas Pekerjakan Bambang Wisudo

Isi Putusan Disnaker DKI soal Permohonan PHK Suryopratomo

Kompas: Amanat Hati Nurani Karyawan?
posted by KOMPAS @ 10:59 PM   0 comments
Undangan Peliputan Komite Soal Skandal Hakim PHI
Kepada:
Yth. Kawan-kawan wartawan
di Jakarta

Menyikapi tawaran yang disampaikan salah seorang hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) DKI Jakarta kepada pengacara Bambang Wisudo yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS), terkait upaya penghentian kasasi dengan kompensasi pesangon dua kali lipat dari putusan majelis hakim PHI yang menangani kasus Bambang Wisudo melawan PT Kompas Media Nusantara (PT. KMN), maka Komite akan mengadukan permasalahan ini kepada Komisi Yudisial, pada:

Hari/Tanggal: Jum'at, 21 September 2007
Pukul : 10.00-selesai
Tempat : Kantor Komisi Yudisial,
Wisma ITC Lt. 5, Jl. Abdul Muis No. 8 Jakarta Pusat


Komite menilai sangat tidak etis bagi seorang hakim melakukan tindakan seperti ini, apalagi menurut pengakuannya, upaya ini disampaikan berdasarkan tawaran dari manajemen Kompas.

Besar harapan kami kawan-kawan dapat hadir meliput pengaduan tersebut. Atas perhatiannya, kami sampaikan terima kasih.

Jakarta, 20 September 2007


Wiwin
Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja


Baca juga:

Ada Apa Dibalik Pengadilan Kompas?

Pernyataan Sikap FSP soal Putusan PHI

Gugatan Wartawan Kompas Kalah di PHI

Disnaker Peringatkan Union Busting Kompas

Komisi IX DPR Desak Kompas Pekerjakan Bambang Wisudo

Disnaker Anjurkan Kompas Pekerjakan Bambang Wisudo

Isi Putusan Disnaker DKI soal Permohonan PHK Suryopratomo

Kompas: Amanat Hati Nurani Karyawan?
posted by KOMPAS @ 10:55 PM   0 comments
Thursday, September 20, 2007
Ada apa di Balik Pengadilan Kompas?
Kawan-kawan seperjuangan,

Seperti kawan-kawan telah ketahui, gugatan Kompas melalui Pengadilan Hubungan Industrial untuk memecat saya dikabulkan. Dengan kata lain saya dikalahkan oleh hakim PHI. Putusan ini di luar prediksi, terutama bila melihat performance para pengacara yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) selama persidangan maupun logika-logika yang dipakai dalam penyusunan jawaban dan kesimpulan.

Seminggu kemudian, hakim pengadilan negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan putusan sela Kompas sehingga pemeriksaan gugatan perdata antiunion terhadap Kompas tidak dilanjutkan.

Kepolisian juga menghentikan penyidikan terhadap laporan kekerasan dan penyekapan yang dilakukan satpam Kompas-Gramedia dan laporan perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan oleh Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo terhadap diri saya pada 8 Desember 2006.

"Kekalahan" itu tidak membuat saya risau. Sejak awal saya menyadari bahwa tidak mudah bagi seorang buruh menghadapi kekuatan raksasa bisnis media yang memiliki kekuatan finansial dan pengaruh politik yang kuat, serta berhasil membangun kesan di masyarakat sebagai sebuah institusi yang murah hati terhaap karyawannya, terdepan dalam memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia.

Saya hanya bisa meraba-raba bahwa ada tangan-tangan tidak kelihatan yang mungkin menjadi penentu utama "kemenangan-kemenangan" Kompas. Dugaan makin kuat ketika seorang hakim PHI menelepon seorang pengacara Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS), Senin 10 September 2007. Intinya hakim itu mengatakan, ia ditelpon oleh manajemen Kompas yang minta agar saya tidak mengajukan kasasi. Sebagai kompensasi Kompas menawarkan kompensasi uang dua kali putusan PHI.

Saya agak terkejut dengan tawaran tersebut. Ini jelas cara-cara tidak etis yang dilakukan oleh manajemen Kompas. Mengapa manajemen Kompas meminta saya tidak mengajukan kasasi? Sebagai kompensasi manajemen Kompas akan melibatkan hakim PHI.

Saat itu jelas saya masih harus berusan dengan PHI karena saya masih menunggu berkas putusan yang saya perlukan untuk mengajukan kasasi dan memori banding juga harus didaftarkan melalui PHI. Apakah manajemen Kompas ingin menunjukkan kepada saya dan kepada tim pengacara saya bahwa ia mempunyai orang di mana-mana sehingga saya tidak perlu lagi kasasi? Saya jadi bertanya-tanya apakah yang dilakukan Kompas dibalik dua kemenangannya, baik di PHI maupun dalam putusan sela di PN Jakarta Pusat?

Selasa (11/9/2007) sore saya dan Koordinator KOMPAS Wiwin meminta kepada pengacara saya untuk menghubungi hakim tersebut, menanyakan apa maksud sebenarnya dari pesan pertelepon yang disampaikan Kamis. Di situ terkonfirmasi bahwa hakim tersebut memang diminta oleh manajemen Kompas menyampaikan pesan agar saya tidak mengajukan kasasi. Sebagai kompensasi Kompas menawari saya uang dua kali dari putusan PHI.

Sebelum putusan sela di PN Jakarta Pusat, tiba-tiba saja ketua majelis hakim PHI yang mengadili perkara saya menjadi hakim pengganti dalam pengadilan gugatan perkara perdata antiunion yang saya ajukan.

Saya kira ini hanya puncak gunung es dari persoalan yang ada. Sebelumnya, pengurus Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) mendapat pengakuan dari seorang karyawan bagian umum yang mengaku membawa tas untuk diserahkan ke polisi. (Saya belum bisa mengungkapkan detail pengakuan ini demi melindungi yang bersangkutan).

Kebetulan pula, sewaktu acara 17-an di RT saya Minggu 19 Agustus siang, saya mendapat cerita dari tetangga di belakang rumah saya yang mengaku salah satu pengurus asosiasi manajemen sekuriti Indonesia. Ia mengaku ikut melobi Polda agar menghentikan penyidikan laporan penyekapan terhadap seorang wartawan Kompas. Asosiasi itu, menurut dia, diminta satpam Kompas Gramedia agar penyidikan kasus kekerasan dan penyekapan yang menimpa diri saya dihentikan (semula tetangga saya tidak tahu bahwa sayalah korban kekerasan dan penyekapan itu).

Semakin hari saya semakin bertanya-tanya, beginikah kelakuan Kompas – sebuah institusi yang pernah saya impikan, sebuah institusi yang selalu mengajarkan pada saya untuk berlaku jujur, dan sebuah surat kabar yang selalu berteriak-teriak tentang supremasi hukum dan pengadilan yang bersih. Saya kira tidak ada alasan moral bagi Kompas untuk melakukan tindakan-tindakan tidak etis dan membujuk para penegak hukum untuk melakukan tindakan tidak terpuji. Apakah ini nilai-nilai PK Ojong dan Jakob Oetama yang diwariskan kepada manajemen Kompas saat ini.

Kalau sekarang terkesan saya sendirian, sebagian besar kasus yang saya laporkan dikalahkan atau ditutup, itu tidak mengurangi kebenaran –setidak-tidaknya yang ada di depan mata saya. Kalau kekerasan dan penyekapan tidak pernah ada, lalu mengapa ada belasan wartawan dan karyawan Kompas yang menangis atau sembab matanya pada menit-menit terakhir saya menginjakkan kaki di Palmerah? Yang air mata mereka bukanlah air mata buaya sekalipun belakangan mereka membuat "Seruan Wartawan Kompas" yang diajukan sebagai bukti pengadilan bahwa saya tidak dikehendaki oleh sebagian wartawan Kompas terhormat untuk duduk bersama mereka.

Saya ingin agar perselingkuhan antara Kompas dengan hakim PHI ini dibongkar.

Sekali lagi saya minta dukungan kawan-kawan, setidak-tidaknya dukungan moral, agar saya dapat melanjutkan perjuangan ini dengan sebaik-baiknya. Bagi saya, sekali lagi, kalah-menang bukan perkara besar. Jauh lebih penting dari itu adalah melawan dengan sebaik-baiknya.

Soal masa depan, saya tidak khawatir dengan masa depan saya karena masa depan bukan sepenuhnya milik saya. Sekalipun tinggal sedikit harapan, saya berharap dalam kasus saya melawan Kompas pada akhirnya keadilan berpihak pada kebenaran.

Pamulang, 18 September 2007

P. Bambang Wisudo

Baca juga:

Pernyataan Sikap FSP soal Putusan PHI

Gugatan Wartawan Kompas Kalah di PHI

Disnaker Peringatkan Union Busting Kompas

Komisi IX DPR Desak Kompas Pekerjakan Bambang Wisudo

Disnaker Anjurkan Kompas Pekerjakan Bambang Wisudo

Isi Putusan Disnaker DKI soal Permohonan PHK Suryopratomo

Kompas: Amanat Hati Nurani Karyawan?
posted by KOMPAS @ 3:50 AM   0 comments
Pernyataan Sikap FSP soal Putusan PHI Kasus Wisudo
Sumber: Blog AJI
http://blogaji.wordpress.com/

FORUM SERIKAT PEKERJA MEDIA JAKARTA
Sekretariat: Jl. Prof. Dr. Soepomo Kompleks BIER No. 1A, Menteng Dalam, Jakarta Selatan 12870, Telepon 021- 83702660

Pernyataan Sikap
Putusan PHI DKI Jakarta akan Menyuburkan Union Busting

Kembali perjuangan serikat pekerja terbungkam. Kali ini giliran serikat pekerja media diempas melalui ketukan palu hakim. Inilah yang dialami Bambang Wisudo, Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas—serikat pekerja di Harian Kompas. Karena aktivitasnya, Bambang di-PHK oleh Pemimpin Harian Kompas Suryopratomo, 9 Desember 2006 silam.

Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) DKI Jakarta yang terdiri dari Heru Pramono (ketua), Anton Sumartono (ad hoc perwakilan pengusaha), serta Saut Christian Manalu (ad hoc perwakilan buruh dari IUF Indonesia) telah mengabulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diajukan oleh PT Kompas Media Nusantara. Putusan tersebut turun pada Kamis, 30 Agustus 2007 lalu.

Dasar putusan majelis hakim ini sangat sulit diterima secara logis. Hakim menyetujui PHK tersebut dan mengabaikan fakta bahwa Bambang adalah aktivis serikat pekerja yang memperjuangkan kepemilikan karyawan atas 20% saham.

Hakim berdalih Bambang menolak dimutasi ke Ambon. Alasannya, dalam kontrak kerja, setiap karyawan bersedia ditugaskan di mana pun. Padahal, sangat jelas tertulis dalam UU 21/2000 tentang Serikat Buruh/Pekerja, seorang pengurus serikat pekerja tidak boleh di-PHK. Jangankan di-PHK, dimutasi pun tak boleh. Hakim bersembunyi di balik alasan, klausul pengecualian mutasi bagi aktivis serikat pekerja tidak diatur dalam Peraturan Kerja Bersama (PKB) PT Kompas.

Padahal, 9 Maret silam, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DKI Jakarta telah mengeluarkan sikap (anjuran) agar Kompas mempekerjakan kembali Bambang Wisudo. Disnakertrans menilai, pada saat terjadi mutasi dan pemecatan, PT Kompas tidak mempunyai peraturan perusahaan. Disnaker juga menengarai pemecatan tersebut juga terkait dengan aktivitas Bambang Wisudo sebagai pengurus serikat pekerja.

Putusan ini jelas akan menjadi preseden buruk. Ke depan, bisa jadi putusan semacam ini bakal marak menjegal perjuangan aktivis serikat pekerja. Majelis hakim telah menutup mata dari masalah pemberangusan aktivitas serikat pekerja (union busting). Pengadilan Hubungan Industrial yang menjadi harapan penegakan hak kaum buruh, rupanya masih belum berpihak pada kelas pekerja.

Karena itulah, kami yang tergabung dalam Forum Serikat Pekerja Media Jakarta menyatakan sikap:
1. Menyesalkan putusan majelis hakim PHI DKI Jakarta yang mengabaikan UU 21/2000 tentang Serikat Buruh/Pekerja.
2. Mendukung upaya kasasi yang diajukan oleh Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja—kuasa hukum Bambang Wisudo.
3. Menyerukan kepada seluruh pekerja media untuk bersatu melawan pemberangusan serikat pekerja.
4. Menyerukan kepada seluruh pekerja media untuk menyatukan diri dalam serikat pekerja guna memperjuangkan hak dan kesejahteraan.

Jakarta, 1 September 2007

Persatuan bagi Pekerja Media!

Forum Serikat Pekerja Media Jakarta:
1. Divisi Serikat Pekerja Aliansi Jurnalis Independen Jakarta
(Koordinator, Winuranto Adhi)
2. Forum Karyawan SWA (Ketua, Busyra Q Yoga)
3. Perkumpulan Karyawan Smart FM (Ketua, Jay Waluyo)
4. WorkerHOLic, serikat pekerja Hukumonline (Ketua, Yacob Yahya)
5. Dewan Karyawan Tempo (Presidium, Maria Hasugian)
6. Jekson Simanjuntak (Trans TV)
7. Bina Karos (Fotografer)
posted by KOMPAS @ 3:41 AM   0 comments
Gugatan Wartawan Kompas Kalah di PHI
(catatan redaksi: Putusan Pengadilan Hubungan Industrial ini seperti petir di siang bolong. Bagaimana tidak. Manajemen Kompas tak mengajukan seorang pun saksi dalam persidangan. Sementara tim pengacara Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) mengajukan seabrek saksi. Tambah lagi Bambang Wisudo sebelumnya sudah menang di Disnaker Jakarta Pusat. Namun ternyata hakim memilih memenangkan Kompas. Ada apa gerangan?)

Kamis, 30/08/2007 19:23 WIB

Desy Afrianti - Okezone

JAKARTA – Majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang dipimpin Heru Pramono menyetujui pemutusan hubungan kerja PT Kompas Media Nusantara terhadap wartawan senior Kompas Paulus Bambang Wisudo.

Putusan dibacakan secara bergantian oleh hakim ketua Heru Pramono, dengan anggota Anton Sumartono dan Saut Christian Manalu di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jalan MT Haryono, Jakarta, Kamis (30/8/2007).

Majelis hakim menyetujui pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap Wisudo dengan alasan mutasi karyawan adalah hak mutlak perusahaan.

Alasan lain yang disampaikan majelis hakim, keputusan tersebut diambil hakim karena antara PT Kompas dengan Wisudo tidak memiliki Perjanjian Kerja Bersama yang menjabarkan UU nomor 21/2000 tentang Serikat Pekerja, bahwa pengurus serikat tidak boleh dimutasi atau di PHK.

Menanggapi putusan ini, Pengacara Paulus Bambang Wisudo mengatakan banyak kejanggalan putusan hakim. “Keterangan sebelumnya hakim menyebutkan mutasi tidak dijelaskan dalam perjanjian kerja bersama. Bahkan PKB sendiri tidak ada. Jadi tidak ada landasan hukum perusahaan untuk memutasi karyawan,” kata Soleh Ali

Atas kalahnya Wisudo pada putusan ini, Soleh Ali akan melakukan kasasi ke MA. Rencana kasasi akan diajukan dalam dua minggu ini sesuai dengan ketentuan kasasi dapat diajukan 2 minggu setelah sidang diputuskan.

Senada dengan Soleh Ali, Wisudo mengatakan, tidak dapat menerima keputusan ini. “Untuk itu saya akan melakukan kasasi,” jelasnya.

Dia juga mengatakan bahwa sebelum mendengarkan sidang putusan, dia sudah optimis akan menang dalam persidangan gugatan ini. Sebab, menurutnya, selama persidangan berlangsung pihaknya sudah berada di atas angin dan memiliki performance yang baik.

“Walaupun hari ini saya kalah, tapi saya sudah berbuat semaksimal mungkin dan membuat yang terbaik. Saya akan terus perjuangkan kasus ini,” katanya.

Hakim Ketua Heru Pramono saat ditemui di ruanganya menjelaskan, landasan majelis untuk memenangkan Kompas terhadap Bambang Wisudo karena dia menimbang gugatan Kompas yang mem-PHK Wisudo karena yang bersangkutan menolak dimutasi ke Ambon, membuat selebaran serta provokasi.

Dalam posisi ini, lanjut Heru Pramono, perusahaan memiliki hak mutlak untuk melakukan mutasi karena sudah diatur dalam kontrak kerja anatara PT Kompas dan Wisudo.

Bukannya dalam UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja tidak bisa dipindah? Seandaianya UU dijabarkan dalam PKB, mungkin menguntungkan Wisudo. “Namun kenyataan tidak. Untuk itu UU nomor 21 berbenturan dengan UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” jelasnya.

Karena tidak adanya PKB yang mengatur serikat pekerja dalam kasus Kompas dengan Wisudo, hakim mengacu ke UU 13 diatur perusahaan dapat melakukan mutasi karyawannya, dan karyawan bersedia di tempatkan di mana saja.

Soal alasan Wisudo menjadi pengurus Perkumpulan Karyawan Kompas ( PKK) sehingga seharusnya tidak bisa dimutasi, Heru Pramono berpendapat lain. “Itu diluar yuridis. Itu diluar kewenangan hakim. Segala hal yang diluar hukum di luar kewenangan kami. Kami bertindak hanya berdasarkan fakta,” katanya.

Heru Pramono menjelaskan bahwa sebelum diberi PHK, sudah melayangkan skorsing kepada Bambang yang dilayangkan 8 Desember 2006. “Jadi PT Kompas telah melakukan sesuai prosedur melakukan skorsing dahulu dan PHK,” terangnya.

Sementara itu, kuasa hukum PT Kompas Media Nusantara menolak memberikan keterangan saat diminta komentarnya. (sjn)
posted by KOMPAS @ 3:34 AM   0 comments
Previous Post
Archives
Powered by

Hit Counter
Hit Counter

Free Blogger Templates
BLOGGER

http://rpc.technorati.com/rpc/ping <